Kamis, 03 November 2016

Tiara Puspa 15.21.0111

ABSTRAK._________________________________________________
          Tidjan (1976: 71) menyatakan bahwa minat belajar siswa dipengaruhi oleh gejala psikologis yang menunjukkan pemusatan perhatian terhadap suatu objek karena timbulnya perasaan senang. Purwanto (2004: 66)  menegaskan bahwa eksplorasi dan manipulasi yang dilakukan anak-anak dari motivasi seseorang timbullah minat terhadap sesuatu.
            Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui minat belajar siswa SMP di Banjarbaru dari aspek psikologi. Penelitian ini tentang hubungan motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik dengan persepsi siswa terhadap minat dan perhatian dalam pembelajaran. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa SMP kelas IX tahun ajaran 2015/2016 di Banjarbaru yang tinggal dengan kedua orang tuanya. Teknik sampling yang digunakan adalah random sampling dengan total sample 25 siswa SMP. Dari 25 kuesioner yang disebar, kembali ke peneliti dengan jumlah yang sama. Peneliti menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul data. Peneliti menggunakan analisis koreksi langsung.
            Hasil analisa, diperoleh kesimpulan dari penelitian ini adalah ada hubungannya antara motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik dengan minat dan perhatian siswa terhadap pembelajaran. Tugas guru yang utama adalah membangkitkan dan mempertajam motivasi anak didik sehingga timbul minatnya yang diiringi perhatian yang saksama terhadap bahan ajar.
Kata Kunci: pemusatan, eksplorasi, manipulasi
          __________________________________________________________________
PSIKOLOGI SEBAGAI LANDASAN BELAJAR
Tiara Puspa (15.21.0111)
FKIP. Bahasa Inggris




BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
       Sejak pertengahan abad ke IX yang didakwahkan sebagai abad kelahiranPsikologi kontemporer di dunia Barat, terdapat banyak pengertian mengenai“Psikologi” yang ditawarkan oleh para Psikolog. Masing-masing pengertian memilikikeunikan, seiring dengan kecendrungan, asumsi, dan aliran yang di anut oleh parapenciptanya.
       Meskipun demikian perumusan psikologi dapat disederhanakan dalamtiga pengertian:
Pertama, Psikologi adalah studi tentang jiwa seperti studi yang dilakukan olehPlato (427-347 SM) dan Aristoteles (322-384 SM) tentang kesadaran dan prosesmental yang berkaitan dengan jiwa;
Kedua, Psikologi adalah Ilmu pengetahan tentangkehidupan mental, seperti perhatian, persepsi, intelegensi, kemauan dan ingatan.Defenisi ini dikemukakan oleh William Wundt;
Ketiga, Psikologi adalah ilmupengetahuan tentang prilaku organisme, seperti prilaku kucing terhadap tikus,prilaku manusia terhadap sesamanya, dan sebagainya, definisi ini dikemukakan olehJhon Watson.
       Lebih lanjut disebutkan bahwa Psikologi terbagi ke dalam dua bagian yaitupsikologi umum (general phsychology) yang mengkaji perilaku pada umumnya. Psikologiumum mengkaji sejarah dan definisi psikologi, manusia, fungsi-fungsi psikis,kehkususan individual, interaksi sosial, dan gangguan mental.”1” Psikologi khususyang mengkaji perilaku individu dalam situasi khusus, diantaranya:
1. Psikologi Perkembangan; mengkaji perilaku individu yang berada dalam prosesperkembangan mulai dari masa konsepsi sampai dengan akhir hayat;
2. Psikologi Kepribadian; mengkaji perilaku individu khusus dilihat dari aspek –
aspek kepribadiannya;
3. Psikologi Klinis; mengkaji perilaku individu untuk keperluan penyembuhan(klinis);
4. Psikologi Abnormal; mengkaji perilaku individu yang tergolong abnormal;
5. Psikologi Industri; mengkaji perilaku individu dalam kaitannya dengan duniaindustry;
6. Psikologi Pendidikan; mengkaji perilaku individu dalam situasi pendidikan.
       Di samping jenis-jenis psikologi yang disebutkan di atas, masih terdapatberbagai jenis psikologi lainnya, bahkan sangat mungkin ke depannya akan semakinterus berkembang, sejalan dengan perkembangan kehidupan yang semakin dinamisdan kompleks.

Rumusan Masalah
       Berdasarkan latar belakang di atas, maka diperoleh rumusan masalah sebagai berikut:
1.    Berapa aliran psikologi yang berkembang saat ini?
2.    Bagaimana peran minat dan perhatian dalam pembelajaran?
3.    Bagaimana peran motivasi dalam pembelajaran?
4.    Apa fungsi resiliensi?
5.    Bagaiman perkembangan peserta didik?

B.   Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini, yaitu untuk:
1.    Mengetahui berapa aliran psikologi yang berkembang saat ini.
2.    Memahami peran minat dan perhatian dalam pembelajaran.
3.    Memahami peran motivasi dalam pembelajaran.
4.    Mengetahui fungsi resiliensi.
5.    Mengetahui perkembangan peserta didik.
BAB II
METODE
       Dalam mengadakan penyelidikan suatu ilmu pengetahuan harus mempergunakan metode-metode ilmiah. Yaitu metode-metode yang dapat dipertanggung jawabkan, dikontrol, dan dibuktikan kebenaranyaCara pendekatan (system of approach) terhadap kejiwaan manusia pun dapat dilakukan secara filosofis maupun empiris. Tak heran, jika kemudian banyak para pakar yang menggunakan kedua metode tersebut dalam penelitian psikologi.
A.  Metode Filosofis
Metode yang bersifat filosofis ini dapat dibagi menjadi tiga bagian sebagai berikut:
1)   Metode Intuitif
          Metode dapat dilakukan dengan jalan sengaja melakukan penyelidikan atau dengan tidak sengaja seperti halnya dalam pergaulan sehari-hari. Dalam keadaan yang terakhir ini, kita mengadakan evaluasi terhadap sesama kita atau kita benar-benar ingin mengetahui keadaannya dengan melalui kesan kita terhadap orang-orang yang sedang kita selidiki tersebut. Dilihat dari segi cara yang ditempuhnya, metode ini kurang memenuhi syarat. Karena metode ini perlu dikombinasikan dengan metode-metode yang lain guna memperoleh kesimpulan yang dapat dipertanggung jawabkan dan dapat dipercaya kebenaranya.
2)   Metode Kontemplatif
          Metode ini dilaksanakan dengan cara merenungkan (kontemplasi) terhadap obyek yang diselidiki dengan mempergunakan kemampuan berfikir yang optimal. Alat utamanya adalah pikiran yang benar-benar dalam keadaan obyektif. Yaitu saat pikiran kita dalam situasi dan kondisi yang murni, tidak tercampur oleh pengaruh-pengaruh lain yang bersifat lahiriah dan biologis. Dewasa ini metode komplatif dan juga metode intuitif tidak sepopuler metode empiris, disebabkan hasil metode itu dianggap terlalu spekulatif. Meskipun demikian, metode ini masih tetap diperlukan dalam lapangan psikologi.
3)      Metode Yang Bersifat Filosofis Religius
          Metode ini dilakukan dengan mempergunakan materi-materi agama sebagai alat untuk meyelidiki pribadi manusia. Sebab, nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran agama itu merupakan kebenaran yang mutlak. Dengan kata lain, dalam menyelidiki jiwa manusia itu pihak penyelidik mempergunakan materi agama yang terdapat dalam kitab suci sebagai norma standar dalam penilaian. Metode ini juga tidak banyak digunakan dalam penyelidikan psikologi, meskipun sesungguhnya dapat digunakan terutama dalam menyelidiki pribadi muslim.
B.   Metode Empiris
1.    Metode Observasi
          Observasi berasal dari kata to observe, yang berarti meneliti atau mengamati. Dengan menggunakan metode itu, peneliti mengadakan pengindraan terhadap obyek yang diselidiki dengan sengaja sambil melakukan pencatatan-pencatatan terhadap gejala-gejala jiwa yang dibutuhkan dalam penyelidikan itu. Sementara untuk memperoleh data-data tentang gejala-gejala jiwa tersebut, peneliti dapat melakukan intropeksi, eksperimen, dan ekstropeksi.
a)    Intropeksi Secara Etimologi, intropeksi ialah melihat ke dalam (intro berarti kedalam dan speksi berasal dari kata spektare yang artinya melihat). Yang dimaksud dengan metode intropeksi ialah suatu cara menyelidiki keadaan atau peristiwa jiwa yang sedang terjadi dalam dirinya sendiri. William Stern, seorang psikolog dari Jerman, mengemukakan beberapa kelemahan dari metode instropeksi ini, yang pada pokoknya dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.    Seseorang sering tidak jujur dalam mengungkapkan hal-hal yang pernah dialaminya, terutama dalam hal-hal yang bersifat negatif pada dirinya dan kalau diungkapkan ia akan menanggung perasaan malu.
2.    Seseorang sering kali kekuangan perbendaharaan kata dalam melukiskan peristiwa-peristiwa jiwa yang sudah dan sedang dialaminya.
3.    Kerap kali sugesti dari diri sendiri maupun dari orang lain menyebabkan hasil yang tidak obyektif.
4.    Tidak semua penghayatan jiwa itu dapat disdari, karena gejala-gejala kejiwaan di bawah kesadaran tidak dapat dilahirkan.
5.    Metode ini tidak dapat digunakan oleh anak-anak dan orang-orang yang abnormal.
     Disamping adanya kelemahan-kelemahan, terdapat juga kebaikan-kebaikan dari metode instropeksi yang dalam garis besarnya dapat dikemukan sebagai berikut:1)Metode ini merupakan metode yang khas, hanya terdapat pada manusia. Artinya hanya manusialah yang dapat melihat apa yang sedang dialami dalam dirinya. 2)Kadang-kadang ada beberapa hal yang terdapat pada diri seseorang yang tidak dapat diselidiki dengan menggunakan metode lain. 3)Dengan menggunakan metode ini seseorang daat secara langsung menyelidiki peristiwa-peristiwa yang dialaminya, di mana orang lain tidak dapat menyelidikinya.
     Dalam melaksanakan pembelajaran, guru bertanggung jawab kepada kepala sekolah. Sebelum kepala sekolah meminta pertanggung jawaban dari guru, hendaknya guru terlebih dahulu mengintropeksi tentang pembelajaran yang telah dilakukannya.
b)   Ekstrospeksi dari Segi Asal Katanya, ektrospeksi berarti melihat ke luar (ekstro: keluar, speksi dari spektare: melihat). Dan sebagai metode, ektrospeksi berarti mempelajari dengan sengaja dan teratir gejala-gejala jiwa orang lain dan mencoba mengambil kesimpulan dengan melihat gejala-gejala jiwa yang ditunjukkan dari mimik dan pantomimik orang lain. Diantara kelebihan metode ini adalah sebagai berikut:
1.    Lebih memenuhi syarat ilmiah, karena metode ini lebih bersifat obyektif.
2.    Dapat digunakan dalam menyelidi anak-anak dan orang-orang yang menyimpang keadaan jiwanya (abnormal).
Adapun kelemahan-kelemahan metode ekstropeksi ini adalah: 1) Metode ini hanya dapat menyelidiki gejala-gejala jiwa yang tampak saja, padahal tiap-tiap orang dalam mengeluarkan buah pikiran dan perasaannya tidak sama, terutama pada orang dewasa, yang dapat mengekspresikan sikap-sikap yang tidak wajar atau yang bertentangan dengan keadaan/situasi jiwanya. 2) Jika orang yang diselidiki tahu, terkadang ia memberikan kesan yng tidak sesuai dengan kenyataan yang ada, sehingga apa yang disimpulkan diri dari hasil ekstropeksi itu akan berbeda dengan apa yang semestinya.
2.    Metode Eksperimen (Observasi Eksperimental)
        Metode ini merupakan penyelidikan dengan jalan mengadakan percobaan-percobaan untuk mengetahui kejiwaan seseorang. Metode ini jug biasanya dilakukan di dalam laboratorium dengan mengadakan berbagai eksperimen. Dalam metode ini yang perlu diperhatikan adalah hendaknya orang-orang mengadakan eksperimen harus dapat menguasai situasi. Artinya, pihak eksperimenter itu harus dapat menimbulkan atau menghilangkan beberapa situasi sesuai dengan kehendaknya. Wilhelm Wundt mengemukakan empat syarat yang harus dipenuhi dalam mengadakan eksperimen, yaitu:
a.    Pemeriksaan harus dapat menetapkan sendiri saat timbulnya keadaan atau kejadian yang hendak dipelajari.
b.    Pemeriksa harus mengikuti jalannya itu seteliti-telitinya dengan memusatkan seluruh perhatian kepada prosesnya.
c.    Tiap-tiap pemeriksa harus dapat diulangi secukupnya, yaitu dalam keadaan yang sama, dan
d.   Pemeriksa harus menguasai syarat-syarat tersebut di atas.
     Adapun kelemahan-kelemahan metode eksperimen sebagai metode dalam psikologi ini adalah sebagai berikut: 1) Eksperimen biasanya dilaksanakan pada benda mati yang mempunyai hukum-hukum yang tetap, sedang jiwa adalah sesuatu yang hidup. 2) Tidak semua gejala kejiwaan dapat diselidiki secara eksperimen. 3) Dalam laboratorium situasinya tidak wajar. 4) Gejala-gejala kejiwaan sukar diukur secara eksak.
     Sementara menurut Hj. Zuhairini, kelebihan-kelebihan metode eksperimen ini sebagai berikut: 1) Dengan eksperimen ada hal-hal yang dapat diselidiki dengan teliti dan berulang-ulang. 2) Tanpa menunggu timbulnya suatu peristiwa, orang dapat dengan cepat secara teratur mengetahui sesuatu peristiwa yang sengaja ditimbulkan. Sehubungan dengan adanya beberapa kelemahan tersebut, maka aliran psikologi modern (+1900 M) menggunakan sarana untuk mengulangi kelemahan-kelemahan itu dengan ketentuan:
a)    Metode eksperimen hendaknya hanya dpakai sebgai bagian dari metode-metode lain pada lebih luas.
b)   Jangan berpegang teguh pada perhitungan-perhitungan secara ilmu pasti, statis, tetapi analisa kuantitatif harus dikombinasikan dengan analisa kualitatif dengan mengingat gerak, waktu, ruang dan saling berhubungan.
3.    Metode Pengumpulan Bahan
        Metode ini dilakukan dengan mengolah data-data atau bahan-bahan yang diperoleh dari kumpulan daftar pertanyaan, bahan-bahan riwayat hidup dan bahan-bahan lain yang berhuubungan dengan apa yang sedang diselidiki. Bahan-bahan yang telah diperoleh itu kemudian diklarifikasikan untuk ditarik suatu kesimpulan yang bersifat umum.
a)    Metode Angket
Metode angket ialah cara penyelidikan kejiwaan dengan mengajukan pertanyaan baik lisan maupun tertulis dan dari jawaban itu dapat ditarik kesimpulan tentang kesan kejiwaannya. Ditinjau dari sudut pelaksanaannya angket dapat dibagi menjadi dua macam:
1) Angket langsung, yaitu bilamana pertanyaan itu dijawab langsung oleh orang yang diselidiki.
2)Angket tak langsung, yaitu bilamana pertanyaan itu dijawab oleh orang lain.
b)   Metode Autobiografi (riwayat hidup)
Metode ini dipergunakan oleh peneliti dengan jalan mempelajari riwayat hidup seseorang yang sedang diteliti, baik yang ditulis sendiri (autobiografi) maupun yang ditulis orang lain (biografi). Metode ini, disamping mempunyai keuntungan, juga mempunyai kelemahan. Yaitu bila orang yang membuat biografi itu paham atau sehaluan, maka dalam membuat biografi akan dipengaruhi oleh sudut pandangnya, lebih-lebih lagi dalam pembuatan autobigrafi. Untuk mengatasinya dan guna memperoleh gambaran yang lebih baik, maka dapat ditempuh dengan jalan menyelidiki biografi dari bermacam-mcam penulis. Dengan demikian, peneliti akan memperoleh gambaran yang lebih lengkap dan dapat dipercaya, karena data-data didapat dari sumber yang banyak.
c)    Pengumpulan Hasil Kerja
Metode ini merupakan metode penyelidikan dengan jalan mengumpulkan gambar-gambar, karangan-karangan, pekerjaan tangan, permainan-permainan, termasuk buku harian seseorang dan sebagainya.Dengan mengumpulkan benda-benda hasil kerja ini dan mengadakan analisis terhadapnya, maka akan dapat diketahui perkembangan alam pikiran, dan fantasi seseorang, sekaligus pencetusan dari keadaan jiwa orang yang bersangkutan.
d)   Metode Studi Kasus
Studi kasus (case study) dalam kajian psikologi merupakan sebuah metode penelitian yang digunakan untuk memperoleh gambaran yang rinci mengenai aspek-aspek psikologis seorang siswa atau sekelompok siswa tertentu. Seorang peneliti psikologi belajar pendidikan agama Islam, terkadang memerlukan waktu bertahun-tahun untuk mengumpulkan data dan berbagai informasi yang akurat, tepat dan cermat berkaitan dengan individu atau kelompok kecil individu yang menjadi subyek penelitian. Studi kasus akan memerlukan waktu lebih lama apabila digunakan untuk menyelidiki fenomena genetika (karakteristik keturunan) yang dihubungkan dengan perilaku belajar (perkembangan belajar).
e)    Metode Klinis
Metode klinis (clinical method) hanya digunakan oleh para ahli psikologi klinis atau psikiater. Dalam metode ini, terdapat prosedur diagnosis dan penggolongan penyakit kelainan jiwa serta cara-cara memberi perlakuan pemulihan (psychological treatment) terhadap kelainan jiwa tersebut. Umumnya metode ini digunakan di rumah sakit jiwa. Sasaran yang akan dicapai oleh peneliti dengan menguakan metode klinis, terutama untuk memastikan sebab-sebab timbulnya ketidaknormalan perilaku sesorang atau kelompok kecil siswa. Seterusnya, berdasarkan kepastian faktor penyebab itu, peneliti berupaya memilih dan menentukan cara-cara mengatasi penyimpangan perilaku tersebut.
f)    Metode Observasi Naturalistik
Metode observasi naturalistik lebih banyak digunakan oleh para ahli ilmu hewan untuk mempelajari perilaku hewan tertentu. Dalam perkembangannya selanjutnya, metode observasi naturalistik digunakan oleh para psikolog kognitif dan psikolog pendidikan. Seorang peneliti atau guru yang menajadi asistennya dapat mengaplikasikan metode ini lewat kegiatan belajar mengajar atau belajar mengajar dalam kelas-kelas regular, yakni kelas tetap dan biasa, bukan kelas yang diadakan secara khusus. Selama proses belajar mengajar berlangsung, jenis perilaku siswa diteliti, (misanya kecepatan membaca), dicatat dalam lembar format observasi yang khusus dirancang sesuai dengan data dan informasi yang akan dihimpun.

            Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode observasi. Tipe penelitian ini termasuk penelitian penjelasan (explanatory research). Subjek dipilih berdasarkan yang sudah ditentukan oleh guru bersangkutan, artinya penelitian ini sudah mendapat izin dari pihak sekolah. Metode pengambilan data dilakukan dengan metode kuesioner dan studi dokumentasi. Dalam penelitian ini berjumlah 25 siswa/(i) SMP yang tinggal dengan kedua orangtuanya
            Penelitian ini tentang hubungan motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik dengan persepsi siswa terhadap minat dan perhatian dalam pembelajaran. Kuesioner minat siswa terhadap pembelajaran berjumlah 45 item dengan respon mengisi isian titik-titik.

KAJIAN PUSTAKA
Teori Belajar
            Berdasarkan literatur psikologi, banyak ditemukan teori belajar yang bersumber dari aliran-aliran psikologi. Berikut ini akan dikemukakan beberapa jenis teori belajar, yaitu : (A) teori behaviorisme; (B) teori belajar kognitif menurut Piaget; (C) teori pemrosesan informasi dari Gagne, (D) teori belajar gestal, (E) Teori belajar Kontruktivisme dan (F). Teori Belajar Humanistik.
A.  Teori Behaviorisme
       Behaviorisme merupakan salah aliran psikologi yang memandang individu hanya dari sisi fenomena jasmaniah, dan mengabaikan aspek – aspek mental. Dengan kata lain, behaviorisme tidak mengakui adanya kecerdasan, bakat, minat dan perasaan individu dalam suatu belajar. Peristiwa belajar semata-mata melatih refleks-refleks sedemikian rupa sehingga menjadi kebiasaan yang dikuasai individu. Beberapa hukum belajar yang dihasilkan dari pendekatan behaviorisme ini, diantaranya:
1.    Connectionism ( S-R Bond) menurut Thorndike
Dalam Stephen P. Robbins (2007) dari eksperimen yang dilakukan Thorndike terhadap kucing menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya:
a. Law of Effect; artinya bahwa jika sebuah respons menghasilkan efek yang memuaskan, maka hubungan Stimulus - Respons akan semakin kuat. Sebaliknya, semakin tidak memuaskan efek yang dicapai respons, maka semakin lemah pula hubungan yang terjadi antara Stimulus- Respons.
b. Law of Readiness; artinya bahwa kesiapan mengacu pada asumsi bahwa kepuasan organisme itu berasal dari pemdayagunaan satuan pengantar (conduction unit), dimana unit-unit ini menimbulkan kecenderungan yang mendorong organisme untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu. c. Law of Exercise; artinya bahwa hubungan antara Stimulus dengan Respons akan semakin bertambah erat, jika sering dilatih dan akan semakin berkurang apabila jarang atau tidak dilatih.
2.    Classical Conditioning menurut Ivan Pavlov
Dalam Stephen P. Robins (2007) dari eksperimen yang dilakukan Pavlov terhadap seekor anjing menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya :
a. Law of Respondent Conditioning yakni hukum pembiasaan yang dituntut. Jika dua macam stimulus dihadirkan secara simultan (yang salah satunya berfungsi sebagai reinforcer), maka refleks dan stimulus lainnya akan meningkat.
b. Law of Respondent Extinction yakni hukum pemusnahan yang dituntut. Jika refleks yang sudah diperkuat melalui Respondent conditioning itu didatangkan kembali tanpa menghadirkan reinforcer, maka kekuatannya akan menurun.
3.    Operant Conditioning menurut B.F. Skinner
Menurut Sri Esti W (2004), dari eksperimen yang dilakukan B.F. Skinner terhadap tikus dan selanjutnya terhadap burung merpati menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya :
a. Law of operant conditining yaitu jika timbulnya perilaku diiringi dengan stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan meningkat.
b. Law of operant extinction yaitu jika timbulnya perilaku operant telah diperkuat melalui proses conditioning itu tidak diiringi stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan menurun bahkan musnah. Reber (Muhibin Syah, 2003) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan operant adalah sejumlah perilaku yang membawa efek yang sama terhadap lingkungan. Respons dalam operant conditioning terjadi tanpa didahului oleh stimulus, melainkan oleh efek yang ditimbulkan oleh reinforcer. Reinforcer itu sendiri pada dasarnya adalah stimulus yang meningkatkan kemungkinan timbulnya sejumlah respons tertentu, namun tidak sengaja diadakan sebagai pasangan stimulus lainnya seperti dalam classical conditioning.
4.    Social Learning menurut Albert Bandura
Menurut Prof. Dr. Singgih D. Gunarsa (2004) Teori belajar sosial atau disebut juga teori observational learning adalah sebuah teori belajar yang relatif masih baru dibandingkan dengan teori-teori belajar lainnya. Berbeda dengan penganut Behaviorisme lainnya, Bandura memandang Perilaku individu tidak semata-mata refleks otomatis atas stimulus (S-R Bond), melainkan juga akibat reaksi yang timbul sebagai hasil interaksi antara lingkungan dengan skema kognitif individu itu sendiri. Prinsip dasar belajar menurut teori ini, bahwa yang dipelajari individu terutama dalam belajar sosial dan moral terjadi melalui peniruan (imitation) dan penyajian contoh perilaku (modeling). Teori ini juga masih memandang pentingnya conditioning. Melalui pemberian reward dan punishment, seorang individu akan berfikir dan memutuskan perilaku sosial mana yang perlu dilakukan. Sebetulnya masih banyak tokoh-tokoh lain yang mengembangkan teori belajar behavioristik ini, seperti : Watson yang menghasilkan prinsip kekerapan dan prinsip kebaruan, Guthrie dengan teorinya yang disebut Contiguity Theory yang menghasilkan Metode Ambang (the treshold method), metode meletihkan (The Fatigue Method) dan Metode rangsangan tak serasi (The Incompatible Response Method), Miller dan Dollard dengan teori pengurangan dorongan.
Islam sendiri menerangkan bahwa setiap manusia terlahir dalam keadaan fitrah. QS. Ar-Rum: 30
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”.
Ayat tersebut di atas sering digunakan oleh pakar pendidikan Islam untuk membangun teori fitrah manusia, yaitu seperangkat kemampuan dasar (bakat) yang memiliki kecenderungan berkembang, yang dalam psikologi disebut potensialitas atau disposisi, yang menurut aliran psikologi behaviorisme prepotence reflexes (kemampuan dasar yang secara otomatis dapat berkembang).


B.  Teori Belajar Kognitif menurut Piaget
       Piaget merupakan salah seorang tokoh yang disebut-sebut sebagai pelopor aliran konstruktivisme. Salah satu sumbangan pemikirannya yang banyak digunakan sebagai rujukan untuk memahami perkembangan kognitif individu yaitu teori tentang tahapan perkembangan individu. Menurut Piaget dalam Winfred F Hill (1980) bahwa perkembangan kognitif individu meliputi empat tahap yaitu :
(1) sensory motor
(2) pre operational;
(3) concrete operational dan
(4) formal operational.
       Pemikiran lain dari Piaget tentang proses rekonstruksi pengetahuan individu yaitu asimilasi dan akomodasi. Menurut Tanu jaya dan James Atherton dalam Dumond G. Yosh Nabu (2005) menyebutkan bahwa asisimilasi adalah “the process by which a person takes material into their mind from the environment, which may mean changing the evidence of their senses to make it fit” dan akomodasi adalah “the difference made to one’s mind or concepts by the process of assimilation”
       Dikemukakannya pula, bahwa belajar akan lebih berhasil apabila disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif peserta didik. Peserta didik hendaknya diberi kesempatan untuk melakukan eksperimen dengan obyek fisik, yang ditunjang oleh interaksi dengan teman sebaya dan dibantu oleh pertanyaan tilikan dari guru. Guru hendaknya banyak memberikan rangsangan kepada peserta didik agar mau berinteraksi dengan lingkungan secara aktif, mencari dan menemukan berbagai hal dari lingkungan.
Menurut Dr. Paul Sutarno (2005), Implikasi teori perkenbangan kognitif Piaget dalam pembelajaran adalah:
1)   Bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu guru mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir anak.
2)   Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan baik. Guru harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan sebaik-baiknya.
3)   Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing.
4)   Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya.
5)   Di dalam kelas, anak-anak hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan diskusi dengan teman – temanya.

C.  Teori Pemrosesan Informasi dari Robert Gagne
       Asumsi yang mendasari teori ini adalah bahwa pembelajaran merupakan faktor yang sangat penting dalam perkembangan. Perkembangan merupakan hasil kumulatif dari pembelajaran. Menurut Gagne bahwa dalam pembelajaran terjadi proses penerimaan informasi, untuk kemudian diolah sehingga menghasilkan keluaran dalam bentuk hasil belajar. Dalam pemrosesan informasi terjadi adanya interaksi antara kondisi-kondisi internal dan kondisi-kondisi eksternal individu. Kondisi internal yaitu keadaan dalam diri individu yang diperlukan untuk mencapai hasil belajar dan proses kognitif yang terjadi dalam individu. Sedangkan kondisi eksternal adalah rangsangan dari lingkungan yang mempengaruhi individu dalam proses pembelajaran.
       Menurut teori Gagne, cara untuk menentukan prasyarat untuk suatu tujuan belajar adalah melakukan hierarki belajar. Sebuah hierarki belajar dibangun dengan bekerja mundur dari tujuan pembelajaran akhir. Dan kemampuan akhir yang dimiliki oleh siswa setelah belajar disebut kapabilitas. Gagne dalam kumpulan makalah (1991) membagi hasil belajar menjadi lima kategori kapabilitas:
1. Informasi verbal, merupakan kemampuan untuk mengkomunikasikan secara lisan pengetahuannya tentang fakta-fakta yang diperoleh secara lisan, membaca buku dan sebagainya.
2. Keterampilan intelektual, merupakan kemampuan untuk dapat membedakan, menguasai konsep, aturan, dan memecahkan masalah. Kemampuan tersebut diperoleh melalui belajar. Kapabilitas keterampilan intelektual menurut Gagne dikelompokkan dalam 8 tipe belajar, yaitu:
§  Belajar isyarat, adalah belajar yang tanpa kesengajaan, timbul akibat suatu stimulus sehingga menimbulkan suatu respon emosional pada individu yang bersangkutan.
§  Belajar stimulus respon, adalah belajar untuk merespon suatu isyarat
§  Belajar rangkaian gerak, merupakan perbuatan jasmaniah terurut dari dua kegiatan atau lebih stimulus respon
§  Belajar rangkaian verbal, merupakan perbuatan lisan terurut dari dua kegiatan atau lebih stimulus respon
§  Belajar memperbedakan, adalah belajar membedakan hubungan stimulus respon sehingga bisa memahami bermacam-macam objek fisik dan konsep dalam merespon lingkungannya
§  Belajar pembentukan konsep, adalah belajar mengenal sifat bersama dari benda konkret
§  Belajar pembentukan aturan, adalah belajar menghubungkan dua konsep atau lebih untuk mendapatkan suatu aturan dan belajar pemecahan masalah, belajar membuat formulasi penyelesaian masalah dari aturan yang telah dipelajari
Tipe belajar tersebut terurut kesukarannya dari yang paling sederhana sampai kepada yang paling kompleks.
3. Sikap, adalah kecenderungan untuk merespon secara tepat terhadap stimulus atas dasar penilaian terhadap stimulus tersebut.
4. Keterampilan motorik, adalah kemampuan yang dapat dilihat dari segi kecepatan, ketepatan, dan kelancaran gerakan otot-otot serta anggota badan.
       Menurut Gagne dalam kumpulan makalah (1991), tahapan proses pembelajaran meliputi delapan fase yaitu, (1) motivasi; (2) pemahaman; (3) pemerolehan; (4) penyimpanan; (5) ingatan kembali; (6) generalisasi; (7) perlakuan dan (8) umpan balik

D.  Teori Belajar Gestalt
       Gestalt berasal dari bahasa Jerman yang mempunyai padanan arti sebagai “bentuk atau konfigurasi”. Pokok pandangan Gestalt adalah bahwa obyek atau peristiwa tertentu akan dipandang sebagai sesuatu keseluruhan yang terorganisasikan.
Menurut Koffka dan Kohler dalam Azizi Yahya, dan kawan-kawan (2005), ada tujuh prinsip organisasi yang terpenting yaitu:
1)   Hubungan bentuk dan latar (figure and gound relationship); yaitu menganggap bahwa setiap bidang pengamatan dapat dibagi dua yaitu figure (bentuk) dan latar belakang. Penampilan suatu obyek seperti ukuran, potongan, warna dan sebagainya membedakan figure dari latar belakang. Bila figure dan latar bersifat samar-samar, maka akan terjadi kekaburan penafsiran antara latar dan figure.
2)   Kedekatan (proxmity); bahwa unsur-unsur yang saling berdekatan (baik waktu maupun ruang) dalam bidang pengamatan akan dipandang sebagai satu bentuk tertentu.
3)   Kesamaan (similarity); bahwa sesuatu yang memiliki kesamaan cenderung akan dipandang sebagai suatu obyek yang saling memiliki.
4)   Arah bersama (common direction); bahwa unsur-unsur bidang pengamatan yang berada dalam arah yang sama cenderung akan dipersepsi sebagi suatu figure atau bentuk tertentu.
5)   Kesederhanaan (simplicity); bahwa orang cenderung menata bidang pengamatannya bentuk yang sederhana, penampilan reguler dan cenderung membentuk keseluruhan yang baik berdasarkan susunan simetris dan keteraturan; dan
6)   Ketertutupan (closure) bahwa orang cenderung akan mengisi kekosongan suatu pola obyek atau pengamatan yang tidak lengkap.
Menurut Azizi Yahya, dan kawan-kawan (2005) terdapat empat asumsi yang mendasari pandangan Gestalt, yaitu:
1. Perilaku “Molar“ hendaknya banyak dipelajari dibandingkan dengan perilaku “Molecular”. Perilaku “Molecular” adalah perilaku dalam bentuk kontraksi otot atau keluarnya kelenjar, sedangkan perilaku “Molar” adalah perilaku dalam keterkaitan dengan lingkungan luar. Berlari, berjalan, mengikuti kuliah, bermain sepakbola adalah beberapa perilaku “Molar”. Perilaku “Molar” lebih mempunyai makna dibanding dengan perilaku “Molecular”.
2. Hal yang penting dalam mempelajari perilaku ialah membedakan antara lingkungan geografis dengan lingkungan behavioral. Lingkungan geografis adalah lingkungan yang sebenarnya ada, sedangkan lingkungan behavioral merujuk pada sesuatu yang nampak. Misalnya, gunung yang nampak dari jauh seolah-olah sesuatu yang indah. (lingkungan behavioral), padahal kenyataannya merupakan suatu lingkungan yang penuh dengan hutan yang lebat (lingkungan geografis).
3. Organisme tidak mereaksi terhadap rangsangan lokal atau unsur atau suatu bagian peristiwa, akan tetapi mereaksi terhadap keseluruhan obyek atau peristiwa. Misalnya, adanya penamaan kumpulan bintang, seperti : sagitarius, virgo, pisces, gemini dan sebagainya adalah contoh dari prinsip ini. Contoh lain, gumpalan awan tampak seperti gunung atau binatang tertentu.
4. Pemberian makna terhadap suatu rangsangan sensoris adalah merupakan suatu proses yang dinamis dan bukan sebagai suatu reaksi yang statis. Proses pengamatan merupakan suatu proses yang dinamis dalam memberikan tafsiran terhadap rangsangan yang diterima.
Menurut Azizi Yahya, dan kawan-kawan (2005) dalam aplikasi teori Gestalt, proses pembelajaran antara lain :
   1. Pengalaman tilikan (insight); bahwa tilikan memegang peranan yang penting dalam perilaku. Dalam proses pembelajaran, hendaknya peserta didik memiliki kemampuan tilikan yaitu kemampuan mengenal keterkaitan unsur-unsur dalam suatu obyek atau peristiwa.
   2. Pembelajaran yang bermakna (meaningful learning); kebermaknaan unsur-unsur yang terkait akan menunjang pembentukan tilikan dalam proses pembelajaran. Makin jelas makna hubungan suatu unsur akan makin efektif sesuatu yang dipelajari. Hal ini sangat penting dalam kegiatan pemecahan masalah, khususnya dalam identifikasi masalah dan pengembangan alternatif pemecahannya. Hal-hal yang dipelajari peserta didik hendaknya memiliki makna yang jelas dan logis dengan proses kehidupannya.
   3. Perilaku bertujuan (pusposive behavior); bahwa perilaku terarah pada tujuan. Perilaku bukan hanya terjadi akibat hubungan stimulus-respons, tetapi ada keterkaitannya dengan dengan tujuan yang ingin dicapai. Proses pembelajaran akan berjalan efektif jika peserta didik mengenal tujuan yang ingin dicapainya. Oleh karena itu, guru hendaknya menyadari tujuan sebagai arah aktivitas pengajaran dan membantu peserta didik dalam memahami tujuannya.
   4. Prinsip ruang hidup (life space); bahwa perilaku individu memiliki keterkaitan dengan lingkungan dimana ia berada. Oleh karena itu, materi yang diajarkan hendaknya memiliki keterkaitan dengan situasi dan kondisi lingkungan kehidupan peserta didik.
   5. Transfer dalam Belajar; yaitu pemindahan pola-pola perilaku dalam situasi pembelajaran tertentu ke situasi lain. Menurut pandangan Gestalt, transfer belajar terjadi dengan jalan melepaskan pengertian obyek dari suatu konfigurasi dalam situasi tertentu untuk kemudian menempatkan dalam situasi konfigurasi lain dalam tata-susunan yang tepat. Judd menekankan pentingnya penangkapan prinsip-prinsip pokok yang luas dalam pembelajaran dan kemudian menyusun ketentuan-ketentuan umum (generalisasi). Transfer belajar akan terjadi apabila peserta didik telah menangkap prinsip-prinsip pokok dari suatu persoalan dan menemukan generalisasi untuk kemudian digunakan dalam memecahkan masalah dalam situasi lain. Oleh karena itu, guru hendaknya dapat membantu peserta didik untuk menguasai prinsip-prinsip pokok dari materi yang diajarkannya.




BAB III
PEMBAHASAN
Pengertian Psikologi
            Dalam Istilah lama psikologi lazim disebut dengan ilmu jiwa. Psikologi itu sendiri berasal dari bahasa Inggris psychology. Kata psychology merupakan dua akar kata yang bersumber dari bahasa Greek (Yunani) yaitu: psyche yang berarti jiwa dan logosyang berarti ilmu. Jadi secara etimologi psikologi adalah Ilmu Jiwa. Mengingat jiwa seseorang dapat dipelajari, diselidiki melalui prilakunya, maka psikologi sering kali dikatakan ilmu yang mempelajari prilaku manusia. Karena prilaku seseorang adalah hasil interaksi antara dirinya dengan lingkungan, maka perilaku harus dipelajari dalam hubungan dengan lingkungannya.

A.     Aliran Psikologi
    Suatu hal yang perlu ditekankan disini, walaupun berbagai aliran psikologi telah berkembang, sampai saat ini aliran behaviorisme yang justru menitikberatkan teorinya berlandaskan ekperimen terhadap binatang masih terasa kental diberlakukan dalam berbagai konsep pembelajaran sampai dewasa ini.
Sejatinya dikenal ada 4 aliran psikologi yng berkembang sampai saat ini, antarai lain adalah:
1.    Aliran Psikodinamika
                        Aliran ini berupaya menjelaskan tentang hakikat dan perkembangan perilaku manusia. Aliran ini dipelopori Sigmund Freud, teorinya disebut teori psikoanalisis. Menurut Freud perilaku manusia merupakan hasil sumber energi yang beroperasi dalam pikiran, yang acapkali tidak disadari individu. Sigmund Freud, mengemukakan gagasan bahwa kesadaran (conscious) itu hanyalah bagian kecil saja dari kehidupan mental, sedangkan bagian terbesarnya adalah justru ketaksadaran (unconscious) tau alam tak sadar. Bagi Freud, ketidaksadaran merupakan bagian pikiran yang terletak diluar kesadaran yang umum dan berisi dorongan-dorongan naluriah.
                        Oleh karenanya menurut pandangan psikoanalisis, perilaku manusia hanya dapat dipahami mellui kajian yang mendalam terhadap ketidaksadran.Diykini bahwa perilaku manusia didorong oleh motif-motif di luar alam sadar dan konflik-konflik yang tidak disadari. Menurut aliran ini perilaku manusia banyak ditentukan dan dikontrol pleh kekuatan psikologis, naluri-naluri irasional, yang terutama terdiri dari naluri menyerang dan naluri seks (libido) yang secara fitrah melekat pada setiap individu.
                        Freud membedakan kepribadian manusia menjadi tiga struktur psikis, yaitu id, ego, dan superego. Struktur psikis semacam ini tidak dapat dilihat dan tidak dapat diukur secara langsung, tetpi eksistensinya ditandai oleh perilku yang dapat diamati dan diekspresikan pada pikiran dn emosi.Ketiganya saling berhubungan, sehingga sulit untuk memisahkan pengaruhnya satu sma lain dalam fenomena tingkah laku manusia (Desmita, 2011: 42)
                        Idadalah ospek biologis kepribadian karena mengandung unsur biologis, termasuk di dalamnya motif-motif dan impuls-impuls naluriah yang lebih dasar (lapar, haus, seks, dan agresi). Idsepenuhnya beroperasi pda ketidaksadaran,telah ada sejak manusia dilahirkan, dan tidak memperoleh pengaruh dari luar. Karena mengikuti prinsip kesenangan (pleasure principle), idmenuntut pemuasan dari berbagai naluri tanpa memperhitungkan norma-norma sosil maupun kebutuhan orang lain.
                        Ego adalah aspek psikologis kepribadian karena muncul dari kebutuhan organisme untuk berhubungn secara efektif dengan dunia nyata dan menjadi perantara antara kebutuhan naluriah organisme dan kebutuhan lingkungan. Prinsip kerja ego diatur pleh prinsip realitas (reality priciple), yaitu menurunkan atau menghilangkan stres (ketegangan) dengan mencari objek yang tepat di dunia nyata. Perbedaan pokok antara id dengan ego adalah, jika id hanya mengenal realitas subjektif-jiwa, maka ego membedakan antara hal-hal yang terdapat dalam batin dengan hal-hal yang terdapat dalam dunia nyata.
                        Superego adalah ospek sosiologis kepribadian, karena merupkan wakil dari nilai-nilai tradisional cita-cita masyarakat sebagaimana yang ditafsirkan dan dituturkan orangtua kepada para anaknya melalui berbagai perintah dan larangan. Fokus utama superego adalah memutuskan apakah sesuatu itu benar atau salah, baik atau buruk, sehingga iya dapat bertindak sesuai dengan norma-norma moral yang diakui oleh masyarakat. Karena mengikuti prisip moral (moral principle), superego cenderung untuk menentang baik id maupun ego, serta mencitrakan duni menurut gambarannya sendiri. Agar tercipta keseimbangan hidup, id dan superego harus dijembtani oleh hal yang bersifat realistis (ego).
2.    Aliran Behavioristik
                        Behavioristik atau behaviorisme adalah suatu aliran psikologi yang mencoba memahami perilaku manusia. Aliran ini terutama dikembangkan oleh John B. Watson, ahli psikologi Amerika Serikat, sebagai reaksi atas berkembangnya aliran psikodinmika. Menurut teoritikus behavioristik, manusia adalah sepenuhnya makhluk reaktif, yang perilakunya dikontrol oleh faktor-faktor, rangsang atau stimulus dari luar.
                        Gagasan pokok dari aliran behvioristik adalah, agar kita memahami perilaku manusia maka harus dilaksanakan pendekatan objektif, mekanistik, dan materialistik, sehingga perilaku perubahan seseorang dapat dilakukan melalui upaya pengondisian. Menurut penganjur behaviorisme, tidaklah dapat dipertanggungjawabkan dan tidak ilmih mempelajari tingkah laku manusia semata-mata dilandasi kejadian-kejadian subjektif yang terjadi di alam pikiran, serta tidak dapat diamati dan diukur.
3.    Aliran Humanistik
                        Berbeda dengan aliran psikodinamika maupun aliran behavioristik, para teoritikus humanistik meyakini bahwa perilaku manusi tidak dapat dijelaskan baik melalui kajian-kajian terhadap konflik-konflik yang tidak disadari manusia maupun sebagai hasil pengondisian yang sederhana dengan menggunakan binatang sebagai bahan eksperimen. Teori ini menitik beratkan kajiannya pada pengalaman disadariyang bersifat subjektif dan disebut sebagai self direction.
                        Berbeda dengan aliran psikodinamika, dalam konsep humanistik, manusia digambarkan secara optimis dan penuh penghrapan. Manusia digambarkan sebagai individu yang aktif, bertanggung jawab, punya potensi yang kreatif, bebas, berorientasi masa depan dn selalu berusaha untuk self-fulfillment (mengisi diri sepenuhnya untuk aktualisasi). Jika terjadi kegagalan untuk mencapai hal ini, itu disebabkan oleh pengaruh yang menjerumuskan dan keliru dari pendidikan dan latihan yang diberikan oleh istitusi pendidikan, oleh orangtua, serta pengaruh sosial lainnya.
4.    Aliran Transpersonal
                        Aliran ini sebenarnya merupakan pengembangan atau kelanjutan dari aliran humanistik, dan sebenarnya sebagian juga merupakan pengembangan dari aliran psikodinamika maupun behaviorisme. Disepakati sebagai aliran keempt dalam psikologi. Psikologi transpersonal adalah aliran psikologi yang mengkaji aspek-aspek transpersonal, transendensi diri,atau pengalaman spiritual manusia. Journal of Transpersonal Psychology mendefenisikan psikologi transpersonal sebagai psikologi yang peduli terhadap kajian tentang potensi tertinggi manusia, dengan pengenalan, pemahaman dan realisasi keadaan kesadaran yang menyatu, bersifat spiritual, dan transenden.
                        Potensi-potensi luhur manusia menghasilkan kajian-kajian  seperti altered states of consciousness, persepsi luar indra (extra sensory perception), transendensi diri, kerohanian, potensi luhur dan mulia, dimensi di atas kesadaran, pengalaman mistik, ekstasi, parapsikologi, daya batin, pengalaman spiritual, dan praktik-praktik keagamaan. Sedangkan the states of consciousness atau sering disebut the altered states of consciousness adalah pengalaman seseorang melalui batas-batas kesadaran biasa, seperti pengalaman-pengalaman alih dimensi, memasuki alam-alam kebatinan (alam astral), komunikasi batin, pengalaman meditasi, dan sebagainya.

B.  Minat Dan Perhatian
       Secara sederhana, minat berarti kecenderungan dan kegairahan yang tinggi atau keinginan yang besar terhadap sesuatu. Minat seperti yang dipahami dan dipakai orang selama ini dapat mempengaruhi kualitas pencapaian hasil belajar peserta didik dalam bidang-bidang studi tertentu.Banyak kalangan ahli psikologi sependapat bahwa minat merupakan kecenderungan yang dimiliki oleh setiap orang/ individu untuk menyukai atau tidak menyukai sesuatu objek tertentu.
       Objek minat ini berada di sekitar lingkungan kehidupan individu. Semakin sering individu berinteraksi dengan objek minat itu, maka semakin besar kecenderung-annya untuk berminat terhadap objek minat itu.Suatu anggapan yang keliru adalah apabila mengatakan bawa minat dibawa sejak lahir. Minat adalah perasaan yang didapat karena berhubungan dengan sesuatu.Minat seseorang bisa saja berubah karena adanya pengaruh seperti kebutuhan dan lingkungan
       Perilaku siswa di dalam kelas terkontruksi oleh hal-hal pokok seperti minat,  rasa ingin tahu (kuriositas), keterikatan, dan motivasi intrinsik yang kesemuanya berimplikasi kepada keterlibatan  siswa secara aktif dalam pembelajaran  serta kemampuan pemahaman siswa terhadap bahan ajar. Minat berperan amat penting dalam kehidupan peserta didik dan mempunyai dampak yang besar terhadap sikap dan perilaku siswa.
       Kedua istilah tersebut di atas, yaitu minat dan perhatian, amat dekat hubungannya, karena adanya minat (interest) maka timbul perhatian (attention) para siswa. Biasanya makin dewasa, makin matang (matur) seorang siswa minat dan perhatiannya akan lebih terarah. Minat didefinisikan sebagai kecenderungan hati yang tinggi terhadap sesuatu (Kamus Besar Bahasa Indonesia, KUBI, 2002: 744). Dalam KUBI antara minat dengan perhatian tidak dibedakan secara jelas sehingga diperhatikan dikatakan sebagai menaruh minat (2002: 857).
       Dalam perbincangan sehari-hari pengertian minat dan perhatian memng sering dikaburkan. Minat seolah-olah lebih ditekankan pada fungsi rasa, sedangkan perhatian lebih menitikberatkan pada fungsi pikiran. Namun pada kenyataannya kedua hal tersebut tidak dapat dipisahkan. Acapkali apa-apa yang menarik minat menyebabkan kita berperhatian, sedangkan apa-apa yang menarik perhatian akan menimbulkan minat pula. Ernest R.Hilgard (1997: 19) dalam bukunya yang berjudul Introduction to Psychology menyatakan “interest is persisting tendency to pay attention to and enjoy some activity or content”, jadi minat adalah suatu kecenderungan yang tetap untuk menaruh perhatian serta menyukai beberapa kegitan atau bahan ajar tertentu. Dengan kata lain minat dan perhatian seperti halnya dua sisi keping uang logam, baru bermakna jika kedua bagian itu ada.
       Melihat berbagai perspektif tentang minat dan perhatian maka membangkitkan minat dan perhatian siswa terhadap kegiatan pembelajran adalah tugas pokok seorang guru. Jika saat ini marak istilah PAKEM (pembelajaran aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan) pada hakikatnya merupakan suatu pengakuan bahwa membangkitkan minat siswa karena senang dn suka terhadap kegiatan pembelajaran adalah suatu hal yang mutlak harus dilaksanakan oleh seorang guru. Guru memang harus berupaya agar pembelajarannya selalu memikat dan menarik perhatian siswa. Minat dan perhatian dipengaruhi faktor-faktor internal dan faktor-faktor eksternal. Faktor-faktor internal antara lain, kesehatan, bakat, dan inteligensia. Peserta didik yang sehat jasmani dan rohaninya akan terdorong untuk belajar dengan baik. Dalam hubungan ini peserta didik yang kecewa terhadap orang tuanya, gagal dalam pertemanan atau bahkan hubungan asmara akan cenderung menurun semangat dan gairah belajarnya, minat dan perhatiannya terhadap pembelajaran juga jauh berkurang.
       Faktor eksternal yang paling berpengaruh adalah lingkungan keluarga. Cara orang tua dalam membelajarkan putra putrinya akan berpengaruh besar terhadap minat anak. Orang tua harus siap sedia saat anak membutuhkan bantuan, terutama pada tingkat sekolah dasar, saat-saat seperti di sekolah dasar rasa kuriositas anak pada puncaknya, keinginan tahunya besar. Sementara itu suasana rumah juga harus mendukung anak dalam belajar, kerapian dan ketenangan perlu di pelihara. Faktor eksternal lain adalah sekolah, lingkungan masyarakat, dan juga lingkungan alami disekitar anak.

C.  Motivasi
       Motivasi adalah kekuatan yang menjadi pendorong kegiatan individu untuk melakukan suatu kegiatan guna mencapai tujuan. Motivasi terbentuk oleh tenaga-tenaga yang bersumber dari dalam dan luar individu. Terhadap tenaga-tenaga tersebut para ahli memberikan istilah yang berbeda, seperti desakan atau drive, motif atau motive, kebutuhan atau need, dan keinginan atau wish.
       Motivasi dapat dibedakan menjadi dua macam,yaitu intrinsik dan ekstrinsik. Motivasi intrinsik adalah hal dan keadaan yang berasal dari dalam diri peserta didik sendiri yang dapat mendorongnya melakukan tindakan belajar. Sedangkan motivasi ekstrinsik adalah hal dan keadaan yang datang dari luar individu peserta didik yang juga mendorongnya untuk melakukan kegiatan belajar. Seseorang yang termotivasi akan merespon ke arah suatu tujuan. Misalnya, seseorang ingin menjadi juara maka ia akan belajar, bertanya kepada guru, membaca buku, dan mengerjakan tes dengan hati-hati.
       Memotivasi anak adalah suatu kegiatan memberi dorongan agar anak bersedia dan mau mengerjakan kegiatan atau perilaku yang diharapkan oleh pendidik, baik guru maupun orang tua. Anak yang memiliki motivasi akan memungkinkan ia untuk mengembangkan dirinya sendiri. Contoh memotivasi anak adalah membuat senang hati anak, membantu anak agar tertarik melakukan sesuatu, kelembutan, menyayangi dan mencintainya.
       Jadi motivasi termasuk hal paling krusial yang mempengaruhi tercapainya tujuan pendidikan. Kekurangan atau ketiadaan motivasi, baik yang bersifat internal maupun yang bersifat eksternal, akan menyebabkan kurang bersemangatnya peserta didik dalam melakukan proses pembelajaran materi-materi pelajaran baik di sekolah maupun di rumah.
       Motivsi sesorang menyebabkan orang tersebut mencoba untuk menyelidiki (to explore) dan mempergunakan, memanipulasi (to manipulate) lingkungan. Dalam kehidupan sehari-sehari motif untuk menyelidiki dan memanipulasi lingkungan ini biasanya menjadi satu. Minat yang dalam terhadap sesuatu akan menimbulkan perhatian yang saksama. Tugas guru yang utama adalah membangkitkan dan mempertajam motivasi anak didik sehingga timbul minatnya yang diiringi perhatian yang saksama terhadap bahan ajar.
       Sementara itu Brennen dalam makalahnya berjudul Enchancing Students’ Motivation, menyatakan ada empat teori terkait motivsi. Motivasi dapat ditinjau menurut pandangan teori perilaku, pandangan teori kognitif, pandangan teori humanistik, dan pandangan teori berprestasi.
1.    Pandangan Teori Perilaku (Behavioral View)
Biehler dan Snowman (1993) menyatakan bahwa penafsiran tentang pembelajaran oleh ahli psikologi perilaku membantu menjelaskan mengapa peserta didik lebih suka pada bahan ajar tertentu dan kurang menyukai yang lain. Para ahli psikologi menengarai bahwa penggunaan yang berlebihan dari bentuk motivasi ekstrinsik justru akan menimbulkan kesebalan, pembatasan transfer pengetahuan dari guru kepada siswa, dan ketergantungan kepada guru yang besar, serta pengabaian terhadap motivasi intrinsik. Para ahli psikologi menyarankan agar penggunaan ekstrinsik hanya dilaksanakan jika timbul respons peserta didik yang sesuai atau seperti yang diharapkan.
2.    Pandangan Teori Kognitif (Cognitive View)
Teori kognitif  menekankan kepada perlunya motivasi intrinsik. Bila para guru menggunakan motivasi intrinsik, seperti memunculkan keadaan ketidakseimbangan dengan problem yang menantang dan kontekstual, para siswa menilai dan memaknai pembelajaran sebagai kebutuhannya sendiri. Jerome S. Bruner menyarankn agar munculnya keadaan ketidakseimbangan kognitif semacam ini dipicu dengan cara mengajukan sejumlah pertanyaan yang menantang oleh para guru. Dengan cara seperti ini, para siswa akan melihat adanya celah-celah pemikiran dalam pemahamannya terhadap suatu bahan ajar, sehingga mereka terdorong untuk mengisi celah-celah tersebut.
3.    Pandangan Teori Humanistik (The Humanistic View)
Kebutuhan (needs) itu oleh Abraham Maslow dibuat peringkatnya, mulai dari peringkat yang paling dasar berupa kebutuhan fisiologis, kemudian kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan untuk memiliki dan mencinti, kebutuhan untuk penghargan diri dan puncaknya adalah kebutuhan untuk aktualisasi.
4.    Pandangan Teori Motivasi Berprestasi (Achievement Motivation Theory)
Teori ini menekankan pandangannya  bahwa manusia cenderung ingin sukses pasa derajat kesuksesan yang paling tinggi yang dapat diraihnya, sementara pada saat yang sama mereka berusaha menjauhkan diri dari kegagalan. Kebutuhan akan prestasi (the need for achievement) akan meningkat bila seseorang mengalami sukses. Sukses yang satu akan memacu keinginan mencapai sukses yang lain, demikian seterusnya. Ada suatu catatan yang menarik dari sejumlah ahli psikologis bahwa sejumlah perempuan takut meraih sukses jika kesuksesan itu diyakinkan dapat mengganggu hubungannya dengan orang lain.
               Dalam hubungan upaya menjauhkan dari kegagalan ini, para ahli psikologi telah mengembangkan teori atribusi (The Attribution Theory). Menurut teori ini para siswa yang berprestasi rendah (low achievers) akan menandai atau menganggap kegagalan sebagai kurangnya kemampuan, sedangkan sukses ditandai sebagai keberuntungan. Sedangkan siswa yang berprestasi tinggi (high achievers) akan menandai kegagalan sebagai kurangnya upaya, dan sukses merupakan gabungan antara upaya dan kemampuan. Biehler dan Snowman (1979) menyebutkan ada dua keterbatasan teori prestasi dan atribusi ini, yaitu (1) aspirasi, kebutuhan berprestasi, takut akan sukses (fer of success), reaksi terhadap sukses sering sulit diamati dan dianalisis, (2) ada kesenjangan konsistensi dalam perilaku, siswa terkadang berperilaku low achieverskadang juga high achievers.
               Berhubungan dengan teori motivasi berprestasi dan tribusi itu David Mc Clelland menyatakan ada tiga macam kebutuhan manusia yang disebutya taksonomi kebutuhan dan terdiri dari, need for achievement(N-Ach), need for power(N-Pow) dan need fot affiliation (N-Affil). Istilah-istilah tersebut sebelum dipopulerkan oleh David Mc Clelland dalam publikasinya yang berjudul, Methods of Measuring Human Motivtionyang dimuat dalam Achieving Society (John W. Atkinson, ed., 1961), sudah lebih dulu diperkenalkan oleh Henry Murray dalam karyanya berjudul Exploration in Personality (1938), yang esensinya sebagai berikut:
1)   Need for Achievement, N-Ach (kebutuhan untuk berprestasi, yaitu kebutuhan untuk bersaing atau melampaui standar pribadinya, menyelesaikan sesuatu yang amat bermakna, menguasai keterampilan tertentu yang menantang. Seseorang memiliki kebutuhan berprestasi tinggi bila iya menggunakan waktunya untuk memikirkan cara mengerjakan sesuatu dengan lebuh efektif, lebih efisien, dengan cara yang tidak biasa atau bersifat unik, atau melepaskan diri dari kebiasaan lama yang telah dilakukan oleh orang lain. N-Ach terkait dengnan pilihan seseorang  untuk menyelesaikan tugastugas - yang sulit dan menantang namun tetap dapt diraih. Hal-hal yang mendukung perkembangan N-Ach tinggi atara lain:
a.    Orang tua yang mendorong kemandirin anak-anaknya.
b.    Penghargaan dan imbalan bagi kesuksesan.
c.    Asosiasi (upaya mengaitkan) prestasi dengan perasaan positif.
d.   Asosiasi (upaya mengaitkan) prestasi dengan kompetensi dan daya upaya sesorang, bukan dengan keberuntungan.
e.    Timbulnya suatu keinginan menjadi efektif dan tertantang.
f.     Kekuatan intrapersonal (bangkit dari dalam diri sesorang)
g.    Kemampuan untuk menetapkan tujuan hidup (goal setting abilities)
h.    Kelayakan tujuan (feasibility)
i.      Sifat yang menyukai tugas-tugas yang menantang (desirability)
          Dalam hubungan ini dengan melaksanakan Thematic Apperception Test(TAT) yang disusun oleh Mc Clelland, seseorang dapat diketahui apakah tergolong kelompok high achievers (berprestasi tinggi) atau low achievers (berprestasi rendah) bergntung skor yang diperolehnya dalam TAT.
2)   Neef for Power, N-Pow (kebutuhan untuk berkuasa), yaitu suatu kecenderungan untuk mempunyai pengaruh atas orang lain dengan tujuan sebagai orang kuat atau berkuasa. Seseorang dinyatakan memiliki kebutuhan berkuasa tinggi bila iya menggunakan waktunya memikirkan cara bagimana untuk memengaruhi orang lain atau untuk mencapai suatu kedudukan atau status sosial tertentu. Laki-laki dengan N-Pow tinggi ingin mengekspresikannya dengan cara yang lebih agresif, dengan cara eksploitasi seks, berpatisipasi dalam olahraga yang kompetitif, sedangkan wanita dengan N-Pow yang tinggi mengekspresikannya dengan cara-cara yang lebih diterima secara sosial dang bertanggungjawab, lebih peduli dan berperhatian.
3)   Need for Affiliation, N-Aff (kebutuhan untuk berafiliasi) suatu kebutuhan dari sejumlah individu untuk menjalin hubungan persahabatan dengan orang lain, tanpa memandang status, kedudukan,jbtan, ataupun pekerjaan. Afiliasi didefinisikan sebagai hubungan personal yang positif kadanng-kadang intim (akrab).
            Seseorangdinyatakan memiliki kebutuhan berafiliasi tinggi bila iya menggunakan waktunya untuk memikirkan cara bagaiman menjalin hubungan persahabatan, keakraban dengan orang lain serta memedulikan orang lain. Dalam situasi yang menimbulkan ketakutan dan kecemasan, seseorang akan merasa memerlukan N-Aff atau cenderung mencari orang lain, bergabung dan mendekat kepada orang lain untuk mendapatkan  perlindungan dan rasa aman.
            Sehubungan dengan motivasi intrinsik maupun motivasi ekstrinsik ini Stepik (1988) menyarankan agar dalam pembelajaran guru mengakomodasikan kedua jenis motivasi tersebut sesuai dengan saran-saran yang tergambar dalam Tabel 6.1 berikut ini:
Tabel 6.1 Tugas Guru Dalam Pembelajaran Sesuai Motivasi Siswa

Memenuhi Motivasi Intrinsik
Memenuhi Motivasi Ekstrinsik
·         Jelaskan atau tunjukkan mengapa mempelajari bhan ajar tertentu itu penting
·         Berikan harapan yang jelas dari mempelajari bahan ajar
·         Ciptakan atau pertahankan rasa ingin tahu kuriositas
·         Berikan umpan balik korektif yang sepadan
·         Sediakan bermacam aktivitas dan rangsangan saraf
·         Sediakan penghargaan/hadiah yang bernilai
·         Tetapkan tujuan pembelajaran bersama siswa
·         Selalu siap dengan penghargaan (di USA jenis penghargaan ini dapat berupa pujian verbal, tepukan di pundak, acungan jempol, telepon kepada orang tua atas prestasi siswa, sampai berupa sertifikat, dan bukan berupa uang)
·         Kaitkan pembelajaran dengan kebutuhan siswa

·         Bantulah para siswa mengembangkan rencana kegiatan pembelajaran


5.    Pandangan Teori Konvensional
Disamping keempat teori tersebut adapandangan teori keonvensional tentang motivasi yang perlu juga diperhatikan dan juga dipahami. Teori-teori tersebut antar lain adalah:
a.    Teori Hedonisme
          Kata hedon berasal dari bahasa latin hedone yang maknanya adalah kenikmatan, kesukaan, kesenangan (pleasure, delight).Hedonisme memandang bahwa tujuan hidup yang utama dari manusia adalah mencari nikmat duniawi. Oleh sebab itu menghadapi masalah orang cenderung memilih alternatif pemecahan yang dapat menimbulkan kesenangan daripada yang mengakibatkan kesukaran, kesulitan, kesengsaraan, penderitaan, dan lain-lain.
          Pergaulan bebas (free sex) yang melanda dunia Barat adalah salah satu bentuk pemujaan terhadap Hedonisme. Salah satu contoh bahwa Hedonisme melanda dunia Barat dapat dibaca pada hatian Kompas, 28 November 2012. Jika dilacak dalam sejarah, hedonisme sudah berkembang sejak zaman Mesir kuno pada zaman Fir’aunIntef, berkembang di India sekitar 600 SM sampai abad ke XIV M, dengan aliran hedonisme yang bernama Carvaka.
b.    Teori Naluri
          Secara kodrati manusia dilengkapi dengan tiga naluri utama yang dipentingkan untuk hidup dan kehidupannya. Naluri utamanya antara lain adalah naluri mempertahankan diri, naluri mengembngkan diri, dan naluri mempertahankan jenis. Sumber lain menyatakan bahwa manusia dapat bertahan hidup karena mampu beradaptasi secara fisik dan mental dalam dunia yang selalu berubah, kecakapan beradaptasi itu disebut mekanisme bertahan hidup (survival mechanism). Mekanisme untuk bertahan hidup itu terbangun karena manusia memiliki rasa takut (fear), cemas (anxiety), marah dan frustasi (anger and frustration), depresi (depression), kesendirian dan kebosanan (loneliness and boredom), serta rasa bersalah (guilt)
c.    Teori Sosiokultur
          Menurut teori ini perilaku manusia tidak didasarkan atas naluri, namun dilandasi pola-pola perilaku yang dipelajari sebgai hasil pergumulannya dengan tradisi dan budaya tempat iya tinggal hidup. Teori ini disebut juga teori lingkungan kehidupan. Implikasi praktis dari teori ini adalah penjelasan bagi adanya perbedaan motivasi antar siswa ternyata dapat dilacak dan dimulai di ruang kelas, rumah, dan konteks sosiokultural, daripada melacak dari orang per orang.

D.  Resiliensi
       Resiliensi merupakan wacana baru dalam dunia psikologi namun amat penting dipahami oleh guru dan diimplementasikan dalm pendidikan di sekolah, terutama di abad XXI ini. Awal sekali terminologi resiliensi berkembang dari lapangan psikiatri, kemudian berkembang pula dalam bidang psikologi dan sosiologi. Resiliensi pada umumnya didefinisikan sebagai kemampuan seseorang untuk membangkitkan faktor-faktor biologis, psikologis dan sosialnya untuk mempertahankan, beradaptasi dan memperkuat dirinya dalam menghadapi risiko di lingkungan sehingga menghasilkan sukses pribadi, sosial, maupun moral. Konsep resiliensi hadir sebagai penyeimbang pandangan konvensional yang menyatakan bahwa stres semata-mata hanya menimbulkan efek negatif, frustasi dengan berbagai dampak ikutannya misalnya, konsep ini mencoba memaparkan hikmah positif dari stres, stres tidak hanya menghadirkan distress (negative stress), tetapi jua eustress (positive stress).
       Esensinya, banyak hasil studi yang menolak pandangan konvensional bahwa stres merupakan petaka yang tidak dapat dielakkan yang menyebabkan seseorang hidup abadi dalam lingkaran setan kegagalan, kemiskinan, derita, penyimpangan, kekerasan serta bentuk kegagalan hidup yang lain. Konsep konvensional ini hanya berorientasi kepada stres yang negatif jika seseorang menghadapi tekanan hidup, sehingga timbul trauma yang berkepanjangan. Konsep modern yang antari lain disponsori oleh Garmezy dan Strietman pada tahun 1970-an menganggap bahwa resiliensi telah membantu upaya perkembangan anak dan siswa secara lebih  baik dalam menghadapi stres. Garmezy (1973) pertama kali mengungkapkan pertemuannya tentang resiliensi sebagai hasil riset epidemiologi. Garmezy dan Streitman (1974) kemudian menciptakan suatu instumen untuk mengamati sistem yang mendukung perkembangan resiliensi seseorang.
       Resiliensi adalah proses dinamis yang tterjadi bilamana seseorang menunjukkan perilaku adaptasi yang positif tatkala menghadapi penderitaan, kesengsaraan, trauma, tragedi, ancaman maupun sumber-sumber stres lain yang signifikan. Resiliensi sering dimaknai sebagai keadaan bangkit kembali (bouncing back) dari pengalaman-pengalaman pahit kehidupan. Kemudian, Rirkin dan Hoopman seperti yang dikutip oleh Desmita (2011: 200) merumuskan definisi resiliensi yang secara khusus ditujukan kepada pendidik dan siswa yang berisi unsur-unsur pembanguna resiliensi di sekolah, yaitu “the capacity to spring back, rebound, succesfully adapt in the face of adversity, and develop social, academic, and vocartional competence despite exposure to severe stress or simply to the stress that is inherent in today world”. Jadi resiliensi dimaknai sebagai kemampuan untuk melenting baik, melentur, beradaptasi secara sukses dalam menghadapi penderitaan, sert mengembangkan kompetensi sosial, kompetensi akademik, dan kompetensi vokasional tatkala terpapar stres yng parah atau stres lain, yang melekat dalam dunia dewasa ini.
       APA (American Psychological Association) menyatakan ada beberapa faktor yang terkait dengan resiliensi, yaitu:
·      Kapasitas menyusun rencana yang realistis serta mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mewujudkan rencana tersebut;
·      Pandangan positif terhadap diri sendiri serta kepercayaan diri terhadap kekuatan dan kemampuan diri;
·      Memiliki keterampilan dalam berkomunikasi dan memecahkan msalah;
·      Kapasitas untuk mengelola perasaan dan impuls yang kuat.
       Seluruh faktor ini diketahu dapat dikembangkan dalam setiap pribadi orang per orang. Selanjutnya APA juga menyarankan 10 cara untuk membangun resiliensi dalam diri seseorang, yang terdiri dari:
1)   Jalin hubungan, hubungan yang baik dengan keluarga dekat, teman, atau orang lain adalah penting.
2)   Jauhi melihat krisis sebagai masalah yang tidak dapat diatasi. Optimislah, biasanya selalu ada kemudahan dibalik kesulitan, selalu ada seberkas cahaya keperakan didalam mendung yang menggumpal (every cloud has a silver lining).
3)   Terimalah setiap perubahan itu sebagai bagian dari kehidupan. Tujuan tertentu sering kali tercapai sebagai hasil dari penderitaan.
4)   Majulah selalu menuju tujuan hidup. Kembangkan dan rumuskan sejumlah tujuan hidup yang realistis.
5)   Ambillah keputusan. Lakukan kkegiatan sebanyak mungkin dalam situasi yang penuh perjuangan dan penderitaan.
6)   Carilah kesempatan bagi adanya penemuan pribadi.
7)   Kembangkan pandangan positif mengenai diri kita sendiri.
8)   Jagalah segala sesuatunya tetap dalam perspektif.
9)   Pertahankan pandangan yang penuh pengharapan.
10)  Peduli pada diri sendiri.
       Konsep yang lebih dahulu dan kemanfaatannya dalam pembelajaran hampir mirip dengan resiliensi adalah konsep kemampuan diri (self efficacy). Teori kognitif sosial menekankan pentingnya peran belajar melalui observasi (observational learning) serta pengalaman sosial dalam perkembangan kepribadian seseorang. Konsep pokoknya adalah aksi reaksi seseorang, termasuk perilaku sosial dan proses kognitifnya, dalam kebanyakan situasi dipengaruhi oleh tindakan orangan lain yang diamati dan diperhatikannya, maupun hasil pengamatannya terhadap lingkungannya. Di dalam kelas untuk meningkatkan self afficacy ini guru dapat melibatkan siswa dalam diskusi atau mengajukan sejumlah pertanyaan yang memandu kuriositas mereka.

E.  Pekembangan Peserta Didik
       Bicara tentang perkembangan peserta didik disamping mendekatinya dari aspek psikologi secara umum, pada umumnya juga dikaitkan dengan perkembangan mental (kognitif) yang diungkapkan oleh Jean Piaget, serta perkembangan moral yang digagas oleh Lawrence Kohlberg. Sebelum membahas perkembagan psikologi anak secara umum, sedikit dibahas perkembangan moral peserta didik menurut Lawrence Kohlberg. Teori Kohlberg ini merupakan adaptasi dari teori perkembangan moral dari Jean Piaget. Kohlberg mengklasifikasikan perkembangan moral menjadi tiga tingkatan (level), yang kemudian dibagi lagi menjadi enam tahap (stage). Secara ringkas dipaparkan dalam tabel berikut:
Tabel 6.2 Tahap perkembagan Moral Peserta Didik Menurut Kohlberg
Level 1: Moralitas Pra-Konvensional
Tahap 1
Orientasi Kepatuhan dan Hukuman
Ini adalah tahap di mana anak-anak muda memulai tahapan moralnya (ada sedikit orang dewasa yang tetap dalam tahap ini). Aturan dilihat sebagai sesuatu yang pasti dan mutlak. Mematuhi aturan adalah penting karena berarti menjauhi hukuman
Tahap 2
Orientasi Minat Diri
Senyampang anak tumbuh makin dewasa mereka mulai melihat bahwa orang lain memiliki tujuan dan kepentingan hidup dan selalu ada ruang untuk negosiasi. Keputusan dibuat berlandaskan “apa gunanya hal ini bagiku?”. Misalnya, seorang anak mungkin akan berpikir “jika aku melakukan apa keinginan ibu atau ayahku, mereka akan memberikan hadiah, oleh karenanya aku akan melakukannya.”

Level 2: Moralitas Konvensional
Tahap 3
Orientasi Konformitas Sosial
Tahap ini kebanhyakan dimiliki oleh remaja. Sudah ada perasaan tentang apa itu anak lelaki yang keren dan gadis yang cantik, mereka melakukan sesuatu dengan penekanan kepada harapan sosial serta norma-norma sosial karena akan berdampak pada hubungan mereka sehari-hari.
Tahap 4
Orientasi Hukum dan Peraturan
Pada saat ini setiap anak mencapai kedewasaanya, dalam membuat keputusan dan pertimbangan mereka biasanya akan mengacu kebutuhan atau kepentingan masyarakat umum. Mereka berfokus untuk mempertahankan hukum dan aturan dengan mematuhinya, melaksakan kewajiban pribadinya dan menghormati otoritas.

Level 3: Moralitas Pos-Konvensional
Tahap 5
Orientasi Kontrak Sosial
Pada tahap ini, orang menyadari bahwa mereka berbeda dalam hal pendapat tentang apa yang benar dan yang salah bahwa hkum sejadar kontrak sosial berlandaskan keputusan suara mayoritas dan dapat dikompromikan. Orang-orang pada tahap ini kadang-kadang tidak mematuhi hukum bila melihat aturan tersebut tidak konsisten dengan nilai personalnya dan juga menginginkan mengubah hukum tertentu bila tidak lagi berjalan. Demokrasi modern kita berpangkal dari pemikiran tahap 5 ini.
Tahap 6
Orientasi Etika Universal
Hanya sedikit orang yang ada pada tahap ini pada sepanjang waktunya. Ini berpangkal pada pengakuan penalaran abstrak serta kecakapan untuk meletakkan kepentingan pribadi di bawah kepentingan umum. Pada tahap ini orang memiliki kesadarah prinsip dan akan mengikuti prinsip etika universal tanpa memandang hukum aturan resmi.

       Dalam kaitan dengan perkembangan peserta didik, Hurluck membaginya menjadi perkembangan pada tahap awal masa kanak-kanak, tahap akhir masa kanak-kanak, masa puber, masa remaja, dan masa dewasa. Pembahasan perkembangan peserta didik akan difokuskan sejak akhir masa kanak-kanak (usia SD), masa puber (masa SMP) dan masa remaja (masa SMA/SMK).

1.    Perkembangan Anak Pada Akhir Masa Kanak-Kanak
       Menurut Elezabeth B.Hurlock akhir masa kanak-kanak (late childhood) berlangsung dari usia 6 tahun sampai tiba saatnya individu baligh, atau matang secara seksual. Biasanya pada anak perempuan ditandai oleh awal menstruasi, umumnya di sekitar usia 13 tahun, dan untuk anak laki-laki ditandai oleh “mimpi basah” umumnya pada sekitar usia 14 tahun.
       Para pendidik melabelkan akhir masa kanak-kanak dengan usia sekolah dasar. Pada usia ini anak-anak diharapkan mendapatkan dasar-dasar pengetahuan yang penting bagi keberhasilan penyesuaian diri bagi kehidupan dewasa serta mempelajari sebagai keterampilan penting tertentu, baik keterampilan kurikuler maupun ekstra kurikuler. Dalam konteks saat ini, berbagai kecakapan hidup (life skills) termasuk soft skill anak-anak mulai berkembang dengan baik. Para pendidik juga memandang periode ini sebagai periode kritis dalam dorongan berprestasi, suatu masa di mana anak membentuk kebiasaan untuk mencapai sukses, tidak sukses, atau sangat sukses.
       Sementara itu ahli psikologi menandai akhir masa kanak-kanak ini sebagai usia berkelompok. Pada masa ini perhatian utama anak tertuju kepada keinginan diterima oleh teman-teman sebayanya sebagai anggota kelompok, terutaman kelompok yang dianggap bergengsi dalam pandangan mereka. Ahli psikologi memnyebutkan anak-anak pada usia ini adalah pada usia penyesuaian diri. Pada usia ini anak-anak tidak puas jika hanya bergaul dan bermain sendiri atau dengan saudara kadungnya di rumah, ia akan merasa kesepian jika tidak bermain dengan teman-temannya di luar rumah. Dua atau tiga orang teman tidaklah cukup baginya sehinga ia cenderung membentuk geng. Umumnya geng merupakan kelompok anak berjenis kelamin sama. Masalahnya geng semacam ini sering terjerumus ke dalam perilaku sosial yang buruk
       Pada tahun-tahun prasekolah sebenarnya anak-anak sudah mempelajari  berbagai keterampilan, terutama keterampilan fisik yang diperlukan dalam permainan dan aktifitas fisik, sehingga pada usia sekolah mereka sudah memiliki berbagai keterampilan. Pada umumnya anak-anak perempuan melebihi anak-anak laki-laki dalam penguasaan berbagai keterampilan yang melibatkan otot motorik kasar seperti basket, melempar bola, menendang bola, lompat jauh lompat tinggi, berlari, mengejar dan menghindari kejaran, dan sebagainya. Berbagai keterampilan yang mulai berkembang tersebut dapat dilihat sebagai berikut:      
Tabel 6.3 Berbagai Keterampilan yang Berkembang pada Usia Sekolah Dasar
No
Jenis Keterampilan
Contoh Keterampilan
1
Menolong Diri Sendiri
Anak yang lebih besar harus dapat makan, berpakaian, mandi, dan berdandan sendiri hampir secepat dan semahir orang dewasa
2
Menolong Orang Lain
Di rumah mencakup membersihkan tempat tidur, membersihkan debu dan menyapu, di sekolah mencakup mengosongkan tempat sampah, mkembersihkan papan tulis, menyapu lantai kelas, dalam kelompok bermain mencakup menolong membuat rumah-rumahan, membuat boneka
3
Sekolah
Menulis, menggambar, melukis, membentuk tanah liat, menari, mewarnai dengan krayon, menjahit, memasak, pekerjaan tangan dari bahan kayu
4
Bermain
Melempar dan menangkap bola, naik sepeda, sepatu roda, board skating, berenang, “pastil lele”, benteng-bentengan, “gobang sodor”.

       Kecuali itu pada usia ini kecakapan berbicara anak-anak juga berkembang. Mereka mulai suka mengobrol, banyak bicara. Jika diajari dengan baik mereka sudah pandai mengucapkan kosa kata etiket seperti “minta tolong”, “terimakasih”, “selamat pagi”, “assalamu’alaikum”, dan sebagainya. Hal yang patut dijaga oleh guru dan orang tua, perbendaharaan kosa kata sering dipelajarinya dari lingkungan pergaulan, kosa kata makian, sumpah serapah, kata-kata kotor mulai dipelajarinya dari lingkungan.
       Jenis-jenis hiburan yang digemari anak-anak  pada periode ini adalah membaca, termasuk membaca komik, film, radio dan televisi, juga senang melamun dan berkhayal. Agar minat anak dalam mebaca berkembang perlu dukungan dari orang tua dan orang yang lebih tua lainnya. Di sekolah-sekolah dasar yang maju setiap anak pada masa ini sudah dibiasakan untuk mengarang, membuat ringkasan dari cerita pendek yang dibaca, menyampaikan komentar dari suatu bacaan dengan bahasa mereka sendiri (melakukan prafase).
       Konsep-konsep yang berkembangan pada saat akhir masa kanak-kanak (anak-anak usia SD) ini antara lain adalah:
·         Membina sikap yang sehat (positif) terhadap dirinya sendiri sebagai seorang individu yang sedang berkembanng, seperti kesadaran tentang harga diri (self esteem) dan kemampuan diri (self aficacy).
·         Belajar bergaul dan bekerja dalam kelompok
·         Sudah memiliki pengertian yang baik tentang kehidupan, menyadari bahwa tanda kehidupan bukan hanya berupa gerakan tubuh, namun juga bernapas dan lainnya.
·         Belajar bergaul denga teman-teman sebaya sesuai dengan etika moral yang berlaku di masyarakat sekitarnya.
·         Sudah memahami perlunya membina dn membiasakan hidup sehat.
·         Mulai belajar menjalankan peran sosial sesuai dengan jenis kelaminnya.
·         Mengembangkan dasar-dasar keterampilan membaca, menulis, dan berhitung (calistung)
·         Sudah memiliki pengertian yang baik tentang kematian
·         Konsep tentang penyebab fisik biasanya berkembang lebih dulu daripada konsep tentang penyebab psikologis.
·         Anak mengembangkan konsep tentang apa yang dapat dicapai dalam jangka waktu tertentu.
·         Mengembangkan kata hati, moral dan skala nilai yang selaras dengan keyakinan dan kebudayaan yang berlaku di masyarakat sekitarnya.
·         Konsep tentang diri sendiri semakin jelas ketika ia mulai mengenal dirinya sendiri melalui pandangan guru-guru dan teman sekelasnya, ketika ia membandingakan kemampuan berprestasinya dengan kemampuan teman-temannya.
·         Pada akhir periode ini anak-anak umumnya (termasuk anak wanita) berpandangan bahwa peran pria lebih berwibawa daripada peran wanita.
·         Pada usia ini anak yang lebih tua sadar akan status sosial, agama, ras, dan status sosial-ekonomi dari teman sebaya mereka, mereka menerima steriotip budaya dan bersikap dewasa terhadap status ini (dikembangkan dari Syah, 2011: 50 dan Hurlock, 1980)

2.    Perkembangan Anak pada Masa Puber
       Pubertas adalah periode dalam rentang perkembangan ketika anak-anak berubah dari makhluk aseksual menjadi makhluk seksual. Root dalam Hurluck (91980: 184) menyatakan bahwa “masa puber adalah suatu tahap dalam perkembngan di mana terjadi kematangan alat-alat seksual dan tercapai kemampuan reproduksi”. Kata pubertas berasal dari kata lain yang berarti usia dewasa. Kata ini lebih menunjuk kepada perubahan fisik daripada perubahan perilaku.
       Masa puber dianggap sebagai periode tumpang tindih karena mencakup tahun-tahun akhir masa kanak-kanak dan tahun-tahun awal masa remaja (adolescence). Masa puber relatif singkat, sekitar 2-4 tahun. Anak yang mengalami masa puber 2 tahun atau kurang disebut anak yang cepat matang, sedangkan yang masa pubernya 3-4 tahun disebut lambat matang.
       Dalam masa puber ada 4 perubahan tubuh yang utama, yaitu perubahan besarnya tubuh, perubahan proporsi tubuh, pertumbuhan ciri-ciri seks primer dan perkembangan ciri-ciri seks sekunder. Perubahan pada masa puber memengaruhi keadaan fisik, sikap dan perilaku. Karena akibatnya cenderung buruk, terutama selama awal masa puber, maka masa puber sering disebut fase negatif. Dua keprihatinan yang merupakan ciri masa puber berhubungan dengan masalah kenormalan dan kepatuhan seks. Sikap dan perilaku yang dominan pada masa puber antara lain adalah suka menyendiri, cepat merasa bosan pada semua hal, terjadi antagonisme sosial, mereka cenderung enggan bekerja sama, sering membantah dan menantang, emosi meninggi, murung, merajuk, mudah meledak kemarahannya dan kecenderungan untuk menangis, hilangnya kepercayaan diri. Namun sering kali terjadi ambivalensi antara keinginan menyendiri dan keinginang bergaul, serta keinginan untuk bebas dari dominasi dengan kebutuhan terhadap bimbingan dan bantuan orang tua.
3.    Perkembangan Anak pada Masa Remaja
       Istilah adolescence atau remaja berasal dari kata Latin adolescence yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Istilah ini, saat ini memiliki arti yang lebih luas, mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik. Masa remaja disebut dengan periode perubahan. Perubahan itu jauh lebih cepat pada awal masa remaja daripada pada akhir masa remaja. Perubahan itu meliputi perubahan perilaku, sikap, sikap dan nilai-nilai.
       Pada masa remaja ini mereka mulaimengembangkan sikap positif terhadap pernikahan, hidup berkeluarga, dan mempunyai anak. Mereka mencoba memilih dan mempersiapkan karier di masa depan sesuai dengan minat dan kemampuannya. Perubahan sosial yang penting pada masa remaja meliputi meningkatnya pengaruh kelompok sebaya, pola perilaku sosial yang lebih matang, pengelompokkan sosial yang baru dan nilai-nilai baru dalam pemilihan teman dan pemimpin maupun dalam dukungan sosial.
       Melihat berbagai catatan hasil pengamatan para ahli psikologi dapat dipahami jika seorang anak yang semula bertinglah manis (“anak mama”) pada saat usia SMP setelah mendapatkan induktrinasi oleh seniotnya di SMA ternyata berubah menjadi anak yang brutal, beringas dan suka berkelahi membela kelompoknya sehingga terjadi tawuran antar remaja, tidak sekadar bertujuan menyakiti, bahkan ada keinginan membunuh lawan atau yang dipersepsikan sebagai lawan oleh para senior panutannya. Dalam hubungan ini, sudah menjadi tugas da fungsi sekolah untuk memupuk semangat keberagaman siswa melalui pembelajaran agama yang lebih terbuka dan mengedepankan toleransi. Siswa juga harus dibiasakan untuk menjalin hubungan yang harmonis dengan seluruh warga sekolah (guru, tenaga pendidikan, tenaga nonkependidikan, serta siswa yang lain). Sementara itu dengan semakin sulitnya kehidupan dan tantangan untuk berkarier di abad XXI ini, sekolah (dalam hal ini guru) wajib melatih siswa mengembangkan resiliensi, kemampuan bertahan dalam kondisi sulit dan penuh tajtangan serta godaan.



KESIMPULAN
            Berdasarkan hasil analisis data yang telah dilakukan dalam penelitian ini, maka peneliti menyimpulkan bahwa pengetahuan psikologi sangat diperlukan dalam praktik pembelajaran serta hubungan yang sangat signifikan antara motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik dengan minat dan perhatian siswa terhadap pembelajaran. Dari hasil koreksi bisa diketahui bahwa motivasi sangat mempengaruhi minat dan perhatian siswa terhadap pembelajaran.



DAFTAR PUSTAKA
Abudin Nata.,(2010). Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Prenada Media
Muhibbin Syah., (2009).Psikologi Belajar. Jakarta: Rajawali Pers
Syaiful Bahra Djamarah., (2002).Psikologi Belajar. Jakarta: Rineka Cipta
Abdul Majid.,(2012). Belajar dan Pembelajaran PAI. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Fatimah, E., (2010). Psikologi Perkembangan: Perkembangan Peserta Didik. Bandung: P
Sarlito W.Sarwono., (2009). Pengantar Psikologi Umum. Jakarta: Rajagrafindo Persada