Tidjan (1976:
71) menyatakan bahwa minat belajar siswa dipengaruhi oleh gejala psikologis
yang menunjukkan pemusatan perhatian terhadap suatu objek karena timbulnya
perasaan senang. Purwanto (2004: 66)
menegaskan bahwa eksplorasi dan manipulasi yang dilakukan anak-anak dari
motivasi seseorang timbullah minat terhadap sesuatu.
Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui minat belajar siswa SMP di Banjarbaru dari aspek psikologi. Penelitian
ini tentang hubungan motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik dengan persepsi
siswa terhadap minat dan perhatian dalam pembelajaran. Populasi dalam
penelitian ini adalah siswa SMP kelas IX tahun ajaran 2015/2016 di Banjarbaru
yang tinggal dengan kedua orang tuanya. Teknik sampling yang digunakan adalah random
sampling dengan total sample 25 siswa SMP. Dari 25 kuesioner yang disebar,
kembali ke peneliti dengan jumlah yang sama. Peneliti menggunakan kuesioner
sebagai alat pengumpul data. Peneliti menggunakan analisis koreksi langsung.
Hasil analisa, diperoleh kesimpulan
dari penelitian ini adalah ada hubungannya antara motivasi intrinsik dan
motivasi ekstrinsik dengan minat dan perhatian siswa terhadap pembelajaran.
Tugas guru yang utama adalah membangkitkan dan mempertajam motivasi anak didik
sehingga timbul minatnya yang diiringi perhatian yang saksama terhadap bahan
ajar.
Kata Kunci: pemusatan, eksplorasi,
manipulasi
__________________________________________________________________
PSIKOLOGI SEBAGAI LANDASAN BELAJAR
Tiara Puspa
(15.21.0111)
FKIP. Bahasa Inggris
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Sejak
pertengahan abad ke IX yang didakwahkan sebagai abad kelahiranPsikologi
kontemporer di dunia Barat, terdapat banyak pengertian mengenai“Psikologi” yang
ditawarkan oleh para Psikolog. Masing-masing pengertian memilikikeunikan,
seiring dengan kecendrungan, asumsi, dan aliran yang di anut oleh
parapenciptanya.
Meskipun
demikian perumusan psikologi dapat disederhanakan dalamtiga pengertian:
Pertama, Psikologi
adalah studi tentang jiwa seperti studi yang dilakukan olehPlato (427-347 SM)
dan Aristoteles (322-384 SM) tentang kesadaran dan prosesmental yang berkaitan
dengan jiwa;
Kedua, Psikologi
adalah Ilmu pengetahan tentangkehidupan mental, seperti perhatian, persepsi,
intelegensi, kemauan dan ingatan.Defenisi ini dikemukakan oleh William Wundt;
Ketiga, Psikologi
adalah ilmupengetahuan tentang prilaku organisme, seperti prilaku kucing
terhadap tikus,prilaku manusia terhadap sesamanya, dan sebagainya, definisi ini
dikemukakan olehJhon Watson.
Lebih
lanjut disebutkan bahwa Psikologi terbagi ke dalam dua bagian yaitupsikologi
umum (general phsychology) yang mengkaji perilaku pada umumnya.
Psikologiumum mengkaji sejarah dan definisi psikologi, manusia, fungsi-fungsi
psikis,kehkususan individual, interaksi sosial, dan gangguan mental.”1”
Psikologi khususyang mengkaji perilaku individu dalam situasi khusus,
diantaranya:
1. Psikologi Perkembangan; mengkaji
perilaku individu yang berada dalam prosesperkembangan mulai dari masa konsepsi
sampai dengan akhir hayat;
2. Psikologi Kepribadian; mengkaji
perilaku individu khusus dilihat dari aspek –
aspek kepribadiannya;
3. Psikologi Klinis; mengkaji
perilaku individu untuk keperluan penyembuhan(klinis);
4. Psikologi Abnormal; mengkaji
perilaku individu yang tergolong abnormal;
5. Psikologi Industri; mengkaji
perilaku individu dalam kaitannya dengan duniaindustry;
6. Psikologi Pendidikan; mengkaji
perilaku individu dalam situasi pendidikan.
Di
samping jenis-jenis psikologi yang disebutkan di atas, masih terdapatberbagai
jenis psikologi lainnya, bahkan sangat mungkin ke depannya akan semakinterus
berkembang, sejalan dengan perkembangan kehidupan yang semakin dinamisdan
kompleks.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas, maka diperoleh rumusan masalah sebagai berikut:
1. Berapa
aliran psikologi yang berkembang saat ini?
2. Bagaimana
peran minat dan perhatian dalam pembelajaran?
3. Bagaimana
peran motivasi dalam pembelajaran?
4. Apa
fungsi resiliensi?
5. Bagaiman
perkembangan peserta didik?
B.
Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini,
yaitu untuk:
1. Mengetahui
berapa aliran psikologi yang berkembang saat ini.
2. Memahami
peran minat dan perhatian dalam pembelajaran.
3. Memahami
peran motivasi dalam pembelajaran.
4. Mengetahui
fungsi resiliensi.
5. Mengetahui
perkembangan peserta didik.
BAB
II
METODE
Dalam mengadakan
penyelidikan suatu ilmu pengetahuan harus mempergunakan metode-metode ilmiah.
Yaitu metode-metode yang dapat dipertanggung jawabkan, dikontrol, dan
dibuktikan kebenaranyaCara pendekatan (system of approach) terhadap kejiwaan
manusia pun dapat dilakukan secara filosofis maupun empiris. Tak heran, jika
kemudian banyak para pakar yang menggunakan kedua metode tersebut dalam
penelitian psikologi.
A. Metode Filosofis
Metode yang bersifat
filosofis ini dapat dibagi menjadi tiga bagian sebagai berikut:
1) Metode Intuitif
Metode dapat dilakukan dengan jalan sengaja melakukan
penyelidikan atau dengan tidak sengaja seperti halnya dalam pergaulan
sehari-hari. Dalam keadaan yang terakhir ini, kita mengadakan evaluasi terhadap
sesama kita atau kita benar-benar ingin mengetahui keadaannya dengan melalui
kesan kita terhadap orang-orang yang sedang kita selidiki tersebut. Dilihat
dari segi cara yang ditempuhnya, metode ini kurang memenuhi syarat. Karena
metode ini perlu dikombinasikan dengan metode-metode yang lain guna memperoleh
kesimpulan yang dapat dipertanggung jawabkan dan dapat dipercaya kebenaranya.
2) Metode Kontemplatif
Metode ini dilaksanakan dengan cara merenungkan (kontemplasi)
terhadap obyek yang diselidiki dengan mempergunakan kemampuan berfikir yang
optimal. Alat utamanya adalah pikiran yang benar-benar dalam keadaan obyektif.
Yaitu saat pikiran kita dalam situasi dan kondisi yang murni, tidak tercampur
oleh pengaruh-pengaruh lain yang bersifat lahiriah dan biologis. Dewasa ini
metode komplatif dan juga metode intuitif tidak sepopuler metode empiris,
disebabkan hasil metode itu dianggap terlalu spekulatif. Meskipun demikian,
metode ini masih tetap diperlukan dalam lapangan psikologi.
3)
Metode Yang
Bersifat Filosofis Religius
Metode ini dilakukan dengan mempergunakan materi-materi
agama sebagai alat untuk meyelidiki pribadi manusia. Sebab, nilai-nilai yang
terkandung dalam ajaran agama itu merupakan kebenaran yang mutlak. Dengan kata
lain, dalam menyelidiki jiwa manusia itu pihak penyelidik mempergunakan materi
agama yang terdapat dalam kitab suci sebagai norma standar dalam penilaian.
Metode ini juga tidak banyak digunakan dalam penyelidikan psikologi, meskipun
sesungguhnya dapat digunakan terutama dalam menyelidiki pribadi muslim.
B. Metode Empiris
1. Metode Observasi
Observasi berasal dari kata to observe, yang berarti
meneliti atau mengamati. Dengan menggunakan metode itu, peneliti mengadakan
pengindraan terhadap obyek yang diselidiki dengan sengaja sambil melakukan
pencatatan-pencatatan terhadap gejala-gejala jiwa yang dibutuhkan dalam
penyelidikan itu. Sementara untuk memperoleh data-data tentang gejala-gejala
jiwa tersebut, peneliti dapat melakukan intropeksi, eksperimen, dan
ekstropeksi.
a) Intropeksi Secara Etimologi, intropeksi ialah melihat ke dalam
(intro berarti kedalam dan speksi berasal dari kata spektare yang artinya
melihat). Yang dimaksud dengan metode intropeksi ialah suatu cara menyelidiki
keadaan atau peristiwa jiwa yang sedang terjadi dalam dirinya sendiri. William
Stern, seorang psikolog dari Jerman, mengemukakan beberapa kelemahan dari
metode instropeksi ini, yang pada pokoknya dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Seseorang sering tidak jujur dalam mengungkapkan hal-hal yang
pernah dialaminya, terutama dalam hal-hal yang bersifat negatif pada dirinya
dan kalau diungkapkan ia akan menanggung perasaan malu.
2. Seseorang sering kali kekuangan perbendaharaan kata dalam
melukiskan peristiwa-peristiwa jiwa yang sudah dan sedang dialaminya.
3. Kerap kali sugesti dari diri sendiri maupun dari orang lain
menyebabkan hasil yang tidak obyektif.
4. Tidak semua penghayatan jiwa itu dapat disdari, karena
gejala-gejala kejiwaan di bawah kesadaran tidak dapat dilahirkan.
5. Metode ini tidak dapat digunakan oleh anak-anak dan orang-orang
yang abnormal.
Disamping adanya kelemahan-kelemahan, terdapat juga
kebaikan-kebaikan dari metode instropeksi yang dalam garis besarnya dapat
dikemukan sebagai berikut:1)Metode ini merupakan metode yang khas, hanya
terdapat pada manusia. Artinya hanya manusialah yang dapat melihat apa yang
sedang dialami dalam dirinya. 2)Kadang-kadang ada beberapa hal yang terdapat
pada diri seseorang yang tidak dapat diselidiki dengan menggunakan metode lain.
3)Dengan menggunakan metode ini seseorang daat secara langsung menyelidiki
peristiwa-peristiwa yang dialaminya, di mana orang lain tidak dapat
menyelidikinya.
Dalam melaksanakan pembelajaran, guru bertanggung jawab kepada
kepala sekolah. Sebelum kepala sekolah meminta pertanggung jawaban dari guru,
hendaknya guru terlebih dahulu mengintropeksi tentang pembelajaran yang telah
dilakukannya.
b) Ekstrospeksi dari Segi Asal Katanya, ektrospeksi berarti melihat
ke luar (ekstro: keluar, speksi dari spektare: melihat). Dan sebagai metode,
ektrospeksi berarti mempelajari dengan sengaja dan teratir gejala-gejala jiwa
orang lain dan mencoba mengambil kesimpulan dengan melihat gejala-gejala jiwa
yang ditunjukkan dari mimik dan pantomimik orang lain. Diantara kelebihan
metode ini adalah sebagai berikut:
1. Lebih memenuhi syarat ilmiah, karena metode ini lebih bersifat
obyektif.
2. Dapat digunakan dalam menyelidi anak-anak dan orang-orang yang
menyimpang keadaan jiwanya (abnormal).
Adapun
kelemahan-kelemahan metode ekstropeksi ini adalah: 1) Metode ini hanya dapat
menyelidiki gejala-gejala jiwa yang tampak saja, padahal tiap-tiap orang dalam
mengeluarkan buah pikiran dan perasaannya tidak sama, terutama pada orang
dewasa, yang dapat mengekspresikan sikap-sikap yang tidak wajar atau yang
bertentangan dengan keadaan/situasi jiwanya. 2) Jika orang yang diselidiki
tahu, terkadang ia memberikan kesan yng tidak sesuai dengan kenyataan yang ada,
sehingga apa yang disimpulkan diri dari hasil ekstropeksi itu akan berbeda
dengan apa yang semestinya.
2. Metode Eksperimen (Observasi Eksperimental)
Metode ini merupakan penyelidikan dengan jalan mengadakan
percobaan-percobaan untuk mengetahui kejiwaan seseorang. Metode ini jug
biasanya dilakukan di dalam laboratorium dengan mengadakan berbagai eksperimen.
Dalam metode ini yang perlu diperhatikan adalah hendaknya orang-orang
mengadakan eksperimen harus dapat menguasai situasi. Artinya, pihak
eksperimenter itu harus dapat menimbulkan atau menghilangkan beberapa situasi
sesuai dengan kehendaknya. Wilhelm Wundt mengemukakan empat syarat yang harus
dipenuhi dalam mengadakan eksperimen, yaitu:
a. Pemeriksaan harus dapat menetapkan sendiri saat timbulnya keadaan
atau kejadian yang hendak dipelajari.
b. Pemeriksa harus mengikuti jalannya itu seteliti-telitinya dengan
memusatkan seluruh perhatian kepada prosesnya.
c. Tiap-tiap pemeriksa harus dapat diulangi secukupnya, yaitu dalam
keadaan yang sama, dan
d. Pemeriksa harus menguasai syarat-syarat tersebut di atas.
Adapun kelemahan-kelemahan metode eksperimen sebagai metode
dalam psikologi ini adalah sebagai berikut: 1) Eksperimen biasanya dilaksanakan
pada benda mati yang mempunyai hukum-hukum yang tetap, sedang jiwa adalah
sesuatu yang hidup. 2) Tidak semua gejala kejiwaan dapat diselidiki secara
eksperimen. 3) Dalam laboratorium situasinya tidak wajar. 4) Gejala-gejala
kejiwaan sukar diukur secara eksak.
Sementara menurut Hj. Zuhairini, kelebihan-kelebihan metode eksperimen
ini sebagai berikut: 1) Dengan eksperimen ada hal-hal yang dapat diselidiki
dengan teliti dan berulang-ulang. 2) Tanpa menunggu timbulnya suatu peristiwa,
orang dapat dengan cepat secara teratur mengetahui sesuatu peristiwa yang
sengaja ditimbulkan. Sehubungan dengan adanya beberapa kelemahan tersebut, maka
aliran psikologi modern (+1900 M) menggunakan sarana untuk mengulangi
kelemahan-kelemahan itu dengan ketentuan:
a) Metode eksperimen hendaknya hanya dpakai sebgai bagian dari metode-metode
lain pada lebih luas.
b) Jangan berpegang teguh pada perhitungan-perhitungan secara ilmu
pasti, statis, tetapi analisa kuantitatif harus dikombinasikan dengan analisa
kualitatif dengan mengingat gerak, waktu, ruang dan saling berhubungan.
3. Metode Pengumpulan Bahan
Metode ini dilakukan dengan mengolah data-data atau
bahan-bahan yang diperoleh dari kumpulan daftar pertanyaan, bahan-bahan riwayat
hidup dan bahan-bahan lain yang berhuubungan dengan apa yang sedang diselidiki.
Bahan-bahan yang telah diperoleh itu kemudian diklarifikasikan untuk ditarik
suatu kesimpulan yang bersifat umum.
a) Metode Angket
Metode angket ialah
cara penyelidikan kejiwaan dengan mengajukan pertanyaan baik lisan maupun
tertulis dan dari jawaban itu dapat ditarik kesimpulan tentang kesan
kejiwaannya. Ditinjau dari sudut pelaksanaannya angket dapat dibagi menjadi dua
macam:
1) Angket langsung, yaitu
bilamana pertanyaan itu dijawab langsung oleh orang yang diselidiki.
2)Angket tak langsung,
yaitu bilamana pertanyaan itu dijawab oleh orang lain.
b) Metode Autobiografi (riwayat hidup)
Metode ini dipergunakan
oleh peneliti dengan jalan mempelajari riwayat hidup seseorang yang sedang
diteliti, baik yang ditulis sendiri (autobiografi) maupun yang ditulis orang
lain (biografi). Metode ini, disamping mempunyai keuntungan, juga mempunyai
kelemahan. Yaitu bila orang yang membuat biografi itu paham atau sehaluan, maka
dalam membuat biografi akan dipengaruhi oleh sudut pandangnya, lebih-lebih lagi
dalam pembuatan autobigrafi. Untuk mengatasinya dan guna memperoleh gambaran
yang lebih baik, maka dapat ditempuh dengan jalan menyelidiki biografi dari
bermacam-mcam penulis. Dengan demikian, peneliti akan memperoleh gambaran yang
lebih lengkap dan dapat dipercaya, karena data-data didapat dari sumber yang
banyak.
c) Pengumpulan Hasil Kerja
Metode ini merupakan
metode penyelidikan dengan jalan mengumpulkan gambar-gambar, karangan-karangan,
pekerjaan tangan, permainan-permainan, termasuk buku harian seseorang dan
sebagainya.Dengan mengumpulkan benda-benda hasil kerja ini dan mengadakan
analisis terhadapnya, maka akan dapat diketahui perkembangan alam pikiran, dan
fantasi seseorang, sekaligus pencetusan dari keadaan jiwa orang yang
bersangkutan.
d) Metode Studi Kasus
Studi kasus (case
study) dalam kajian psikologi merupakan sebuah metode penelitian yang digunakan
untuk memperoleh gambaran yang rinci mengenai aspek-aspek psikologis seorang
siswa atau sekelompok siswa tertentu. Seorang peneliti psikologi belajar
pendidikan agama Islam, terkadang memerlukan waktu bertahun-tahun untuk
mengumpulkan data dan berbagai informasi yang akurat, tepat dan cermat
berkaitan dengan individu atau kelompok kecil individu yang menjadi subyek
penelitian. Studi kasus akan memerlukan waktu lebih lama apabila digunakan
untuk menyelidiki fenomena genetika (karakteristik keturunan) yang dihubungkan
dengan perilaku belajar (perkembangan belajar).
e) Metode Klinis
Metode klinis (clinical
method) hanya digunakan oleh para ahli psikologi klinis atau psikiater. Dalam
metode ini, terdapat prosedur diagnosis dan penggolongan penyakit kelainan jiwa
serta cara-cara memberi perlakuan pemulihan (psychological treatment) terhadap
kelainan jiwa tersebut. Umumnya metode ini digunakan di rumah sakit jiwa.
Sasaran yang akan dicapai oleh peneliti dengan menguakan metode klinis,
terutama untuk memastikan sebab-sebab timbulnya ketidaknormalan perilaku
sesorang atau kelompok kecil siswa. Seterusnya, berdasarkan kepastian faktor
penyebab itu, peneliti berupaya memilih dan menentukan cara-cara mengatasi
penyimpangan perilaku tersebut.
f) Metode Observasi Naturalistik
Metode observasi
naturalistik lebih banyak digunakan oleh para ahli ilmu hewan untuk mempelajari
perilaku hewan tertentu. Dalam perkembangannya selanjutnya, metode observasi
naturalistik digunakan oleh para psikolog kognitif dan psikolog pendidikan.
Seorang peneliti atau guru yang menajadi asistennya dapat mengaplikasikan
metode ini lewat kegiatan belajar mengajar atau belajar mengajar dalam
kelas-kelas regular, yakni kelas tetap dan biasa, bukan kelas yang diadakan
secara khusus. Selama proses belajar mengajar berlangsung, jenis perilaku siswa
diteliti, (misanya kecepatan membaca), dicatat dalam lembar format observasi
yang khusus dirancang sesuai dengan data dan informasi yang akan dihimpun.
Metode yang
digunakan dalam penelitian ini yaitu metode observasi. Tipe penelitian ini
termasuk penelitian penjelasan (explanatory research). Subjek dipilih
berdasarkan yang sudah ditentukan oleh guru bersangkutan, artinya penelitian
ini sudah mendapat izin dari pihak sekolah. Metode pengambilan data dilakukan
dengan metode kuesioner dan studi dokumentasi. Dalam penelitian ini berjumlah
25 siswa/(i) SMP yang tinggal dengan kedua orangtuanya
Penelitian
ini tentang hubungan motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik dengan persepsi
siswa terhadap minat dan perhatian dalam pembelajaran.
Kuesioner minat siswa terhadap pembelajaran berjumlah 45 item dengan respon
mengisi isian titik-titik.
KAJIAN PUSTAKA
Teori
Belajar
Berdasarkan
literatur psikologi, banyak ditemukan teori belajar yang bersumber dari
aliran-aliran psikologi. Berikut ini akan dikemukakan beberapa jenis teori belajar,
yaitu : (A) teori behaviorisme; (B) teori belajar kognitif menurut Piaget; (C)
teori pemrosesan informasi dari Gagne, (D) teori belajar gestal, (E) Teori
belajar Kontruktivisme dan (F). Teori Belajar Humanistik.
A. Teori Behaviorisme
Behaviorisme merupakan
salah aliran psikologi yang memandang individu hanya dari sisi fenomena
jasmaniah, dan mengabaikan aspek – aspek mental. Dengan kata lain, behaviorisme
tidak mengakui adanya kecerdasan, bakat, minat dan perasaan individu dalam
suatu belajar. Peristiwa belajar semata-mata melatih refleks-refleks sedemikian
rupa sehingga menjadi kebiasaan yang dikuasai individu. Beberapa hukum belajar
yang dihasilkan dari pendekatan behaviorisme ini, diantaranya:
1.
Connectionism
( S-R Bond) menurut
Thorndike
Dalam Stephen P. Robbins (2007)
dari eksperimen yang dilakukan Thorndike terhadap kucing menghasilkan
hukum-hukum belajar, diantaranya:
a. Law of Effect; artinya
bahwa jika sebuah respons menghasilkan efek yang memuaskan, maka hubungan
Stimulus - Respons akan semakin kuat. Sebaliknya, semakin tidak memuaskan efek
yang dicapai respons, maka semakin lemah pula hubungan yang terjadi antara
Stimulus- Respons.
b. Law of Readiness;
artinya bahwa kesiapan mengacu pada asumsi bahwa kepuasan organisme itu berasal
dari pemdayagunaan satuan pengantar (conduction unit), dimana unit-unit ini
menimbulkan kecenderungan yang mendorong organisme untuk berbuat atau tidak
berbuat sesuatu. c. Law of Exercise; artinya bahwa hubungan antara
Stimulus dengan Respons akan semakin bertambah erat, jika sering dilatih dan
akan semakin berkurang apabila jarang atau tidak dilatih.
2.
Classical
Conditioning menurut
Ivan Pavlov
Dalam Stephen P. Robins (2007)
dari eksperimen yang dilakukan Pavlov terhadap seekor anjing menghasilkan
hukum-hukum belajar, diantaranya :
a. Law of Respondent
Conditioning yakni hukum pembiasaan yang dituntut. Jika dua macam stimulus
dihadirkan secara simultan (yang salah satunya berfungsi sebagai reinforcer),
maka refleks dan stimulus lainnya akan meningkat.
b. Law of Respondent Extinction
yakni hukum pemusnahan yang dituntut. Jika refleks yang sudah diperkuat
melalui Respondent conditioning itu didatangkan kembali tanpa
menghadirkan reinforcer, maka kekuatannya akan menurun.
3.
Operant
Conditioning menurut
B.F. Skinner
Menurut Sri Esti W (2004), dari
eksperimen yang dilakukan B.F. Skinner terhadap tikus dan selanjutnya terhadap
burung merpati menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya :
a. Law of operant conditining yaitu
jika timbulnya perilaku diiringi dengan stimulus penguat, maka kekuatan
perilaku tersebut akan meningkat.
b. Law of operant extinction yaitu
jika timbulnya perilaku operant telah diperkuat melalui proses conditioning itu
tidak diiringi stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan menurun
bahkan musnah. Reber (Muhibin Syah, 2003) menyebutkan bahwa yang dimaksud
dengan operant adalah sejumlah perilaku yang membawa efek yang sama
terhadap lingkungan. Respons dalam operant conditioning terjadi tanpa didahului
oleh stimulus, melainkan oleh efek yang ditimbulkan oleh reinforcer. Reinforcer
itu sendiri pada dasarnya adalah stimulus yang meningkatkan kemungkinan
timbulnya sejumlah respons tertentu, namun tidak sengaja diadakan sebagai
pasangan stimulus lainnya seperti dalam classical conditioning.
4.
Social
Learning menurut
Albert Bandura
Menurut Prof. Dr. Singgih D.
Gunarsa (2004) Teori belajar sosial atau disebut juga teori observational
learning adalah sebuah teori belajar yang relatif masih baru dibandingkan
dengan teori-teori belajar lainnya. Berbeda dengan penganut Behaviorisme
lainnya, Bandura memandang Perilaku individu tidak semata-mata refleks otomatis
atas stimulus (S-R Bond), melainkan juga akibat reaksi yang timbul sebagai
hasil interaksi antara lingkungan dengan skema kognitif individu itu sendiri.
Prinsip dasar belajar menurut teori ini, bahwa yang dipelajari individu
terutama dalam belajar sosial dan moral terjadi melalui peniruan (imitation)
dan penyajian contoh perilaku (modeling). Teori ini juga masih memandang
pentingnya conditioning. Melalui pemberian reward dan punishment,
seorang individu akan berfikir dan memutuskan perilaku sosial mana yang
perlu dilakukan. Sebetulnya masih banyak tokoh-tokoh lain yang mengembangkan
teori belajar behavioristik ini, seperti : Watson yang menghasilkan prinsip
kekerapan dan prinsip kebaruan, Guthrie dengan teorinya yang disebut Contiguity
Theory yang menghasilkan Metode Ambang (the treshold method), metode
meletihkan (The Fatigue Method) dan Metode rangsangan tak serasi (The
Incompatible Response Method), Miller dan Dollard dengan teori pengurangan
dorongan.
Islam sendiri menerangkan bahwa setiap manusia terlahir
dalam keadaan fitrah. QS. Ar-Rum: 30
“Maka hadapkanlah
wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang
telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah
Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”.
Ayat tersebut di atas
sering digunakan oleh pakar pendidikan Islam untuk membangun teori fitrah manusia,
yaitu seperangkat kemampuan dasar (bakat) yang memiliki kecenderungan
berkembang, yang dalam psikologi disebut potensialitas atau disposisi, yang
menurut aliran psikologi behaviorisme prepotence reflexes (kemampuan
dasar yang secara otomatis dapat berkembang).
B. Teori Belajar Kognitif menurut Piaget
Piaget
merupakan salah seorang tokoh yang disebut-sebut sebagai pelopor aliran
konstruktivisme. Salah satu sumbangan pemikirannya yang banyak digunakan
sebagai rujukan untuk memahami perkembangan kognitif individu yaitu teori
tentang tahapan perkembangan individu. Menurut Piaget dalam Winfred F Hill
(1980) bahwa perkembangan kognitif individu meliputi empat tahap yaitu :
(1) sensory motor
(2) pre operational;
(3) concrete operational dan
(4) formal operational.
Pemikiran
lain dari Piaget tentang proses rekonstruksi pengetahuan individu yaitu
asimilasi dan akomodasi. Menurut Tanu jaya dan James Atherton dalam Dumond G.
Yosh Nabu (2005) menyebutkan bahwa asisimilasi adalah “the process by which
a person takes material into their mind from the environment, which may mean
changing the evidence of their senses to make it fit” dan akomodasi adalah
“the difference made to one’s mind or concepts by the process of
assimilation”
Dikemukakannya
pula, bahwa belajar akan lebih berhasil apabila disesuaikan dengan tahap
perkembangan kognitif peserta didik. Peserta didik hendaknya diberi kesempatan
untuk melakukan eksperimen dengan obyek fisik, yang ditunjang oleh interaksi
dengan teman sebaya dan dibantu oleh pertanyaan tilikan dari guru. Guru
hendaknya banyak memberikan rangsangan kepada peserta didik agar mau
berinteraksi dengan lingkungan secara aktif, mencari dan menemukan berbagai hal
dari lingkungan.
Menurut Dr. Paul Sutarno (2005), Implikasi
teori perkenbangan kognitif Piaget dalam pembelajaran adalah:
1)
Bahasa
dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu guru
mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir anak.
2)
Anak-anak
akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan baik. Guru
harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan sebaik-baiknya.
3)
Bahan
yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing.
4)
Berikan
peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya.
5)
Di dalam
kelas, anak-anak hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan diskusi
dengan teman – temanya.
C. Teori Pemrosesan Informasi dari Robert Gagne
Asumsi
yang mendasari teori ini adalah bahwa pembelajaran merupakan faktor yang sangat
penting dalam perkembangan. Perkembangan merupakan hasil kumulatif dari
pembelajaran. Menurut Gagne bahwa dalam pembelajaran terjadi proses penerimaan
informasi, untuk kemudian diolah sehingga menghasilkan keluaran dalam bentuk
hasil belajar. Dalam pemrosesan informasi terjadi adanya interaksi antara
kondisi-kondisi internal dan kondisi-kondisi eksternal individu. Kondisi
internal yaitu keadaan dalam diri individu yang diperlukan untuk mencapai hasil
belajar dan proses kognitif yang terjadi dalam individu. Sedangkan kondisi
eksternal adalah rangsangan dari lingkungan yang mempengaruhi individu dalam
proses pembelajaran.
Menurut
teori Gagne, cara untuk menentukan prasyarat untuk suatu tujuan belajar adalah
melakukan hierarki belajar. Sebuah hierarki belajar dibangun dengan
bekerja mundur dari tujuan pembelajaran akhir. Dan kemampuan akhir yang
dimiliki oleh siswa setelah belajar disebut kapabilitas. Gagne dalam kumpulan
makalah (1991) membagi hasil belajar menjadi lima kategori kapabilitas:
1. Informasi verbal, merupakan kemampuan untuk
mengkomunikasikan secara lisan pengetahuannya tentang fakta-fakta yang
diperoleh secara lisan, membaca buku dan sebagainya.
2. Keterampilan intelektual, merupakan
kemampuan untuk dapat membedakan, menguasai konsep, aturan, dan memecahkan
masalah. Kemampuan tersebut diperoleh melalui belajar. Kapabilitas keterampilan
intelektual menurut Gagne dikelompokkan dalam 8 tipe belajar, yaitu:
§ Belajar isyarat, adalah belajar yang tanpa
kesengajaan, timbul akibat suatu stimulus sehingga menimbulkan suatu respon
emosional pada individu yang bersangkutan.
§ Belajar stimulus respon, adalah belajar untuk
merespon suatu isyarat
§ Belajar rangkaian gerak, merupakan perbuatan
jasmaniah terurut dari dua kegiatan atau lebih stimulus respon
§ Belajar rangkaian verbal, merupakan perbuatan
lisan terurut dari dua kegiatan atau lebih stimulus respon
§ Belajar memperbedakan, adalah belajar
membedakan hubungan stimulus respon sehingga bisa memahami bermacam-macam objek
fisik dan konsep dalam merespon lingkungannya
§ Belajar pembentukan konsep, adalah belajar
mengenal sifat bersama dari benda konkret
§ Belajar pembentukan aturan, adalah belajar
menghubungkan dua konsep atau lebih untuk mendapatkan suatu aturan dan belajar
pemecahan masalah, belajar membuat formulasi penyelesaian masalah dari aturan
yang telah dipelajari
Tipe belajar tersebut terurut kesukarannya
dari yang paling sederhana sampai kepada yang paling kompleks.
3. Sikap, adalah kecenderungan untuk merespon
secara tepat terhadap stimulus atas dasar penilaian terhadap stimulus tersebut.
4. Keterampilan motorik, adalah kemampuan yang
dapat dilihat dari segi kecepatan, ketepatan, dan kelancaran gerakan otot-otot serta
anggota badan.
Menurut
Gagne dalam kumpulan makalah (1991), tahapan proses pembelajaran meliputi
delapan fase yaitu, (1) motivasi; (2) pemahaman; (3) pemerolehan; (4)
penyimpanan; (5) ingatan kembali; (6) generalisasi; (7) perlakuan dan (8) umpan
balik
D. Teori Belajar Gestalt
Gestalt berasal dari bahasa Jerman yang
mempunyai padanan arti sebagai “bentuk atau konfigurasi”. Pokok pandangan
Gestalt adalah bahwa obyek atau peristiwa tertentu akan dipandang sebagai
sesuatu keseluruhan yang terorganisasikan.
Menurut Koffka dan Kohler dalam Azizi Yahya,
dan kawan-kawan (2005), ada tujuh prinsip organisasi yang terpenting yaitu:
1)
Hubungan
bentuk dan latar (figure and gound relationship); yaitu menganggap bahwa
setiap bidang pengamatan dapat dibagi dua yaitu figure (bentuk) dan
latar belakang. Penampilan suatu obyek seperti ukuran, potongan, warna dan
sebagainya membedakan figure dari latar belakang. Bila figure dan latar
bersifat samar-samar, maka akan terjadi kekaburan penafsiran antara latar dan
figure.
2)
Kedekatan
(proxmity); bahwa unsur-unsur yang saling berdekatan (baik waktu maupun
ruang) dalam bidang pengamatan akan dipandang sebagai satu bentuk tertentu.
3)
Kesamaan
(similarity); bahwa sesuatu yang memiliki kesamaan cenderung akan
dipandang sebagai suatu obyek yang saling memiliki.
4)
Arah
bersama (common direction); bahwa unsur-unsur bidang pengamatan yang
berada dalam arah yang sama cenderung akan dipersepsi sebagi suatu figure atau
bentuk tertentu.
5)
Kesederhanaan
(simplicity); bahwa orang cenderung menata bidang pengamatannya bentuk
yang sederhana, penampilan reguler dan cenderung membentuk keseluruhan yang
baik berdasarkan susunan simetris dan keteraturan; dan
6)
Ketertutupan
(closure) bahwa orang cenderung akan mengisi kekosongan suatu pola obyek
atau pengamatan yang tidak lengkap.
Menurut Azizi Yahya, dan
kawan-kawan (2005) terdapat empat asumsi yang mendasari pandangan Gestalt,
yaitu:
1. Perilaku “Molar“ hendaknya
banyak dipelajari dibandingkan dengan perilaku “Molecular”. Perilaku
“Molecular” adalah perilaku dalam bentuk kontraksi otot atau keluarnya
kelenjar, sedangkan perilaku “Molar” adalah perilaku dalam keterkaitan dengan
lingkungan luar. Berlari, berjalan, mengikuti kuliah, bermain sepakbola adalah
beberapa perilaku “Molar”. Perilaku “Molar” lebih mempunyai makna dibanding
dengan perilaku “Molecular”.
2. Hal yang penting dalam
mempelajari perilaku ialah membedakan antara lingkungan geografis dengan
lingkungan behavioral. Lingkungan geografis adalah lingkungan yang sebenarnya
ada, sedangkan lingkungan behavioral merujuk pada sesuatu yang nampak.
Misalnya, gunung yang nampak dari jauh seolah-olah sesuatu yang indah.
(lingkungan behavioral), padahal kenyataannya merupakan suatu lingkungan yang
penuh dengan hutan yang lebat (lingkungan geografis).
3. Organisme tidak mereaksi
terhadap rangsangan lokal atau unsur atau suatu bagian peristiwa, akan tetapi
mereaksi terhadap keseluruhan obyek atau peristiwa. Misalnya, adanya penamaan
kumpulan bintang, seperti : sagitarius, virgo, pisces, gemini dan sebagainya
adalah contoh dari prinsip ini. Contoh lain, gumpalan awan tampak seperti
gunung atau binatang tertentu.
4. Pemberian makna terhadap suatu
rangsangan sensoris adalah merupakan suatu proses yang dinamis dan bukan
sebagai suatu reaksi yang statis. Proses pengamatan merupakan suatu proses yang
dinamis dalam memberikan tafsiran terhadap rangsangan yang diterima.
Menurut Azizi Yahya, dan
kawan-kawan (2005) dalam aplikasi teori Gestalt, proses pembelajaran antara
lain :
1.
Pengalaman tilikan (insight); bahwa tilikan memegang peranan yang
penting dalam perilaku. Dalam proses pembelajaran, hendaknya peserta didik
memiliki kemampuan tilikan yaitu kemampuan mengenal keterkaitan unsur-unsur
dalam suatu obyek atau peristiwa.
2.
Pembelajaran yang bermakna (meaningful learning); kebermaknaan
unsur-unsur yang terkait akan menunjang pembentukan tilikan dalam proses
pembelajaran. Makin jelas makna hubungan suatu unsur akan makin efektif sesuatu
yang dipelajari. Hal ini sangat penting dalam kegiatan pemecahan masalah,
khususnya dalam identifikasi masalah dan pengembangan alternatif pemecahannya.
Hal-hal yang dipelajari peserta didik hendaknya memiliki makna yang jelas dan
logis dengan proses kehidupannya.
3.
Perilaku bertujuan (pusposive behavior); bahwa perilaku terarah pada
tujuan. Perilaku bukan hanya terjadi akibat hubungan stimulus-respons, tetapi
ada keterkaitannya dengan dengan tujuan yang ingin dicapai. Proses pembelajaran
akan berjalan efektif jika peserta didik mengenal tujuan yang ingin dicapainya.
Oleh karena itu, guru hendaknya menyadari tujuan sebagai arah aktivitas
pengajaran dan membantu peserta didik dalam memahami tujuannya.
4.
Prinsip ruang hidup (life space); bahwa perilaku individu memiliki
keterkaitan dengan lingkungan dimana ia berada. Oleh karena itu, materi yang
diajarkan hendaknya memiliki keterkaitan dengan situasi dan kondisi lingkungan
kehidupan peserta didik.
5.
Transfer dalam Belajar; yaitu pemindahan pola-pola perilaku dalam situasi
pembelajaran tertentu ke situasi lain. Menurut pandangan Gestalt, transfer
belajar terjadi dengan jalan melepaskan pengertian obyek dari suatu konfigurasi
dalam situasi tertentu untuk kemudian menempatkan dalam situasi konfigurasi
lain dalam tata-susunan yang tepat. Judd menekankan pentingnya penangkapan
prinsip-prinsip pokok yang luas dalam pembelajaran dan kemudian menyusun
ketentuan-ketentuan umum (generalisasi). Transfer belajar akan terjadi apabila
peserta didik telah menangkap prinsip-prinsip pokok dari suatu persoalan dan menemukan
generalisasi untuk kemudian digunakan dalam memecahkan masalah dalam situasi
lain. Oleh karena itu, guru hendaknya dapat membantu peserta didik untuk
menguasai prinsip-prinsip pokok dari materi yang diajarkannya.
BAB
III
PEMBAHASAN
Pengertian Psikologi
Dalam Istilah lama psikologi lazim
disebut dengan ilmu jiwa. Psikologi itu sendiri berasal dari bahasa Inggris psychology.
Kata psychology merupakan dua akar kata yang bersumber dari bahasa Greek
(Yunani) yaitu: psyche yang berarti jiwa dan logosyang
berarti ilmu. Jadi secara etimologi psikologi adalah Ilmu Jiwa. Mengingat jiwa
seseorang dapat dipelajari, diselidiki melalui prilakunya, maka psikologi
sering kali dikatakan ilmu yang mempelajari prilaku manusia. Karena prilaku
seseorang adalah hasil interaksi antara dirinya dengan lingkungan, maka perilaku
harus dipelajari dalam hubungan dengan lingkungannya.
A. Aliran Psikologi
Suatu
hal yang perlu ditekankan disini, walaupun berbagai aliran psikologi telah
berkembang, sampai saat ini aliran behaviorisme yang justru menitikberatkan
teorinya berlandaskan ekperimen terhadap binatang masih terasa kental
diberlakukan dalam berbagai konsep pembelajaran sampai dewasa ini.
Sejatinya dikenal ada 4 aliran
psikologi yng berkembang sampai saat ini, antarai lain adalah:
1. Aliran
Psikodinamika
Aliran
ini berupaya menjelaskan tentang hakikat dan perkembangan perilaku manusia.
Aliran ini dipelopori Sigmund Freud, teorinya disebut teori psikoanalisis.
Menurut Freud perilaku manusia merupakan hasil sumber energi yang beroperasi
dalam pikiran, yang acapkali tidak disadari individu. Sigmund Freud,
mengemukakan gagasan bahwa kesadaran (conscious)
itu hanyalah bagian kecil saja dari kehidupan mental, sedangkan bagian
terbesarnya adalah justru ketaksadaran (unconscious)
tau alam tak sadar. Bagi Freud, ketidaksadaran merupakan bagian pikiran yang
terletak diluar kesadaran yang umum dan berisi dorongan-dorongan naluriah.
Oleh
karenanya menurut pandangan psikoanalisis, perilaku manusia hanya dapat
dipahami mellui kajian yang mendalam terhadap ketidaksadran.Diykini bahwa
perilaku manusia didorong oleh motif-motif di luar alam sadar dan
konflik-konflik yang tidak disadari. Menurut aliran ini perilaku manusia banyak
ditentukan dan dikontrol pleh kekuatan psikologis, naluri-naluri irasional,
yang terutama terdiri dari naluri menyerang dan naluri seks (libido) yang
secara fitrah melekat pada setiap individu.
Freud
membedakan kepribadian manusia menjadi tiga struktur psikis, yaitu id, ego,
dan superego. Struktur psikis semacam
ini tidak dapat dilihat dan tidak dapat diukur secara langsung, tetpi
eksistensinya ditandai oleh perilku yang dapat diamati dan diekspresikan pada
pikiran dn emosi.Ketiganya saling berhubungan, sehingga sulit untuk memisahkan
pengaruhnya satu sma lain dalam fenomena tingkah laku manusia (Desmita, 2011:
42)
Idadalah ospek biologis kepribadian karena mengandung unsur biologis,
termasuk di dalamnya motif-motif dan impuls-impuls naluriah yang lebih dasar
(lapar, haus, seks, dan agresi). Idsepenuhnya
beroperasi pda ketidaksadaran,telah ada sejak manusia dilahirkan, dan tidak
memperoleh pengaruh dari luar. Karena mengikuti prinsip kesenangan (pleasure principle), idmenuntut pemuasan dari berbagai naluri
tanpa memperhitungkan norma-norma sosil maupun kebutuhan orang lain.
Ego
adalah aspek psikologis kepribadian karena muncul dari kebutuhan organisme
untuk berhubungn secara efektif dengan dunia nyata dan menjadi perantara antara
kebutuhan naluriah organisme dan kebutuhan lingkungan. Prinsip kerja ego diatur pleh prinsip realitas (reality priciple), yaitu menurunkan atau
menghilangkan stres (ketegangan) dengan mencari objek yang tepat di dunia
nyata. Perbedaan pokok antara id
dengan ego adalah, jika id hanya mengenal realitas
subjektif-jiwa, maka ego membedakan
antara hal-hal yang terdapat dalam batin dengan hal-hal yang terdapat dalam
dunia nyata.
Superego
adalah ospek sosiologis kepribadian,
karena merupkan wakil dari nilai-nilai tradisional cita-cita masyarakat
sebagaimana yang ditafsirkan dan dituturkan orangtua kepada para anaknya
melalui berbagai perintah dan larangan. Fokus utama superego adalah memutuskan apakah sesuatu itu benar atau salah,
baik atau buruk, sehingga iya dapat bertindak sesuai dengan norma-norma moral
yang diakui oleh masyarakat. Karena mengikuti prisip moral (moral principle), superego cenderung untuk menentang baik id maupun ego, serta
mencitrakan duni menurut gambarannya sendiri. Agar tercipta keseimbangan hidup,
id dan superego harus dijembtani oleh hal yang bersifat realistis (ego).
2. Aliran
Behavioristik
Behavioristik
atau behaviorisme adalah suatu aliran psikologi yang mencoba memahami perilaku
manusia. Aliran ini terutama dikembangkan oleh John B. Watson, ahli psikologi
Amerika Serikat, sebagai reaksi atas berkembangnya aliran psikodinmika. Menurut
teoritikus behavioristik, manusia adalah sepenuhnya makhluk reaktif, yang
perilakunya dikontrol oleh faktor-faktor, rangsang atau stimulus dari luar.
Gagasan
pokok dari aliran behvioristik adalah, agar kita memahami perilaku manusia maka
harus dilaksanakan pendekatan objektif, mekanistik, dan materialistik, sehingga
perilaku perubahan seseorang dapat dilakukan melalui upaya pengondisian.
Menurut penganjur behaviorisme, tidaklah dapat dipertanggungjawabkan dan tidak
ilmih mempelajari tingkah laku manusia semata-mata dilandasi kejadian-kejadian
subjektif yang terjadi di alam pikiran, serta tidak dapat diamati dan diukur.
3. Aliran
Humanistik
Berbeda
dengan aliran psikodinamika maupun aliran behavioristik, para teoritikus
humanistik meyakini bahwa perilaku manusi tidak dapat dijelaskan baik melalui
kajian-kajian terhadap konflik-konflik yang tidak disadari manusia maupun
sebagai hasil pengondisian yang sederhana dengan menggunakan binatang sebagai
bahan eksperimen. Teori ini menitik beratkan kajiannya pada pengalaman
disadariyang bersifat subjektif dan disebut sebagai self direction.
Berbeda
dengan aliran psikodinamika, dalam konsep humanistik, manusia digambarkan
secara optimis dan penuh penghrapan. Manusia digambarkan sebagai individu yang
aktif, bertanggung jawab, punya potensi yang kreatif, bebas, berorientasi masa
depan dn selalu berusaha untuk self-fulfillment
(mengisi diri sepenuhnya untuk aktualisasi). Jika terjadi kegagalan untuk
mencapai hal ini, itu disebabkan oleh pengaruh yang menjerumuskan dan keliru
dari pendidikan dan latihan yang diberikan oleh istitusi pendidikan, oleh
orangtua, serta pengaruh sosial lainnya.
4. Aliran
Transpersonal
Aliran
ini sebenarnya merupakan pengembangan atau kelanjutan dari aliran humanistik,
dan sebenarnya sebagian juga merupakan pengembangan dari aliran psikodinamika
maupun behaviorisme. Disepakati sebagai aliran keempt dalam psikologi.
Psikologi transpersonal adalah aliran psikologi yang mengkaji aspek-aspek
transpersonal, transendensi diri,atau pengalaman spiritual manusia. Journal of Transpersonal Psychology
mendefenisikan psikologi transpersonal sebagai psikologi yang peduli terhadap
kajian tentang potensi tertinggi manusia, dengan pengenalan, pemahaman dan
realisasi keadaan kesadaran yang menyatu, bersifat spiritual, dan transenden.
Potensi-potensi
luhur manusia menghasilkan kajian-kajian
seperti altered states of
consciousness, persepsi luar indra (extra
sensory perception), transendensi diri, kerohanian, potensi luhur dan
mulia, dimensi di atas kesadaran, pengalaman mistik, ekstasi, parapsikologi,
daya batin, pengalaman spiritual, dan praktik-praktik keagamaan. Sedangkan the
states of consciousness atau sering disebut the altered states of consciousness
adalah pengalaman seseorang melalui batas-batas kesadaran biasa, seperti
pengalaman-pengalaman alih dimensi, memasuki alam-alam kebatinan (alam astral),
komunikasi batin, pengalaman meditasi, dan sebagainya.
B. Minat Dan Perhatian
Secara
sederhana, minat berarti kecenderungan dan kegairahan yang tinggi atau
keinginan yang besar terhadap sesuatu. Minat seperti yang dipahami dan dipakai
orang selama ini dapat mempengaruhi kualitas pencapaian hasil belajar peserta
didik dalam bidang-bidang studi tertentu.Banyak kalangan ahli psikologi
sependapat bahwa minat merupakan kecenderungan yang dimiliki oleh setiap orang/
individu untuk menyukai atau tidak menyukai sesuatu objek tertentu.
Objek
minat ini berada di sekitar lingkungan kehidupan individu. Semakin sering
individu berinteraksi dengan objek minat itu, maka semakin besar
kecenderung-annya untuk berminat terhadap objek minat itu.Suatu anggapan yang
keliru adalah apabila mengatakan bawa minat dibawa sejak lahir. Minat adalah
perasaan yang didapat karena berhubungan dengan sesuatu.Minat seseorang bisa
saja berubah karena adanya pengaruh seperti kebutuhan dan lingkungan
Perilaku
siswa di dalam kelas terkontruksi oleh hal-hal pokok seperti minat, rasa ingin tahu (kuriositas), keterikatan,
dan motivasi intrinsik yang kesemuanya berimplikasi kepada keterlibatan siswa secara aktif dalam pembelajaran serta kemampuan pemahaman siswa terhadap
bahan ajar. Minat berperan amat penting dalam kehidupan peserta didik dan
mempunyai dampak yang besar terhadap sikap dan perilaku siswa.
Kedua
istilah tersebut di atas, yaitu minat dan perhatian, amat dekat hubungannya,
karena adanya minat (interest) maka
timbul perhatian (attention) para
siswa. Biasanya makin dewasa, makin matang (matur) seorang siswa minat dan
perhatiannya akan lebih terarah. Minat didefinisikan sebagai kecenderungan hati
yang tinggi terhadap sesuatu (Kamus Besar Bahasa Indonesia, KUBI, 2002: 744).
Dalam KUBI antara minat dengan perhatian tidak dibedakan secara jelas sehingga
diperhatikan dikatakan sebagai menaruh minat (2002: 857).
Dalam
perbincangan sehari-hari pengertian minat dan perhatian memng sering
dikaburkan. Minat seolah-olah lebih ditekankan pada fungsi rasa, sedangkan
perhatian lebih menitikberatkan pada fungsi pikiran. Namun pada kenyataannya
kedua hal tersebut tidak dapat dipisahkan. Acapkali apa-apa yang menarik minat
menyebabkan kita berperhatian, sedangkan apa-apa yang menarik perhatian akan
menimbulkan minat pula. Ernest R.Hilgard (1997: 19) dalam bukunya yang berjudul
Introduction to Psychology menyatakan
“interest is persisting tendency to pay
attention to and enjoy some activity or content”, jadi minat adalah suatu
kecenderungan yang tetap untuk menaruh perhatian serta menyukai beberapa kegitan
atau bahan ajar tertentu. Dengan kata lain minat dan perhatian seperti halnya
dua sisi keping uang logam, baru bermakna jika kedua bagian itu ada.
Melihat
berbagai perspektif tentang minat dan perhatian maka membangkitkan minat dan
perhatian siswa terhadap kegiatan pembelajran adalah tugas pokok seorang guru.
Jika saat ini marak istilah PAKEM (pembelajaran aktif, kreatif, efektif, dan
menyenangkan) pada hakikatnya merupakan suatu pengakuan bahwa membangkitkan
minat siswa karena senang dn suka terhadap kegiatan pembelajaran adalah suatu
hal yang mutlak harus dilaksanakan oleh seorang guru. Guru memang harus
berupaya agar pembelajarannya selalu memikat dan menarik perhatian siswa. Minat
dan perhatian dipengaruhi faktor-faktor internal dan faktor-faktor eksternal.
Faktor-faktor internal antara lain, kesehatan, bakat, dan inteligensia. Peserta
didik yang sehat jasmani dan rohaninya akan terdorong untuk belajar dengan baik.
Dalam hubungan ini peserta didik yang kecewa terhadap orang tuanya, gagal dalam
pertemanan atau bahkan hubungan asmara akan cenderung menurun semangat dan
gairah belajarnya, minat dan perhatiannya terhadap pembelajaran juga jauh
berkurang.
Faktor
eksternal yang paling berpengaruh adalah lingkungan keluarga. Cara orang tua
dalam membelajarkan putra putrinya akan berpengaruh besar terhadap minat anak.
Orang tua harus siap sedia saat anak membutuhkan bantuan, terutama pada tingkat
sekolah dasar, saat-saat seperti di sekolah dasar rasa kuriositas anak pada
puncaknya, keinginan tahunya besar. Sementara itu suasana rumah juga harus
mendukung anak dalam belajar, kerapian dan ketenangan perlu di pelihara. Faktor
eksternal lain adalah sekolah, lingkungan masyarakat, dan juga lingkungan alami
disekitar anak.
C. Motivasi
Motivasi
adalah kekuatan yang menjadi pendorong kegiatan individu untuk melakukan suatu
kegiatan guna mencapai tujuan. Motivasi terbentuk oleh tenaga-tenaga yang
bersumber dari dalam dan luar individu. Terhadap tenaga-tenaga tersebut para
ahli memberikan istilah yang berbeda, seperti desakan atau drive, motif
atau motive, kebutuhan atau need, dan keinginan atau wish.
Motivasi
dapat dibedakan menjadi dua macam,yaitu intrinsik dan ekstrinsik. Motivasi
intrinsik adalah hal dan keadaan yang berasal dari dalam diri peserta didik
sendiri yang dapat mendorongnya melakukan tindakan belajar. Sedangkan motivasi
ekstrinsik adalah hal dan keadaan yang datang dari luar individu peserta didik
yang juga mendorongnya untuk melakukan kegiatan belajar. Seseorang yang termotivasi
akan merespon ke arah suatu tujuan. Misalnya, seseorang ingin menjadi juara
maka ia akan belajar, bertanya kepada guru, membaca buku, dan mengerjakan tes
dengan hati-hati.
Memotivasi
anak adalah suatu kegiatan memberi dorongan agar anak bersedia dan mau
mengerjakan kegiatan atau perilaku yang diharapkan oleh pendidik, baik guru
maupun orang tua. Anak yang memiliki motivasi akan memungkinkan ia untuk
mengembangkan dirinya sendiri. Contoh memotivasi anak adalah membuat senang
hati anak, membantu anak agar tertarik melakukan sesuatu, kelembutan,
menyayangi dan mencintainya.
Jadi
motivasi termasuk hal paling krusial yang mempengaruhi tercapainya tujuan
pendidikan. Kekurangan atau ketiadaan motivasi, baik yang bersifat internal
maupun yang bersifat eksternal, akan menyebabkan kurang bersemangatnya peserta
didik dalam melakukan proses pembelajaran materi-materi pelajaran baik di
sekolah maupun di rumah.
Motivsi
sesorang menyebabkan orang tersebut mencoba untuk menyelidiki (to explore) dan mempergunakan, memanipulasi
(to manipulate) lingkungan. Dalam
kehidupan sehari-sehari motif untuk menyelidiki dan memanipulasi lingkungan ini
biasanya menjadi satu. Minat yang dalam terhadap sesuatu akan menimbulkan
perhatian yang saksama. Tugas guru yang utama adalah membangkitkan dan
mempertajam motivasi anak didik sehingga timbul minatnya yang diiringi
perhatian yang saksama terhadap bahan ajar.
Sementara
itu Brennen dalam makalahnya berjudul Enchancing
Students’ Motivation, menyatakan ada empat teori terkait motivsi. Motivasi
dapat ditinjau menurut pandangan teori perilaku, pandangan teori kognitif,
pandangan teori humanistik, dan pandangan teori berprestasi.
1. Pandangan
Teori Perilaku (Behavioral View)
Biehler dan Snowman (1993)
menyatakan bahwa penafsiran tentang pembelajaran oleh ahli psikologi perilaku
membantu menjelaskan mengapa peserta didik lebih suka pada bahan ajar tertentu
dan kurang menyukai yang lain. Para ahli psikologi menengarai bahwa penggunaan
yang berlebihan dari bentuk motivasi ekstrinsik justru akan menimbulkan
kesebalan, pembatasan transfer pengetahuan dari guru kepada siswa, dan
ketergantungan kepada guru yang besar, serta pengabaian terhadap motivasi
intrinsik. Para ahli psikologi menyarankan agar penggunaan ekstrinsik hanya
dilaksanakan jika timbul respons peserta didik yang sesuai atau seperti yang
diharapkan.
2. Pandangan
Teori Kognitif (Cognitive View)
Teori kognitif menekankan kepada perlunya motivasi
intrinsik. Bila para guru menggunakan motivasi intrinsik, seperti memunculkan
keadaan ketidakseimbangan dengan problem yang menantang dan kontekstual, para
siswa menilai dan memaknai pembelajaran sebagai kebutuhannya sendiri. Jerome S.
Bruner menyarankn agar munculnya keadaan ketidakseimbangan kognitif semacam ini
dipicu dengan cara mengajukan sejumlah pertanyaan yang menantang oleh para
guru. Dengan cara seperti ini, para siswa akan melihat adanya celah-celah
pemikiran dalam pemahamannya terhadap suatu bahan ajar, sehingga mereka
terdorong untuk mengisi celah-celah tersebut.
3. Pandangan
Teori Humanistik (The Humanistic View)
Kebutuhan (needs) itu oleh Abraham Maslow dibuat peringkatnya, mulai dari
peringkat yang paling dasar berupa kebutuhan fisiologis, kemudian kebutuhan
akan rasa aman, kebutuhan untuk memiliki dan mencinti, kebutuhan untuk penghargan
diri dan puncaknya adalah kebutuhan untuk aktualisasi.
4. Pandangan
Teori Motivasi Berprestasi (Achievement
Motivation Theory)
Teori ini menekankan
pandangannya bahwa manusia cenderung
ingin sukses pasa derajat kesuksesan yang paling tinggi yang dapat diraihnya,
sementara pada saat yang sama mereka berusaha menjauhkan diri dari kegagalan.
Kebutuhan akan prestasi (the need for
achievement) akan meningkat bila seseorang mengalami sukses. Sukses yang
satu akan memacu keinginan mencapai sukses yang lain, demikian seterusnya. Ada
suatu catatan yang menarik dari sejumlah ahli psikologis bahwa sejumlah
perempuan takut meraih sukses jika kesuksesan itu diyakinkan dapat mengganggu
hubungannya dengan orang lain.
Dalam
hubungan upaya menjauhkan dari kegagalan ini, para ahli psikologi telah
mengembangkan teori atribusi (The
Attribution Theory). Menurut teori ini para siswa yang berprestasi rendah
(low achievers) akan menandai atau menganggap kegagalan sebagai kurangnya
kemampuan, sedangkan sukses ditandai sebagai keberuntungan. Sedangkan siswa
yang berprestasi tinggi (high achievers) akan menandai kegagalan sebagai
kurangnya upaya, dan sukses merupakan gabungan antara upaya dan kemampuan.
Biehler dan Snowman (1979) menyebutkan ada dua keterbatasan teori prestasi dan
atribusi ini, yaitu (1) aspirasi, kebutuhan berprestasi, takut akan sukses (fer of success), reaksi terhadap sukses
sering sulit diamati dan dianalisis, (2) ada kesenjangan konsistensi dalam
perilaku, siswa terkadang berperilaku low
achieverskadang juga high achievers.
Berhubungan
dengan teori motivasi berprestasi dan tribusi itu David Mc Clelland menyatakan
ada tiga macam kebutuhan manusia yang disebutya taksonomi kebutuhan dan terdiri
dari, need for achievement(N-Ach), need for power(N-Pow) dan need fot
affiliation (N-Affil). Istilah-istilah tersebut sebelum dipopulerkan oleh
David Mc Clelland dalam publikasinya yang berjudul, Methods of Measuring Human Motivtionyang dimuat dalam Achieving Society (John W. Atkinson,
ed., 1961), sudah lebih dulu diperkenalkan oleh Henry Murray dalam karyanya
berjudul Exploration in Personality
(1938), yang esensinya sebagai berikut:
1) Need for Achievement,
N-Ach (kebutuhan untuk berprestasi, yaitu
kebutuhan untuk bersaing atau melampaui standar pribadinya, menyelesaikan
sesuatu yang amat bermakna, menguasai keterampilan tertentu yang menantang.
Seseorang memiliki kebutuhan berprestasi tinggi bila iya menggunakan waktunya
untuk memikirkan cara mengerjakan sesuatu dengan lebuh efektif, lebih efisien,
dengan cara yang tidak biasa atau bersifat unik, atau melepaskan diri dari
kebiasaan lama yang telah dilakukan oleh orang lain. N-Ach terkait dengnan
pilihan seseorang untuk menyelesaikan
tugastugas - yang sulit dan menantang namun tetap dapt diraih. Hal-hal yang
mendukung perkembangan N-Ach tinggi atara lain:
a. Orang
tua yang mendorong kemandirin anak-anaknya.
b. Penghargaan
dan imbalan bagi kesuksesan.
c. Asosiasi
(upaya mengaitkan) prestasi dengan perasaan positif.
d. Asosiasi
(upaya mengaitkan) prestasi dengan kompetensi dan daya upaya sesorang, bukan
dengan keberuntungan.
e. Timbulnya
suatu keinginan menjadi efektif dan tertantang.
f. Kekuatan
intrapersonal (bangkit dari dalam diri sesorang)
g. Kemampuan
untuk menetapkan tujuan hidup (goal
setting abilities)
h. Kelayakan
tujuan (feasibility)
i. Sifat
yang menyukai tugas-tugas yang menantang (desirability)
Dalam
hubungan ini dengan melaksanakan Thematic
Apperception Test(TAT) yang disusun oleh Mc Clelland, seseorang dapat
diketahui apakah tergolong kelompok high
achievers (berprestasi tinggi) atau low
achievers (berprestasi rendah) bergntung skor yang diperolehnya dalam TAT.
2) Neef for Power, N-Pow (kebutuhan
untuk berkuasa), yaitu suatu kecenderungan untuk mempunyai pengaruh atas orang
lain dengan tujuan sebagai orang kuat atau berkuasa. Seseorang dinyatakan
memiliki kebutuhan berkuasa tinggi bila iya menggunakan waktunya memikirkan
cara bagimana untuk memengaruhi orang lain atau untuk mencapai suatu kedudukan
atau status sosial tertentu. Laki-laki dengan N-Pow tinggi ingin mengekspresikannya
dengan cara yang lebih agresif, dengan cara eksploitasi seks, berpatisipasi
dalam olahraga yang kompetitif, sedangkan wanita dengan N-Pow yang tinggi
mengekspresikannya dengan cara-cara yang lebih diterima secara sosial dang
bertanggungjawab, lebih peduli dan berperhatian.
3) Need for Affiliation,
N-Aff (kebutuhan untuk berafiliasi) suatu
kebutuhan dari sejumlah individu untuk menjalin hubungan persahabatan dengan
orang lain, tanpa memandang status, kedudukan,jbtan, ataupun pekerjaan. Afiliasi
didefinisikan sebagai hubungan personal yang positif kadanng-kadang intim
(akrab).
Seseorangdinyatakan
memiliki kebutuhan berafiliasi tinggi bila iya menggunakan waktunya untuk
memikirkan cara bagaiman menjalin hubungan persahabatan, keakraban dengan orang
lain serta memedulikan orang lain. Dalam situasi yang menimbulkan ketakutan dan
kecemasan, seseorang akan merasa memerlukan N-Aff atau cenderung mencari orang
lain, bergabung dan mendekat kepada orang lain untuk mendapatkan perlindungan dan rasa aman.
Sehubungan
dengan motivasi intrinsik maupun motivasi ekstrinsik ini Stepik (1988)
menyarankan agar dalam pembelajaran guru mengakomodasikan kedua jenis motivasi
tersebut sesuai dengan saran-saran yang tergambar dalam Tabel 6.1 berikut ini:
Tabel 6.1 Tugas Guru
Dalam Pembelajaran Sesuai Motivasi Siswa
Memenuhi Motivasi Intrinsik
|
Memenuhi Motivasi Ekstrinsik
|
·
Jelaskan atau tunjukkan mengapa
mempelajari bhan ajar tertentu itu penting
|
·
Berikan harapan yang jelas dari
mempelajari bahan ajar
|
·
Ciptakan atau pertahankan rasa ingin
tahu kuriositas
|
·
Berikan umpan balik korektif yang
sepadan
|
·
Sediakan bermacam aktivitas dan
rangsangan saraf
|
·
Sediakan penghargaan/hadiah yang
bernilai
|
·
Tetapkan tujuan pembelajaran bersama
siswa
|
·
Selalu siap dengan penghargaan (di USA
jenis penghargaan ini dapat berupa pujian verbal, tepukan di pundak, acungan
jempol, telepon kepada orang tua atas prestasi siswa, sampai berupa
sertifikat, dan bukan berupa uang)
|
·
Kaitkan pembelajaran dengan kebutuhan
siswa
|
|
·
Bantulah para siswa mengembangkan
rencana kegiatan pembelajaran
|
|
5. Pandangan
Teori Konvensional
Disamping keempat teori tersebut
adapandangan teori keonvensional tentang motivasi yang perlu juga diperhatikan
dan juga dipahami. Teori-teori tersebut antar lain adalah:
a. Teori
Hedonisme
Kata
hedon berasal dari bahasa latin hedone
yang maknanya adalah kenikmatan, kesukaan, kesenangan (pleasure, delight).Hedonisme memandang bahwa tujuan hidup yang
utama dari manusia adalah mencari nikmat duniawi. Oleh sebab itu menghadapi
masalah orang cenderung memilih alternatif pemecahan yang dapat menimbulkan
kesenangan daripada yang mengakibatkan kesukaran, kesulitan, kesengsaraan,
penderitaan, dan lain-lain.
Pergaulan
bebas (free sex) yang melanda dunia
Barat adalah salah satu bentuk pemujaan terhadap Hedonisme. Salah satu contoh
bahwa Hedonisme melanda dunia Barat dapat dibaca pada hatian Kompas, 28
November 2012. Jika dilacak dalam sejarah, hedonisme sudah berkembang sejak
zaman Mesir kuno pada zaman Fir’aunIntef, berkembang di India sekitar 600 SM
sampai abad ke XIV M, dengan aliran hedonisme yang bernama Carvaka.
b. Teori
Naluri
Secara
kodrati manusia dilengkapi dengan tiga naluri utama yang dipentingkan untuk
hidup dan kehidupannya. Naluri utamanya antara lain adalah naluri
mempertahankan diri, naluri mengembngkan diri, dan naluri mempertahankan jenis.
Sumber lain menyatakan bahwa manusia dapat bertahan hidup karena mampu
beradaptasi secara fisik dan mental dalam dunia yang selalu berubah, kecakapan
beradaptasi itu disebut mekanisme bertahan hidup (survival mechanism). Mekanisme untuk bertahan hidup itu terbangun
karena manusia memiliki rasa takut (fear),
cemas (anxiety), marah dan frustasi (anger and frustration), depresi (depression), kesendirian dan kebosanan
(loneliness and boredom), serta rasa bersalah (guilt)
c. Teori
Sosiokultur
Menurut
teori ini perilaku manusia tidak didasarkan atas naluri, namun dilandasi
pola-pola perilaku yang dipelajari sebgai hasil pergumulannya dengan tradisi
dan budaya tempat iya tinggal hidup. Teori ini disebut juga teori lingkungan
kehidupan. Implikasi praktis dari teori ini adalah penjelasan bagi adanya
perbedaan motivasi antar siswa ternyata dapat dilacak dan dimulai di ruang
kelas, rumah, dan konteks sosiokultural, daripada melacak dari orang per orang.
D.
Resiliensi
Resiliensi
merupakan wacana baru dalam dunia psikologi namun amat penting dipahami oleh
guru dan diimplementasikan dalm pendidikan di sekolah, terutama di abad XXI
ini. Awal sekali terminologi resiliensi berkembang dari lapangan psikiatri,
kemudian berkembang pula dalam bidang psikologi dan sosiologi. Resiliensi pada
umumnya didefinisikan sebagai kemampuan seseorang untuk membangkitkan
faktor-faktor biologis, psikologis dan sosialnya untuk mempertahankan,
beradaptasi dan memperkuat dirinya dalam menghadapi risiko di lingkungan
sehingga menghasilkan sukses pribadi, sosial, maupun moral. Konsep resiliensi
hadir sebagai penyeimbang pandangan konvensional yang menyatakan bahwa stres
semata-mata hanya menimbulkan efek negatif, frustasi dengan berbagai dampak
ikutannya misalnya, konsep ini mencoba memaparkan hikmah positif dari stres,
stres tidak hanya menghadirkan distress
(negative stress), tetapi jua
eustress (positive stress).
Esensinya,
banyak hasil studi yang menolak pandangan konvensional bahwa stres merupakan
petaka yang tidak dapat dielakkan yang menyebabkan seseorang hidup abadi dalam
lingkaran setan kegagalan, kemiskinan, derita, penyimpangan, kekerasan serta
bentuk kegagalan hidup yang lain. Konsep konvensional ini hanya berorientasi
kepada stres yang negatif jika seseorang menghadapi tekanan hidup, sehingga
timbul trauma yang berkepanjangan. Konsep modern yang antari lain disponsori
oleh Garmezy dan Strietman pada tahun 1970-an menganggap bahwa resiliensi telah
membantu upaya perkembangan anak dan siswa secara lebih baik dalam menghadapi stres. Garmezy (1973)
pertama kali mengungkapkan pertemuannya tentang resiliensi sebagai hasil riset
epidemiologi. Garmezy dan Streitman (1974) kemudian menciptakan suatu instumen
untuk mengamati sistem yang mendukung perkembangan resiliensi seseorang.
Resiliensi
adalah proses dinamis yang tterjadi
bilamana seseorang menunjukkan perilaku adaptasi yang positif tatkala
menghadapi penderitaan, kesengsaraan, trauma, tragedi, ancaman maupun
sumber-sumber stres lain yang signifikan. Resiliensi sering dimaknai sebagai
keadaan bangkit kembali (bouncing back)
dari pengalaman-pengalaman pahit kehidupan. Kemudian, Rirkin dan Hoopman
seperti yang dikutip oleh Desmita (2011: 200) merumuskan definisi resiliensi
yang secara khusus ditujukan kepada pendidik dan siswa yang berisi unsur-unsur
pembanguna resiliensi di sekolah, yaitu “the
capacity to spring back, rebound, succesfully adapt in the face of adversity,
and develop social, academic, and vocartional competence despite exposure to
severe stress or simply to the stress that is inherent in today world”.
Jadi resiliensi dimaknai sebagai kemampuan untuk melenting baik, melentur,
beradaptasi secara sukses dalam menghadapi penderitaan, sert mengembangkan
kompetensi sosial, kompetensi akademik, dan kompetensi vokasional tatkala
terpapar stres yng parah atau stres lain, yang melekat dalam dunia dewasa ini.
APA
(American Psychological Association)
menyatakan ada beberapa faktor yang terkait dengan resiliensi, yaitu:
· Kapasitas
menyusun rencana yang realistis serta mengambil langkah-langkah yang diperlukan
untuk mewujudkan rencana tersebut;
· Pandangan
positif terhadap diri sendiri serta kepercayaan diri terhadap kekuatan dan
kemampuan diri;
· Memiliki
keterampilan dalam berkomunikasi dan memecahkan msalah;
· Kapasitas
untuk mengelola perasaan dan impuls yang kuat.
Seluruh
faktor ini diketahu dapat dikembangkan dalam setiap pribadi orang per orang.
Selanjutnya APA juga menyarankan 10 cara untuk membangun resiliensi dalam diri
seseorang, yang terdiri dari:
1) Jalin
hubungan, hubungan yang baik dengan keluarga dekat, teman, atau orang lain
adalah penting.
2) Jauhi
melihat krisis sebagai masalah yang tidak dapat diatasi. Optimislah, biasanya
selalu ada kemudahan dibalik kesulitan, selalu ada seberkas cahaya keperakan
didalam mendung yang menggumpal (every
cloud has a silver lining).
3) Terimalah
setiap perubahan itu sebagai bagian dari kehidupan. Tujuan tertentu sering kali
tercapai sebagai hasil dari penderitaan.
4) Majulah
selalu menuju tujuan hidup. Kembangkan dan rumuskan sejumlah tujuan hidup yang
realistis.
5) Ambillah
keputusan. Lakukan kkegiatan sebanyak mungkin dalam situasi yang penuh
perjuangan dan penderitaan.
6) Carilah
kesempatan bagi adanya penemuan pribadi.
7) Kembangkan
pandangan positif mengenai diri kita sendiri.
8) Jagalah
segala sesuatunya tetap dalam perspektif.
9) Pertahankan
pandangan yang penuh pengharapan.
10) Peduli
pada diri sendiri.
Konsep
yang lebih dahulu dan kemanfaatannya dalam pembelajaran hampir mirip dengan
resiliensi adalah konsep kemampuan diri (self
efficacy). Teori kognitif sosial menekankan pentingnya peran belajar
melalui observasi (observational learning) serta pengalaman sosial dalam
perkembangan kepribadian seseorang. Konsep pokoknya adalah aksi reaksi
seseorang, termasuk perilaku sosial dan proses kognitifnya, dalam kebanyakan
situasi dipengaruhi oleh tindakan orangan lain yang diamati dan
diperhatikannya, maupun hasil pengamatannya terhadap lingkungannya. Di dalam
kelas untuk meningkatkan self afficacy ini guru dapat melibatkan siswa dalam
diskusi atau mengajukan sejumlah pertanyaan yang memandu kuriositas mereka.
E.
Pekembangan
Peserta Didik
Bicara
tentang perkembangan peserta didik disamping mendekatinya dari aspek psikologi
secara umum, pada umumnya juga dikaitkan dengan perkembangan mental (kognitif)
yang diungkapkan oleh Jean Piaget, serta perkembangan moral yang digagas oleh
Lawrence Kohlberg. Sebelum membahas perkembagan psikologi anak secara umum,
sedikit dibahas perkembangan moral peserta didik menurut Lawrence Kohlberg.
Teori Kohlberg ini merupakan adaptasi dari teori perkembangan moral dari Jean
Piaget. Kohlberg mengklasifikasikan perkembangan moral menjadi tiga tingkatan (level), yang kemudian dibagi lagi
menjadi enam tahap (stage). Secara
ringkas dipaparkan dalam tabel berikut:
Tabel 6.2 Tahap
perkembagan Moral Peserta Didik Menurut Kohlberg
Level
1: Moralitas Pra-Konvensional
|
||
Tahap 1
|
Orientasi
Kepatuhan dan Hukuman
|
Ini adalah
tahap di mana anak-anak muda memulai tahapan moralnya (ada sedikit orang
dewasa yang tetap dalam tahap ini). Aturan dilihat sebagai sesuatu yang pasti
dan mutlak. Mematuhi aturan adalah penting karena berarti menjauhi hukuman
|
Tahap 2
|
Orientasi
Minat Diri
|
Senyampang
anak tumbuh makin dewasa mereka mulai melihat bahwa orang lain memiliki
tujuan dan kepentingan hidup dan selalu ada ruang untuk negosiasi. Keputusan
dibuat berlandaskan “apa gunanya hal ini bagiku?”. Misalnya, seorang anak
mungkin akan berpikir “jika aku melakukan apa keinginan ibu atau ayahku,
mereka akan memberikan hadiah, oleh karenanya aku akan melakukannya.”
|
Level
2: Moralitas Konvensional
|
||
Tahap 3
|
Orientasi
Konformitas Sosial
|
Tahap ini
kebanhyakan dimiliki oleh remaja. Sudah ada perasaan tentang apa itu anak
lelaki yang keren dan gadis yang cantik, mereka melakukan sesuatu dengan
penekanan kepada harapan sosial serta norma-norma sosial karena akan
berdampak pada hubungan mereka sehari-hari.
|
Tahap 4
|
Orientasi
Hukum dan Peraturan
|
Pada saat ini
setiap anak mencapai kedewasaanya, dalam membuat keputusan dan pertimbangan
mereka biasanya akan mengacu kebutuhan atau kepentingan masyarakat umum. Mereka
berfokus untuk mempertahankan hukum dan aturan dengan mematuhinya, melaksakan
kewajiban pribadinya dan menghormati otoritas.
|
Level
3: Moralitas Pos-Konvensional
|
||
Tahap 5
|
Orientasi
Kontrak Sosial
|
Pada tahap
ini, orang menyadari bahwa mereka berbeda dalam hal pendapat tentang apa yang
benar dan yang salah bahwa hkum sejadar kontrak sosial berlandaskan keputusan
suara mayoritas dan dapat dikompromikan. Orang-orang pada tahap ini
kadang-kadang tidak mematuhi hukum bila melihat aturan tersebut tidak konsisten
dengan nilai personalnya dan juga menginginkan mengubah hukum tertentu bila
tidak lagi berjalan. Demokrasi modern kita berpangkal dari pemikiran tahap 5
ini.
|
Tahap 6
|
Orientasi
Etika Universal
|
Hanya sedikit
orang yang ada pada tahap ini pada sepanjang waktunya. Ini berpangkal pada
pengakuan penalaran abstrak serta kecakapan untuk meletakkan kepentingan
pribadi di bawah kepentingan umum. Pada tahap ini orang memiliki kesadarah
prinsip dan akan mengikuti prinsip etika universal tanpa memandang hukum aturan
resmi.
|
Dalam
kaitan dengan perkembangan peserta didik, Hurluck membaginya menjadi
perkembangan pada tahap awal masa kanak-kanak, tahap akhir masa kanak-kanak,
masa puber, masa remaja, dan masa dewasa. Pembahasan perkembangan peserta didik
akan difokuskan sejak akhir masa kanak-kanak (usia SD), masa puber (masa SMP)
dan masa remaja (masa SMA/SMK).
1. Perkembangan
Anak Pada Akhir Masa Kanak-Kanak
Menurut
Elezabeth B.Hurlock akhir masa kanak-kanak (late childhood) berlangsung dari
usia 6 tahun sampai tiba saatnya individu baligh, atau matang secara seksual.
Biasanya pada anak perempuan ditandai oleh awal menstruasi, umumnya di sekitar
usia 13 tahun, dan untuk anak laki-laki ditandai oleh “mimpi basah” umumnya
pada sekitar usia 14 tahun.
Para
pendidik melabelkan akhir masa kanak-kanak dengan usia sekolah dasar. Pada usia ini anak-anak diharapkan mendapatkan
dasar-dasar pengetahuan yang penting bagi keberhasilan penyesuaian diri bagi
kehidupan dewasa serta mempelajari sebagai keterampilan penting tertentu, baik
keterampilan kurikuler maupun ekstra kurikuler. Dalam konteks saat ini,
berbagai kecakapan hidup (life skills)
termasuk soft skill anak-anak mulai
berkembang dengan baik. Para pendidik juga memandang periode ini sebagai
periode kritis dalam dorongan berprestasi, suatu masa di mana anak membentuk
kebiasaan untuk mencapai sukses, tidak sukses, atau sangat sukses.
Sementara
itu ahli psikologi menandai akhir masa kanak-kanak ini sebagai usia berkelompok. Pada masa ini
perhatian utama anak tertuju kepada keinginan diterima oleh teman-teman
sebayanya sebagai anggota kelompok, terutaman kelompok yang dianggap bergengsi
dalam pandangan mereka. Ahli psikologi memnyebutkan anak-anak pada usia ini
adalah pada usia penyesuaian diri.
Pada usia ini anak-anak tidak puas jika hanya bergaul dan bermain sendiri atau
dengan saudara kadungnya di rumah, ia akan merasa kesepian jika tidak bermain
dengan teman-temannya di luar rumah. Dua atau tiga orang teman tidaklah cukup
baginya sehinga ia cenderung membentuk geng. Umumnya geng merupakan kelompok
anak berjenis kelamin sama. Masalahnya geng semacam ini sering terjerumus ke dalam
perilaku sosial yang buruk
Pada
tahun-tahun prasekolah sebenarnya anak-anak sudah mempelajari berbagai keterampilan, terutama keterampilan
fisik yang diperlukan dalam permainan dan aktifitas fisik, sehingga pada usia
sekolah mereka sudah memiliki berbagai keterampilan. Pada umumnya anak-anak
perempuan melebihi anak-anak laki-laki dalam penguasaan berbagai keterampilan
yang melibatkan otot motorik kasar seperti basket, melempar bola, menendang
bola, lompat jauh lompat tinggi, berlari, mengejar dan menghindari kejaran, dan
sebagainya. Berbagai keterampilan yang mulai berkembang tersebut dapat dilihat
sebagai berikut:
Tabel 6.3 Berbagai
Keterampilan yang Berkembang pada Usia Sekolah Dasar
No
|
Jenis
Keterampilan
|
Contoh
Keterampilan
|
1
|
Menolong Diri
Sendiri
|
Anak yang
lebih besar harus dapat makan, berpakaian, mandi, dan berdandan sendiri
hampir secepat dan semahir orang dewasa
|
2
|
Menolong Orang
Lain
|
Di rumah
mencakup membersihkan tempat tidur, membersihkan debu dan menyapu, di sekolah
mencakup mengosongkan tempat sampah, mkembersihkan papan tulis, menyapu
lantai kelas, dalam kelompok bermain mencakup menolong membuat rumah-rumahan,
membuat boneka
|
3
|
Sekolah
|
Menulis,
menggambar, melukis, membentuk tanah liat, menari, mewarnai dengan krayon,
menjahit, memasak, pekerjaan tangan dari bahan kayu
|
4
|
Bermain
|
Melempar dan
menangkap bola, naik sepeda, sepatu roda, board
skating, berenang, “pastil lele”, benteng-bentengan, “gobang sodor”.
|
Kecuali
itu pada usia ini kecakapan berbicara anak-anak juga berkembang. Mereka mulai
suka mengobrol, banyak bicara. Jika diajari dengan baik mereka sudah pandai
mengucapkan kosa kata etiket seperti “minta tolong”, “terimakasih”, “selamat
pagi”, “assalamu’alaikum”, dan sebagainya. Hal yang patut dijaga oleh guru dan
orang tua, perbendaharaan kosa kata sering dipelajarinya dari lingkungan
pergaulan, kosa kata makian, sumpah serapah, kata-kata kotor mulai
dipelajarinya dari lingkungan.
Jenis-jenis
hiburan yang digemari anak-anak pada
periode ini adalah membaca, termasuk membaca komik, film, radio dan televisi,
juga senang melamun dan berkhayal. Agar minat anak dalam mebaca berkembang
perlu dukungan dari orang tua dan orang yang lebih tua lainnya. Di sekolah-sekolah
dasar yang maju setiap anak pada masa ini sudah dibiasakan untuk mengarang,
membuat ringkasan dari cerita pendek yang dibaca, menyampaikan komentar dari
suatu bacaan dengan bahasa mereka sendiri (melakukan prafase).
Konsep-konsep
yang berkembangan pada saat akhir masa kanak-kanak (anak-anak usia SD) ini
antara lain adalah:
·
Membina sikap yang
sehat (positif) terhadap dirinya sendiri sebagai seorang individu yang sedang
berkembanng, seperti kesadaran tentang harga diri (self esteem) dan kemampuan diri (self aficacy).
·
Belajar bergaul dan
bekerja dalam kelompok
·
Sudah memiliki
pengertian yang baik tentang kehidupan, menyadari bahwa tanda kehidupan bukan
hanya berupa gerakan tubuh, namun juga bernapas dan lainnya.
·
Belajar bergaul denga
teman-teman sebaya sesuai dengan etika moral yang berlaku di masyarakat
sekitarnya.
·
Sudah memahami perlunya
membina dn membiasakan hidup sehat.
·
Mulai belajar
menjalankan peran sosial sesuai dengan jenis kelaminnya.
·
Mengembangkan
dasar-dasar keterampilan membaca, menulis, dan berhitung (calistung)
·
Sudah memiliki
pengertian yang baik tentang kematian
·
Konsep tentang penyebab
fisik biasanya berkembang lebih dulu daripada konsep tentang penyebab
psikologis.
·
Anak mengembangkan
konsep tentang apa yang dapat dicapai dalam jangka waktu tertentu.
·
Mengembangkan kata
hati, moral dan skala nilai yang selaras dengan keyakinan dan kebudayaan yang
berlaku di masyarakat sekitarnya.
·
Konsep tentang diri
sendiri semakin jelas ketika ia mulai mengenal dirinya sendiri melalui
pandangan guru-guru dan teman sekelasnya, ketika ia membandingakan kemampuan
berprestasinya dengan kemampuan teman-temannya.
·
Pada akhir periode ini
anak-anak umumnya (termasuk anak wanita) berpandangan bahwa peran pria lebih
berwibawa daripada peran wanita.
·
Pada usia ini anak yang
lebih tua sadar akan status sosial, agama, ras, dan status sosial-ekonomi dari
teman sebaya mereka, mereka menerima steriotip budaya dan bersikap dewasa
terhadap status ini (dikembangkan dari Syah, 2011: 50 dan Hurlock, 1980)
2. Perkembangan
Anak pada Masa Puber
Pubertas
adalah periode dalam rentang perkembangan ketika anak-anak berubah dari makhluk
aseksual menjadi makhluk seksual. Root dalam Hurluck (91980: 184) menyatakan
bahwa “masa puber adalah suatu tahap dalam perkembngan di mana terjadi kematangan
alat-alat seksual dan tercapai kemampuan reproduksi”. Kata pubertas berasal
dari kata lain yang berarti usia dewasa. Kata ini lebih menunjuk kepada
perubahan fisik daripada perubahan perilaku.
Masa
puber dianggap sebagai periode tumpang tindih karena mencakup tahun-tahun akhir
masa kanak-kanak dan tahun-tahun awal masa remaja (adolescence). Masa puber
relatif singkat, sekitar 2-4 tahun. Anak yang mengalami masa puber 2 tahun atau
kurang disebut anak yang cepat matang, sedangkan yang masa pubernya 3-4 tahun
disebut lambat matang.
Dalam
masa puber ada 4 perubahan tubuh yang utama, yaitu perubahan besarnya tubuh,
perubahan proporsi tubuh, pertumbuhan ciri-ciri seks primer dan perkembangan
ciri-ciri seks sekunder. Perubahan pada masa puber memengaruhi keadaan fisik,
sikap dan perilaku. Karena akibatnya cenderung buruk, terutama selama awal masa
puber, maka masa puber sering disebut fase negatif. Dua keprihatinan yang
merupakan ciri masa puber berhubungan dengan masalah kenormalan dan kepatuhan
seks. Sikap dan perilaku yang dominan pada masa puber antara lain adalah suka
menyendiri, cepat merasa bosan pada semua hal, terjadi antagonisme sosial,
mereka cenderung enggan bekerja sama, sering membantah dan menantang, emosi
meninggi, murung, merajuk, mudah meledak kemarahannya dan kecenderungan untuk
menangis, hilangnya kepercayaan diri. Namun sering kali terjadi ambivalensi
antara keinginan menyendiri dan keinginang bergaul, serta keinginan untuk bebas
dari dominasi dengan kebutuhan terhadap bimbingan dan bantuan orang tua.
3. Perkembangan
Anak pada Masa Remaja
Istilah
adolescence atau remaja berasal dari
kata Latin adolescence yang berarti
tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Istilah ini, saat ini memiliki arti yang
lebih luas, mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik. Masa
remaja disebut dengan periode perubahan. Perubahan itu jauh lebih cepat pada
awal masa remaja daripada pada akhir masa remaja. Perubahan itu meliputi
perubahan perilaku, sikap, sikap dan nilai-nilai.
Pada
masa remaja ini mereka mulaimengembangkan sikap positif terhadap pernikahan,
hidup berkeluarga, dan mempunyai anak. Mereka mencoba memilih dan mempersiapkan
karier di masa depan sesuai dengan minat dan kemampuannya. Perubahan sosial
yang penting pada masa remaja meliputi meningkatnya pengaruh kelompok sebaya,
pola perilaku sosial yang lebih matang, pengelompokkan sosial yang baru dan
nilai-nilai baru dalam pemilihan teman dan pemimpin maupun dalam dukungan
sosial.
Melihat
berbagai catatan hasil pengamatan para ahli psikologi dapat dipahami jika seorang
anak yang semula bertinglah manis (“anak mama”) pada saat usia SMP setelah
mendapatkan induktrinasi oleh seniotnya di SMA ternyata berubah menjadi anak
yang brutal, beringas dan suka berkelahi membela kelompoknya sehingga terjadi
tawuran antar remaja, tidak sekadar bertujuan menyakiti, bahkan ada keinginan
membunuh lawan atau yang dipersepsikan sebagai lawan oleh para senior
panutannya. Dalam hubungan ini, sudah menjadi tugas da fungsi sekolah untuk
memupuk semangat keberagaman siswa melalui pembelajaran agama yang lebih
terbuka dan mengedepankan toleransi. Siswa juga harus dibiasakan untuk menjalin
hubungan yang harmonis dengan seluruh warga sekolah (guru, tenaga pendidikan,
tenaga nonkependidikan, serta siswa yang lain). Sementara itu dengan semakin
sulitnya kehidupan dan tantangan untuk berkarier di abad XXI ini, sekolah
(dalam hal ini guru) wajib melatih siswa mengembangkan resiliensi, kemampuan
bertahan dalam kondisi sulit dan penuh tajtangan serta godaan.
KESIMPULAN
Berdasarkan
hasil analisis data yang telah dilakukan dalam penelitian ini, maka peneliti
menyimpulkan bahwa pengetahuan psikologi sangat diperlukan dalam praktik
pembelajaran serta hubungan yang sangat signifikan antara motivasi intrinsik
dan motivasi ekstrinsik dengan minat dan perhatian siswa terhadap pembelajaran.
Dari hasil koreksi bisa diketahui bahwa motivasi sangat mempengaruhi minat dan
perhatian siswa terhadap pembelajaran.
DAFTAR PUSTAKA
Abudin Nata.,(2010). Ilmu Pendidikan
Islam. Jakarta: Prenada Media
Muhibbin Syah., (2009).Psikologi
Belajar. Jakarta: Rajawali Pers
Syaiful Bahra Djamarah., (2002).Psikologi
Belajar. Jakarta: Rineka Cipta
Abdul Majid.,(2012). Belajar dan
Pembelajaran PAI. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Fatimah, E.,
(2010). Psikologi Perkembangan:
Perkembangan Peserta Didik. Bandung: P
Sarlito
W.Sarwono., (2009). Pengantar Psikologi Umum. Jakarta: Rajagrafindo
Persada