ABSTRAK
PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM (PENDIDIKAN BERBASIS
AL-QUR,AN DAN HADIST)
Oleh:
Oleh:
M IHSAN 15.21.0081
Prodi:
Prodi:
Pendidikan Bahasa Inggris
Email:
Muhihsan643@gmail.com
Pembentukan kepribadian manusia yang seimbang, sehat dan kuat, sangat dipengaruhi oleh pendidikan agama dan internalisasi nilai keagamaan dalam diri peserta didik. Peletakan dasar-dasar pendidikan agama adalah kewajiban orang tua dan juga menjadi tugas guru, masyarakat, dan pemerintah melalui berbagai lembaga pendidikan. Tulisan ini membahas tentang pentingnya, pendidikan berbasis Al-Quran, dan pembentukan karakter peserta didik melalui pendidikan. Pendidikan adalah sebuah proses yang tidak berkesudahan yang sangat menentukan karakter bangsa pada masa kini dan masa datang. Apakah suatu bangsa akan muncul sebagai bangsa yang berkarakter baik atau bangsa berkarakter buruk, sangat tergantung pada kualitas pendidikanyang dapat membentuk karakter anak bangsa tersebut. Pembentukan karakter melalui pendekatan pendidikan Al-Quran selain menjadi bagian dari proses pembentukan akhlak mulia, diharapkan mampu menjadi pondasi utama dalam meningkatkan derajat dan martabat peserta didik sebagai anak bangsa. Salah satu usaha yang tidak boleh ditinggalkan oleh guru adalah bagaimana guru memahami kedudukan metode sebagai salah satu komponen yang mempengaruhi dalam proses belajar mengajar. Metode mengajar memiliki arti yang sangat penting lebih dari sekedar alat untuk menyampaikan ilmu pada peserta didik. Untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, dibutuhkan suatu pengelolaan (manajemen) dalam pendidikan. Dalam implementasinya, manajemen pendidikan seharusnya benar-benar mampu beroperasional dan berfungsi mempermudah pencapaian tujuan pendidikan. Untuk itulah dibutuhkan konsep yang baik dan matang dalam upaya implementasi manajemen pendidikan. Keterbatasan pengetahuan akan manajemen pendidikan menjadi salah satu faktor yang melatar belakangi implementasi manajemen pendidikan yang kurang memadai.
lalu Diperlukan kesiapan dan dukungan baik dari guru, siswa, orang tua dan masyarakat dan pemerintah dalam mewujudkan tujuan-tujuan pendidikan dalam sistem persekolahan
PENDAHULUAN
BAB I
Pembentukan kepribadian manusia yang seimbang, sehat dan kuat, sangat dipengaruhi oleh pendidikan agama dan internalisasi nilai keagamaan dalam diri peserta didik. Peletakan dasar-dasar pendidikan agama adalah kewajiban orang tua dan juga menjadi tugas guru, masyarakat, dan pemerintah melalui berbagai lembaga pendidikan. Tulisan ini membahas tentang pentingnya, pendidikan berbasis Al-Quran, dan pembentukan karakter peserta didik melalui pendidikan. Pendidikan adalah sebuah proses yang tidak berkesudahan yang sangat menentukan karakter bangsa pada masa kini dan masa datang. Apakah suatu bangsa akan muncul sebagai bangsa yang berkarakter baik atau bangsa berkarakter buruk, sangat tergantung pada kualitas pendidikanyang dapat membentuk karakter anak bangsa tersebut. Pembentukan karakter melalui pendekatan pendidikan Al-Quran selain menjadi bagian dari proses pembentukan akhlak mulia, diharapkan mampu menjadi pondasi utama dalam meningkatkan derajat dan martabat peserta didik sebagai anak bangsa. Salah satu usaha yang tidak boleh ditinggalkan oleh guru adalah bagaimana guru memahami kedudukan metode sebagai salah satu komponen yang mempengaruhi dalam proses belajar mengajar. Metode mengajar memiliki arti yang sangat penting lebih dari sekedar alat untuk menyampaikan ilmu pada peserta didik. Untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, dibutuhkan suatu pengelolaan (manajemen) dalam pendidikan. Dalam implementasinya, manajemen pendidikan seharusnya benar-benar mampu beroperasional dan berfungsi mempermudah pencapaian tujuan pendidikan. Untuk itulah dibutuhkan konsep yang baik dan matang dalam upaya implementasi manajemen pendidikan. Keterbatasan pengetahuan akan manajemen pendidikan menjadi salah satu faktor yang melatar belakangi implementasi manajemen pendidikan yang kurang memadai.
lalu Diperlukan kesiapan dan dukungan baik dari guru, siswa, orang tua dan masyarakat dan pemerintah dalam mewujudkan tujuan-tujuan pendidikan dalam sistem persekolahan
PENDAHULUAN
BAB I
. Latar
belakang
Dalam catatan sejarah,
eksistensi pendidikan Islam telah ada sejak Islam pertama kali diturunkan. Ketika
Rasulullah SAW mendapat perintah dari Allah untuk menyebarkan ajaran
Islam, maka apa yang dilakukan adalah
masuk dalam kategori
pendidikan. Karena kepribadian Rasulullah SAW mencerminkan wujud ideal Islam, seorang guru dan pendidik.
Kemudian sejak masa sahabat,
tabi’in dan generasi selanjutnya pada masa pendahulu, masa keemasan Islam dan
masa pembaharuan banyak bermunculan berbagai pemikiran pendidikan Islam, hal ini salah satunya ditandai dengan banyaknya ulama–ulama Islam yang menulis tentang buku pendidikan
dan pengajaran secara mendalam.
Pemikiran pendidikan Islam adalah serangkaian proses kerja akal dan kalbu
secara bersungguh-sungguh dalam melihat berbagai persoalan yang ada dalam
pendidikan Islam.
Syekh Muhammad Arsyad al banjari adalah tokoh pembaharu yang tidak asing lagi, dunia
Islam dan Barat mengakuinya, bahkan pandangannya sering dijadikan
rujukan dalam pembahasan ke islaman
Menurut Al-Ghazali pendidikan Islam bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, bukan untuk mencari kedudukan yang menghasilkan uang. Karena jika tujuan pendidikan diarahkan bukan pada mendekatkan diri kepada Allah SWT, akan dapat menimbulkan kedengkian, kebencian, dan permusuhan
Menurut Al-Ghazali pendidikan Islam bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, bukan untuk mencari kedudukan yang menghasilkan uang. Karena jika tujuan pendidikan diarahkan bukan pada mendekatkan diri kepada Allah SWT, akan dapat menimbulkan kedengkian, kebencian, dan permusuhan
Tujuan pendidikan menurut al-ghazali
mengarah kepada realisasi tujuan keagamaan dan akhlak, dengan titik
penekanannya pada perolehan keutamaan dan taqarrub kepada Allah dan bukan untuk
mencari kedudukan yang tinggi atau mendapatkan kemegahan dunia. Sebab jika
tujuan pendidikan diarahkan selain untuk mendekatkan diri pada Allah, akan
menyebabkan kesesatan dankemundaratan.tujuan pendidikan ini sejalan dengan
firman Allah SWT, tentang tujuan penciptaan manusia yaitu Q.S. al-dzariat: 56
2. Rumusan masalah:
a. Karakteristik pendidikan yang
bagaimanakah yang di tawarkan Al-Quran dan Hadits berkenaan dengan tujuan Islam ?
b. Usaha apakah yang dilakukan oleh
seorang pendidik untuk mewujudkan karakter dan kepribadian tersebut ?.
c. Nilai-nilai
pendidikan agama Islam dalam pemikiran Syekh Muhammad Arsyad al banjari
d.pemikiran islam menurut imam al Ghazali
d.pemikiran islam menurut imam al Ghazali
3.METODE
Metode ini adalah model penelitian historis faktual mengenai tokoh,
yakni objek penelitian ini dari pemikiran salah seorang tokoh dari
karya-karyanya. Pemikiran tokoh tersebut diselidiki sebagai filsafatdalam
meneliti nilai-nilai pendidikan agama Islam dalam pemikiran Syekh Muhammad
Arsyad al-Banjari.Dimulai dengan mengumpulkan beberapa karya Syekh Muhammad
Arsyad al-Banjari sebagai data primer dan data sekunder dari berbagai Literatur
buku-buku sejarah, juga melalui dokumentasi yang tersimpan pada majalah, jurnal,
surat kabar, dan bahan informasi tertulis lainnya yang berhubungan dengan
penelitian ini untuk menganalisis nilai-nilai pendidikan agama Islam dalam
pemikiran Syekh Muhammad Arsyadal banjari
dan imam al ghazali
Teknik pengumpulan data
dan imam al ghazali
Teknik pengumpulan data
Teknik pengumpulan data dalam
penelitian inidimulai dengan
mengumpulkan kepustakaan melalui
tahapan sebagai berikut:
a.Mencari semua buku-buku yang ada
mengenai tokoh Syekh Muhammad
Arsyad al-Banjari dan imam al
ghazali serta topik tentang pemikirannya.
b.Memilah-milih pustaka yang umum
dan yang khusus, dimulai dengan
karya-karya Syekh Muhammad Arsyad
al-Banjari dan imam al ghazali sebagai data primer
KAJIAN PUSTAKA
Dalam khazanah pemikiran pendidikan Islam, pada
umumnya para ulama berpendapat bahwa tujuan akhir pendidikan Islam
adalah ”untuk beribadah kepada Allah SWT”. Kalau dalam sistem pendidikan
nasional, pendidikan diarahkan untuk mengembangkan manusia seutuhnya, yaitu
manusia yang beriman dan bertaqwa, maka dalam konteks pendidikan Islam justru
harus lebih dari itu, dalam arti, pendidikan Islam bukan sekedar diarahkan
untuk mengembangkan manusia yang beriman dan bertaqwa, tetapi justru berusaha
mengembangkan manusia menjadi imam/pemimpin bagi orang beriman dan bertaqwa
(Waj’alna li al-muttaqina imaama).
Pendidikan sebagai upaya perubahan dan perbaikan diri yang meliputi keseluruhan hidup
Pendidikan sebagai upaya perubahan dan perbaikan diri yang meliputi keseluruhan hidup
individu termasuk akal (aspek kodnitif), hati dan
rohani (aspek afektif), jasmani (aspek psikomotorik), serta akhlak, dan tingkah
laku (behavioral).
Melalui pendidikan, setiap potensi yang di
anugerahkan Allah SWT kepada seluruh ummat manusia haruslah sedapat mungkin
bisa dioptimalkan dan dimanfaatkan untuk menjalankan fungsi sebagai khalifah di
muka bumi. Sehingga pendidikan merupakan suatu proses yang sangat penting tidak
hanya dalam hal pengembangan kecerdasannya, namun juga untuk membawa peserta
didik pada tingkat manusiawi dan peradaban, terutama pada zaman modern dengan
berbagai kompleksitas yang ada.
Tujuan pendidikan yang utama dalam Islam menurut Al-Qur’an adalah agar terbentuk insan-insan yang sadar akan tugas utamanya di dunia ini sesuai dengan asal mula penciptaannya, yaitu sebagai ’Abid (penghamba). Sehingga dalam melaksanakan proses pendidikan, baik dari sisi pendidik (guru) atau anak didik (murid), harus didasari sebagai pengabdian kepada Allah SWT semata.
Mengabdi dalam terminologi Islam sering diartikan
dengan beribadah. Ibadah bukan sekedar ketaatan dan ketundukan, tetapi ia
adalah satu bentuk ketundukan dan ketaatan yang mencapai puncaknya akibat
adanya rasa keagungan dalam jiwa seseorang terhadap siapa yang kepadanya ia
mengabdi. Ibadah juga merupakan dampak keyakinan bahwa pengabdian itu tertuju
kepada yang memiliki kekuasaan yang tidak terjangkau dan tidak terbatas
Selalu berorientasi kedepan, fisioner jauh kedepan
mengiringi setiap perilaku dan kekaryaan seorang pendidik di masa-masa
mendatang sebagai bentuk keprihatinan positif yang tak lagi pragmatis baik
menyangkut diri pribadinya selaku pendidik maupun untuk ditularkan kepada
peserta didik
Senantiasa mengingat Allah SWT dalam segala urusan baik pada kondisi takut (al-khouf), harapan (ar-roja), kesulitan (asy-syiddah) dan kelapangan (ar-rukho).
Semata-mata ada tujuan kepada ridho Allah SWT, mengharapkan rahmat sebagai kasih sayang-Nya dan juga mengharap pahala dari-Nya;
Senantiasa mengingat Allah SWT dalam segala urusan baik pada kondisi takut (al-khouf), harapan (ar-roja), kesulitan (asy-syiddah) dan kelapangan (ar-rukho).
Semata-mata ada tujuan kepada ridho Allah SWT, mengharapkan rahmat sebagai kasih sayang-Nya dan juga mengharap pahala dari-Nya;
Dengan beberapa poin ini, seorang pendidik insya
Allah akan dapat di harapakan untuk senantiasa berpijak pada kebenaran dan
bertindak sesuai prosedur yang dikenakan kepada setiap pelaku pendidikan di
republik
Imam Ghozali melukiskan tujuan pendidikan sesuai
dengan pandangan hidupnya dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, yaitu
sesuai dengan filsafatnya, yakni memberi petunjuk akhlak dan pembersihan jiwa
dengan maksud di balik itu membentuk individu-individu yang tertandai dengan sifat-sifat
utama dan takwa
BAB II
1. Pembahasan.
Sekilas tentang pengertian pendidikan.
Secara bahasa (analogi), pendidikan merupakan “Suatu
proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau sekelompok orang dalam
usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan” Pendidikan
bisa juga berarti proses, cara dan atau perbuatan mendidik. Sedangkan kata
“karakter” terambil dari bahasa asing yang memiliki makna sebagai suatu sifat,
watak atau peran.
Jadi, pendidikan karakter dalam pendekatan
terminologi pendidikan nasional sebagaimana hasil rumusan kajian pemikiran yang
di kembangkan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan di lingkungan Kementrian
Agama Republik Indonesia (Balitbang Kemenag RI) yang juga dikutip dalam
“websites”nya, ialah “Sebagai salah satu hal yang sederhana karena kata
‘karakter’ adalah semua pengembangan diri siswa dalam interaksi belajar yang
berlangsung -hingga awal dan berakhirnya proses pengajaran- bisa tercapai
pembentukan siswa yang berkarakter”. “Pendidikan karakter di sekolah sangat
diperlukan, walaupun dasar dari pendidikan karakter adalah di dalam keluarga.
Kalau seorang anak mendapatkan pendidikan karakter yang baik dari keluarganya,
anak tersebut akan berkarakter baik selanjutnya. Namun banyak orang tua yang
lebih mementingkan aspek kecerdasan otak ketimbang pendidikan karakter”. pada
dasarnya mencakup empat point penting yang harus ditekankan dalam
peletakan dasar-dasar pengembangan kurikulum dari kurikulum sebelumnya, antara
ialah :
*. Aspek Spiritual
*. Aspek Sosial
*. Aspek Sains (ilmu pengetahuan) sebagai
pengembangan aspek kognitif
*. Aspek Skill (keterampilan) sebagai pengembangan
aspek psikomotorik.
Dua point pertama, lebih sebagai perwujudan aspek
afektif peserta didik yang mengedepankan nilai-nilai spritual dan norma-norma
sosial sebagai pengembangan pendidikan yang berbasis karakter dan kepribadian
yang disinilah letak dominasi penekanan yang mustinya mendapat porsi lebih
banyak dan mendapat perhatian besar ketimbang dua point terakhir, yaitu aspek
sains dan sekill yang masing-masing sebagai perwujudan pengembangan aspek
kecerdasan kognitif dan kelincahan psikomotorik pada perkembangan pembelajaran
peserta didik.
Sedangkan urgensi pendidikan secara islami (tarbiyah
islamiyah) ialah terbentuknya suatu karakter dan kepribadian islami (syakhsiyah
islamiyah) yang ideal. Pribadi islami adalah pribadi yang menjadikan
nilai-nilai islam sebagai unsur-unsur pembentuk kepribadiannya, sehingga kelak
ia benar-benar dapat mencerminkan keislamannya. [05]
1.2. Pendidikan dalam terminologi Al-Quran dan
Hadits :
a. Tarbiyyah
(Pendidikan)
قال تعالى : ﴿... وَقُلْ رَبِّي
ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا ﴾ . (الإسراء : 24)
Artinya : “… dan ucapkanlah : "Wahai
Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik
aku waktu kecil”. (QS. Al-Isra 24). [06]
قال إبن كثير : وإنما يذكر
تعالى تربيةَ الوالدة وتعبها ومشقتها في سهرها ليلا ونهارًا، ليُذكّر الولد
بإحسانها المتقدم إليه. (انظر "تفسير القرآن العظيم" لإبن كثير ص
264 من الجزء السادسة)
Ibnu Katsier berkata : “Hanyasannya Allah SWT
mengingatkan kembali akan masa-masa pendidikan orang tua, pengasuhan dan
kepayahannya dalam keterjagaannya di sepanjang malam dan siang hari supaya -hal
itu- oleh si anak dapatlah diingatnya akan kebaikan-kebaikan yang telah dilalui
orang tua si anak”. [07]
Dari ayat ini secara benang merah dapatlah ditarik
simpulan :
Murabbi =>
pendidik/pengasuh => kedua orang tua.
Mutarobbiy => pelaku
didikan => anak-anak
Tarbiyyah =>
proses pendidikan/pengasuhan dari kedua orang tua kepada anak-anaknya.
Dalam ayat lain, Allah SWT berfirman :
قال تعالى : ﴿ قَالَ
أَلَمْ نُرَبِّكَ فِينَا وَلِيدًا وَلَبِثْتَ فِينَا مِنْ عُمُرِكَ
سِنِينَ ﴾ .{الشعراء : 18}
Artinya : “Berkata (Firaun kepada Musa) Bukankah
kami telah mengasuhmu diantara (keluarga) kami, waktu kamu masih kanak-kanak
dan kamu tinggal bersama kami beberapa tahun dari umurmu”. (QS. Asy-Syu’ara :
18). [08]
قال ابن كثير : ما أنت الذي ربيناه
فينا وفي بيتنا وعلى فراشنا, وأنعمنا عليه مدة من السنين <<>> انظر "تفسير ابن
كثير" ص (3/443)
Ibnu Katsier, ketika menafsirkan ayat ini ada
menyimpulkan makna tarbiyah yang tersirat dalam ayat : ”Bukankah engkaulah yang
telah kami didik dilingkungan kami dan keluarga kami dan dalam tanggung
jawab dan pengasuhanan kami, dan itu berlangsung selama beberapa
tahun”. [09]
b. Ta’liem (pengajaran)
قال تعالى : ﴿ وَعَلَّمَ
آدَمَ الأسْمَاءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلائِكَةِ فَقَالَ
أَنْبِئُونِي بِأَسْمَاءِ هَؤُلاءِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ ﴾. (البقرة 31)
Artinya : “Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama
(benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu
berfirman : ` Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu
memang orang-orang yang benar ` ” (QS. Al-Baqoroh 31(. [10]
قال السيوطي : بأن ألقى في قلبه
علمها . انظر "تفسير الجلالين" ص 37 من الجزء الأول
Proses yang terjadi dalam kaitan
pengajaran (ta’lim) sebagaimana tersurat dalam ayat di atas, Imam
As-Suyuthi berkomentar : ialah dengan cara bahwa Allah SWT sendiri
lah yang mentrasfer ilmu-Nya secara langsung ke lubuk hati Adam AS (berupa
instink). [11]
Dari ayat ini secara benang merah dapatlah ditarik
simpulan :
Mu`allim =>
pengajar => Allah SWT.
Muta`allim =>
pembelajar => Adam AS
Ta`liem =>
proses pengajaran dari Allah SWT kepada Adam AS.
c. Tadries (Pentela’ahan)
قال تعالى : ﴿ أَنْ تَقُولُوا إِنَّمَا أُنْزِلَ
الْكِتَابُ عَلَى طَائِفَتَيْنِ مِنْ قَبْلِنَا وَإِنْ كُنَّا عَنْ دِرَاسَتِهِمْ
لَغَافِلِينَ ﴾. (الأنعام :
156)
Artinya : “(Kami turunkan al-Quran itu) agar kamu
(tidak) mengatakan: "Bahwa kitab itu hanya diturunkan kepada dua
golongan [a] saja sebelum kami, dan sesungguhnya kami tidak
memperhatikan apa yang mereka baca[b]”. (QS. Al An’am : 156). [12]
[a]. Yakni orang-orang Yahudi dan
Nasrani.
[b]. Diturunkan Al Quran dalam bahasa Arab agar
orang musyrikin Mekah tidak dapat mengatakan bahwa mereka tidak mempunyai kitab
karena kitab yang diturunkan kepada golongan Yahudi dan Nasrani diturunkan
dalam bahasa yang tidak diketahui mereka. [13]
قال ابو جعفر الطبري :
و"دراستهم" إياه : تلاوته. وقد قيل : "دراستهم"،
اي الفقه. (انظر "تفسير الطبري" ص 546 من الجزء 6)
Berkenaan dengan firman-Nya (’An Diraasatihim) =>
“apa yang mereka tela’ah”, Imam Abu Ja’far Ath-Thobariy dalam Jami’ul-Bayaan
menafsirkan dengan “membacanya”. Dan kadang-kadanag dikatakan : “apa yang
mereka baca” maksudnya upaya pemahaman/paham (al-fiqh). [14]
Dari ayat ini secara benang merah dapatlah ditarik
simpulan :
Mudarris =>
pembaca/pentela’ah => orang-orang Yahudi dan Nasrani.
Mudarras => objek
yang dibaca => kitab-kitab yg diturunkan kepada mereka
Tadriies =>
proses pembacaan (tela’ah) mereka akan kitab-kitab-Nya.
d. Tazkiyyah (penyucian diri)
قال تعالى : ﴿ كَمَا
أَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولا مِنْكُمْ يَتْلُو عَلَيْكُمْ آيَاتِنَا
وَيُزَكِّيكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُمْ مَا
لَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ ﴾ . (البقرة : 151)
Artinya : “Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan
ni’mat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang
membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan
mengajarkan kepadamu Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta mengajarkan kepada kamu apa
yang belum kamu ketahui”. (QS. Al-Baqarah : 151). [15]
قال ابن كثير : (
"وَيُزَكِّيهم"، أي : يطهرهم من رذائل الأخلاق ودَنَس النفوس وأفعال
الجاهلية، ويخرجهم من الظلمات إلى النور. وهي التربية ) . انظر "تفسير ابن كثير" ص (1 / 464)
Ibnu Katsier dalam tafsirnya ketika
menginterpretasikan firman Allah “Wa Yuzakkiihim” => “Dan (Ia) mensucikan
kamu” sebagaimana dalam ayat, maksudnya
ialah mensucikan dan membersihkan diri dari akhlaq dan
sifat tercela, dari jiwa-jiwa kotor dan perilaku jahiliyah dengan cara
mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya. Proses itu oleh Ibnu Katsier
juga dipahami sebagai proses pendidikan/pelatihan
(tarbiyah/riyadhoh). [16]
Dari ayat ini secara benang merah dapatlah ditarik
simpulan :
Muzakkiy =>
yang mensucikan => Allah SWT.
Muzakka =>
yang disucikan => ummat manusia
Tazkiyyah => proses
penyucian yang berlangsung dari Allah SWT kepadaummat manusia.
d. Ta,diib (pendidikan)
رُوي أنّ النبيّ صلّى الله عليه
وسلّم قال : " أدَّبَنِي رَبِّيْ فَأحْسَنَ تَأْدِيْـبِيْ " . (رواه ابن
السمعاني في أدب الإملاء والاستملاء ص 1)
Artinya : di riwayatkan bahwasannya Nabi SAW
bersabda : “Tuhanku telah melatih adabku (menganugerahi adab), karena itu
Tuhanku jua lah yang membagusi/menghiasi adabku”. [17]
Hadits ini, sekalipun periwayatannya di nilai dhaif oleh para pakar hadits, diriwayatkan oleh Ibnu As-Sam`ani secara munqothi’ (terputus) jari jalur Ibnu Mas`ud -radiallhu ‘anhu- [18], dan tak satu pun periwayatannya ada ketsabitan pada silsilah sanadnya, tetapi oleh sebagian ulama hadits ini di klime memiliki makna yang sahih sebagaimana dikatakan oleh Syaihkul-Islam Ibnu Taymiyah dalam kitab “Majmu’ Fatawa” (kitab himpunan fatwa-fatwa Ibnu Taymiyah). [19]
وقال شيخ الاسلام أحمد ابن تيميّه :
" إنّ معناه صحيح ، ولكن لا يعرف به إسناد ثابت ". (انظر
"مجموع فتاوى" للشيخ الاسلام أحمد ابن تيميه ص 18/375)
قال البعض : وإن اقتصر شيخنا يعني
الحافظ ابن حجر على الحكم عليه بالغرابة في بعض فتاويه ، ولكن معناه صحيح ، وجزم
به ابن الأثير في خطبة النهاية . (انظر "كشف الخفاء" ص 1/70)
Namun demikian, Al-Hafidz Ibnu Hajar Al’Asqolaniy
merasa puas dengan hukum yang terkandung di dalamnya dengan membiaskan hadits
ini untuk disematkan dalam sebagian fatwa-fatwanya, tetapi makna hadits ini
sahih, yang dengan hadits ini pula, Ibnul-Atsier juga manetapkannya di khutbah
kitab An-Nihayah.
Dari ayat ini secara benang merah dapatlah ditarik
simpulan :
Mu,addib =>
pelatih => Allah SWT.
Muta,addib => yang
berlatih => Rasulullah SAW
Ta,diieb =>
proses pelatihan yang berlangsung dari Allah SWT kepada Muhammad, Rasulullah
SAW.Artinya : “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka mengabdi kepada-Ku”. (QS. al-Dzariyat : 56). [21]
Tujuan pendidikan yang utama dalam Islam menurut
Al-Qur’an adalah agar terbentuk insan-insan yang sadar akan tugas utamanya di
dunia ini sesuai dengan asal mula penciptaannya, yaitu sebagai ’Abid
(penghamba). Sehingga dalam melaksanakan proses pendidikan, baik dari sisi
pendidik (guru) atau anak didik (murid), harus didasari sebagai pengabdian
kepada Allah SWT semata.
Mengabdi dalam terminologi Islam sering diartikan dengan
beribadah. Ibadah bukan sekedar ketaatan dan ketundukan, tetapi ia adalah satu
bentuk ketundukan dan ketaatan yang mencapai puncaknya akibat adanya rasa
keagungan dalam jiwa seseorang terhadap siapa yang kepadanya ia mengabdi.
Ibadah juga merupakan dampak keyakinan bahwa pengabdian itu tertuju kepada yang
memiliki kekuasaan yang tidak terjangkau dan tidak terbatas.
Ibadah dalam pandangan ilmu Fiqh ada dua yaitu
ibadah mahdloh dan ibadah ghoiru mahdloh. Ibadah mahdloh adalah ibadah yang
telah ditentukan oleh Allah bentuk, kadar atau waktunya seperti halnya sholat,
zakat, puasa dan haji. Sedangkan ibadah ghoiru mahdloh adalah sebaliknya,
kurang lebihnya yaitu segala bentuk aktivitas manusia yang diniatkan untuk
memperoleh ridho dari Allah SWT.
Segala aktivitas pendidikan, belajar-mengajar dan
sebagainya adalah termasuk dalam kategori ibadah. Hal ini sesuai dengan sabda
Nabi SAW :
طَلَبُ العِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى
كُلِّ مُسْلِمٍ . (رواه الطبراني)
Artinya : “Menuntut ilmu adalah fardlu bagi
tiap-tiap orang-orang Islam laki-laki dan perempuan” (HR. Ibnu
Abdil-Bari). [23]
مَنْ خَرَجَ فِى طَلَبِ العِلْمِ
فَهُوَ فِى سَبِيْلِ اللهِ حَتَّى يَرْجِعَ . (رواه الترمذى)
Artinya : “Barangsiapa yang pergi untuk
menuntut ilmu, maka dia telah termasuk golongan sabilillah (orang yang
menegakkan agama Allah) hingga ia sampai pulang kembali”. (HR. Imam
Turmudzi). [24]
Pendidikan sebagai upaya perubahan dan perbaikan
diri yang meliputi keseluruhan hidup individu termasuk akal (aspek kodnitif),
hati dan rohani (aspek afektif), jasmani (aspek psikomotorik), serta akhlak,
dan tingkah laku (behavioral).
Melalui pendidikan, setiap potensi yang di
anugerahkan Allah SWT kepada seluruh ummat manusia haruslah sedapat mungkin
bisa dioptimalkan dan dimanfaatkan untuk menjalankan fungsi sebagai khalifah di
muka bumi. Sehingga pendidikan merupakan suatu proses yang sangat penting tidak
hanya dalam hal pengembangan kecerdasannya, namun juga untuk membawa peserta
didik pada tingkat manusiawi dan peradaban, terutama pada zaman modern dengan
berbagai kompleksitas yang ada.
Kemudian.Dalam penciptaaannya, manusia diciptakan
oleh Allah SWT dengan dengan dua fungsi, yaitu fungsi sebagai khalifah di muka
bumi dan fungsi manusia sebagai makhluk Allah yang memiliki kewajiban untuk
menyembah-Nya
juga ada dijelaskan oleh Allah SWT dalam firman-Nya
berikut ini : “… Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di
muka bumi’…” (QS Al-Baqarah : 30). [25]
Ketika Allah menjadikan manusia sebagai khalifah di
muka bumi dan dengannya Allah SWT mengamanahkan bumi beserta isi kehidupannya
kepada manusia, maka manusia merupakan wakil yang memiliki tugas sebagai
pemimpin dibumi Allah.
Imam Ghozali melukiskan tujuan pendidikan sesuai
dengan pandangan hidupnya dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, yaitu
sesuai dengan filsafatnya, yakni memberi petunjuk akhlak dan pembersihan jiwa
dengan maksud di balik itu membentuk individu-individu yang tertandai dengan sifat-sifat
utama dan takwa.
Dalam khazanah pemikiran pendidikan Islam, pada
umumnya para ulama berpendapat bahwa tujuan akhir pendidikan Islam
adalah ”untuk beribadah kepada Allah SWT”. Kalau dalam sistem pendidikan
nasional, pendidikan diarahkan untuk mengembangkan manusia seutuhnya, yaitu
manusia yang beriman dan bertaqwa, maka dalam konteks pendidikan Islam justru
harus lebih dari itu, dalam arti, pendidikan Islam bukan sekedar diarahkan
untuk mengembangkan manusia yang beriman dan bertaqwa, tetapi justru berusaha
mengembangkan manusia menjadi imam/pemimpin bagi orang beriman dan bertaqwa
(Waj’alna li al-muttaqina imaama).
Untuk memahami profil imam/pemimpin bagi orang yang
bertaqwa, maka kita perlu mengkaji makna takwa itu sendiri. Inti dari makna
takwa ada dua macam yaitu ;
1) itba’ lisyariatillah (mengikuti ajaran
Allah yang tertuang dalam al-Qur’an dan Hadits), … dan sekaligus
2) itiba’ lisunnatillah (mengikuti
aturan-aturan Allah yang berlalu di alam ini).
Seseorang yang dalam hidupnya selalu berusaha untuk
ber-ittiba’ lisunnatillah adalah orang-orang yang memiliki keluasan ilmu dan
kematangan profesionalisme sesuai dengan bidang keahliannya. Seorang imam bagi
orang-orang yang bertaqwa, artinya disamping dia sebagai orang yang memiliki
profil sebagai itba’ lisyaria’tillah sekaligus dia juga itba’ lisunnatillah,
juga mampu menjadi pemimpin, penggerak, pendorong, inovator dan teladan bagi
orang-orang yang bertaqwa.
Dengan demikian, sehingga pengarahan seorang
pendidik (guru) akan pembentukan suatu karakter dan kepribadian seorang muslim
yang ideal yang sesuai dan seirama dengan fitra manusia yang dianugerahkan
Tuhan kepadanya akan lebih mudah terbentuk terhadap anak-anak didik (murid).
Kepribadian muslim tersebut idealnya haruslah
tercermin dengan ciri-ciri sebagai berikut :
a) Lurus akidahnya (salimul akidah)
Hal terpenting bagi setiap muslim adalah kelurusan
akidahnya, karena kelurusan akidah inilah yang akan menentukan arah gerak
kemana seseorang akan melangkah sehingga secara langsung ia akan melaksanakan
syariat islam
b) Benar ibadahnya (shohilul ibadah)
Ibadah seorang muslim harus benar, yaitu senantiasa
niat ikhlas karena Allah semata dan berdasarkan syariat islam.
c) Kokoh akhlaknya (matinul khuluq)
Kita harus senantiasa menjaga akhlak kita, karena
akhlak ini yang akan menentukan arah kehidupan kita. Dan islam telah mengatur
setiap perilaku manusia dalam setiap aspek kehidupan ini.
2. Karakteristik Pendidikan Islam (Tarbiyah
Islamiyah)
Adapun karakteristik pendidikan islam
(tarbiyatul-islamiyah) ialah suatu karakter atau proses pendidikan dalam rangka
menuju dan atau membentuk pribadi peserta didik menjadi pribadi yang islami,
ialah pribadi yang menjadikan nilai-nilai islam sebagai unsur-unsur pembentuk
kepribadiannya, unsur-unsur pembentuk kepribadian ini bisa dilihat dengan
parameter sebagai berikut :
a) Integral (syumuliyah)
Kepribadian yang di bentuk adalah seseorang yang
memiliki kepribadian yang kokoh, tahan terhadap segala tantangan hidup dan
berguna bagi orang lain. Tarbiyah islamiyah akan menjaga keseimbangan
pertumbuhan potensi manusia (fsikomotorik/fisik, afektif/hati, kognitif/akal)
agar dapat berkembang dengan baik.
b) Gradual (mutadarrijah)
Proses pembentukan individu tidak bisa secara
instan, tetapi dengan cara gradual dan butuh proses yang panjang, sehingga
harus dilakukan secara bertahap sesuai fase-fase perkembangan dalam
kehidupannya.
c) Continue (istimrariyah)
Tarbiyah islamiyah harus senantiasa dilaksanakan
secara terus-menerus untuk memperbaiki setiap kekurangan yang ada pada setiap
individu dan menyempurnakan kelebihan yang dimilikinya.
d) Penuh kesungguhan (jiddiyah)
Kesungguhan ini harus senantiasa dimunculkan dan
dijaga, sebab proses tarbiyah akan selalu berjalan sepanjang masa bersama
segala rintangan dan hambatan yang akan selalu mengiringinya. Andaikan tarbiyah
islamiyah ini dilalui tanpa kesungguhan, niscaya setiap individu akan mudah
berguguran. Dan tujuan tarbiyah islamiyah tidak akan tercapai.
3. Langkah-langkah yang harus di tempuh oleh seorang
pendidik
Sebelumnya, ada beberapa point penting yang perlu
kita (para pendidik) ketahui dan pahami akan perubahan mind-set pada Kurikulum
sebelumnya, yaitu :
1) adanya perubahan mind-set;
2) adanya skill dan kompetensi guru; … dan
3) adanya sikap kepemimpinan, culture, dan menejmen
sekolah.
Implementasi nilai-nilai spiritual dan norma-norma
sosial pada penerapan Kurikulum ini, setidaknya harus dilandasi oleh 3 (tiga)
aspek yang harus di jadikan sebagai dasar-dasar pengembangannya, yaitu :
aqidah, syariah, dan akhlaq, yang ketiganya tersebut ialah merupakan
realisasi akan trilogi ajaran agama (tiga ajaran secara garis besar dalam rukun
agama) sebagaimana yang tersurat dan tersirat dalam riwayat sahih sahabat Abu
Huraerah -radiallahu ‘anhu- tentang iman, islam dan ihsan.
Dari ketiga dasar-dasar aspek tersebut, maka yang
lebih penting dari ketiganya adalah aspek Akhlaq. Betapa nilai-nilai akhlaq,
akan berpengaruh besar terhadap pola-pola paradigma (cara pandang) yang kelak
dimiliki bangsa Indonesia untuk di kemudian hari manakala aspek ini bisa di
kembangkan dan diimplementasikan secara baik dan bijak oleh pelaku kependidikan
secara integral dalam tatanan system pendidikan nasional.
Lebih jauh, ketiga aspek tersebut ada beberapa
acuan, misalnya pada level manusia sebagai perkembangan individu, ialah
bagaimana seharusnya seseorang bisa berlaku ihsan sebagai yang dipesankan Tuhan
dan RasulNya, kemudian bahwa nilai-nilai ihsan yang pelakunya disebut muhsin
(term hadits) ini bisa dikembangkan lagi, setidaknya ada tiga level, yaitu ;
pertama, bagaimana dia berlaku ihsan kepada
Tuhannya;
kedua, bagaimana dia berlaku ihsan kepada sesama; …
dan
ketiga, bagaimana dia berlaku ihsan kepada alam
semesta.
Point terakhir dari pengembangan sikap ihsan dalam
diri seorang manusia, yakni bagaimana seseorang dapat bersikap ihsan pada
lingkungan sekitar dan alam smesta, pada hewan dan binatang misalnya, bisa di
ilustrasikan secara singkat betapa nilai-nilai ini akan sangat terpuji sebagai
perwujudan sikap empati yang dikembangkan oleh seorang anak di seketika dia
harus menolong seekor anak burung yang terjatuh dari sarangnya yang jauh diatas
ketinggian pohon, ini menunjukan sikap terpuji yang semestinya kita miliki dan
kembangkan terus dalam pada kita menuju akhlaq muhsin sebagai tingkatan tertinggi
dalam trilogi ajaran agama setelah iman dan islam.
Allah SWT menegaskan dalam firman-Nya, al-Quran
al-Kariem pada surah al-Ahzab ayat 21, sebagai berikut :
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ
اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ
وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا . (الأحزاب :21)
Artinya : “Sesungguhnya telah ada pada (diri)
Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap
(rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”.
(QS. Al-Ahzab 21). [29]
Imam Ibnu Jarier Ath-Thobariy, mufassir generasi
awal memberi catatan khusus berkenaan dengan interpretasi ayat ini, begini
redaksinya ;
قال إبن جرير الطّبري : يقول لهم جلّ
ثناؤه : (لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُوْلِ اللهِ أسْوَةٌ حَسَنَةٌ) : أن تتأسوا به وتكونوا معه حيث كان، ولا تتخلَّفوا عنه (لِمَنْ كانَ يَرْجُو اللَّهَ) يقول : فإن من يرجو ثواب الله ورحمته في
الآخرة لا يرغب بنفسه، ولكنه تكون له به أُسوة في أن يكون معه حيث يكون هو.
(الطبري ص 235 من الجزء العشرين)
Bahwa Allah SWT, via ayat ini kembali menegaskan
kepada kita selaku ummatnya untuk senantiasa membangun/menteladani Rasulullah
SAW dan hendaknya kita terus ada bersamanya di setiap hal dan kondisi di
manapun berada dan jangan sekali-kali kita menentang atau menyelisihinya [30].
Lebih jauh, dalam tafsir itu, sang Imam -radiallahu ‘anhu- saat mengulas
firman-Nya “Bagi orang-orang yang mencari ridho Allah SWT” ini ditafsirkan
ialah sebagai “Sesungguhnya bagi orang-orang yang ada keinginan untuk mencari
ridho dan pahala-Nya semata-mata, menuju rahmat dan kasih sayang-Nya untuk
kelak di akhirat, maka tidaklah dia sendirian, tetapi paling tidak, bahwa dalam
diri Muhammad itu ada teladan yang baik (uswah) bagi seseorang selama orang
tersebut berusaha untuk senantiasa ada bersamanya”. [30]
Maka dari apa yang terungkap pada penafsiran
Ath-Thobariy sebagaimana diatas, setidaknya dapat penulis simpulkan bahwa
ternyata ada tiga poin penting sebagai visi dan misi atau langkah-langkah
strategis bagi seorang prndidik untuk senantiasa dikedepankan dalam pada ia
selaku sebagai seorang pendidik kepada peserta didiknya, yaitu :
1). Semata-mata ada tujuan kepada ridho Allah SWT,
mengharapkan rahmat sebagai kasih sayang-Nya dan juga mengharap pahala
dari-Nya;
2). Selalu berorientasi kedepan, fisioner jauh
kedepan mengiringi setiap perilaku dan kekaryaan seorang pendidik di masa-masa
mendatang sebagai bentuk keprihatinan positif yang tak lagi pragmatis baik
menyangkut diri pribadinya selaku pendidik maupun untuk ditularkan kepada
peserta didik; … dan
3). Senantiasa mengingat Allah SWT dalam segala
urusan baik pada kondisi takut (al-khouf), harapan (ar-roja), kesulitan
(asy-syiddah) dan kelapangan (ar-rukho). [31]
Dengan ketiga poin ini, seorang pendidik insya Allah
akan dapat di harapakan untuk senantiasa berpijak pada kebenaran dan bertindak
sesuai prosedur yang dikenakan kepada setiap pelaku pendidikan di republik ini.
Nilai-nilai pendidikan agama Islam dalam pemikiran Syekh
Muhammad Arsyad al-Banjari
a.
Tujuan Pendidikan Agama Islam adalah tujuan
pendidikan dunia akhirat
dan peningkatan kemasyarakatan, Arsyad memandang
bahwa tujuan
pendidikan untuk menjadikan manusia beriman, berilmu
dan beramal,
memberikan kesempatan pada setiap manusia dapat
melakukan aktivitas
dalam kehidupan secara aturan agama. Keseimbangan
pendidikan aqidah
dan pendidikan syariah yang sesuai dengan perintah
Allah Swt., yang
berimplikasi terhadap tingkah laku seseorang yang
tertanam dalam jiwa
sebagai bentuk kepribadian daan akhlak yang terpuji
dan tujuan pendidikan untuk membangun dan membina masyarakat ke taraf kehidupan
yang lebih
Pendidik dan Anak didik dalam pandangan Arsyad,
pendidik sebagai
apa yang benar dan yang salah. Sifat pendidik
menjadi teladan bagi anak
didik, dengan perkataan yang lemah lembut, rendah
hati, memiliki akhlak
yang menjadi teladan dan patuh melaksanakan syariat
agama Islam. Dan
anak didik adalah seseorang yang belajar dalam
proses pertumbuhan dan
perkembangan dalam diri anak, anak didik adalah
manusia yang dalam
dirinya memerlukan bimbingan pengetahuan dari pihak
lain untuk
menjalankan kehidupannya. Anak didik ditempatkan
dalam diri
seseorang yang ingin terus mengetahui tentang hal
yang belum dipelajari
dan mau bertanya untuk memperoleh ilmu.
pendidikan aqidah yang ditanamkan
oleh Arsyad dengan mengutamakan pendidikan aqidah
dalam
mengajarkan agama Islam, dengan menulis Risalah
Ushuluddin
Pendidikan aqidah yang ajarkannya adalah
semua komponen yang terdapat dalam
rukun iman, dimulai dari hakikat
iman itu sendiri, dan selanjutnya di jelaskan
mengenai iman kepada
Allah Swt. iman kepada Malaikat, iman kepada Kitab
Allah, iman
kepada Rasul, iman kepada Hari Akhir dan iman kepada
Qadla dan
Qadar. Penguatan nilai pendidikan yang diajarkan
Arsyad dalam
menyikapi takdir baik dan takdir buruk dengan tidak
melibatkan sebuah
prosesi membuang pesilihdan menyanggar,yakni
meyakini adanya
keterlibatan penentuan selain Allah dalam segala
kehendak-Nya
Nilai pendidikan syariah, dalam
pandangan Arsyad dengan mengikrarkan
dua kalimat syahadat, syarat bagi manusia melakukan
hukum Islam di
dunia. Nilai-nilai pendidikan syariah terlihat dalam
kepribadian Arsyad
yang taat dalam beribadah, menjalankan semua
perintah agama Islam
serta mengajarkan semua ilmu yang telah diperolehnya
dengan
mendakwahkan Islam dengan menyesuaikan dan
memperhatikan kondisi
dan situasi lingkungan masyarakatnya dimasa itu.
Arsyad menjelasakan pendidikan syariah kedalam semua
kompenen yang terdapat dalam rukun Islam, yakni
ibadah shalat, ibadah
zakat, ibadah puasa, ibadah haji dan syariah
mu’amalah yang mencakup
hubungan manusia dengan manusia secara individu
maupun sosial.
Nilai Pendidikan akhlak yang di ajarkan Arsyad
secara langsung melalui
kepribadiannya yang luhur, dengan sifat tawadhuyang
dimilikinya
melahirkan sifat-sifat yang baik, mampu menjadi
panutan dimasanya
hingga sekarang. Nilai pendidikan akhlak dalam pandangan
Arsyad di antaranya adalah Iman, Ihsan, Taqwa,
Ikhlas, Tawakkal Syukur, dan
Taubat.Dilanjutkan dengan akhlak kepada diri sendiri
dan orang lain yang
meliputi sifat dan sikap silaturrahmi, persaudaraan,
persamaanadil, baik
sangka, rendah hati, dapat dipercaya, hemat, tolong
menolong, berbakti
pada orang tua, peduli terhadap perempuan. Sikap
beliau terhadap
lingkungan dilihat pada lingkungan sosial masyarakat
dengan mengelola
lahan pertanian dan perkebunan yang dapat membantu
masyarakat lebih sejahtera, dan pembuatan irigasi yang mengairi pertanian
membantu
perkenomian masyarakat Banjar semakin meningkat,
sehingga
melahirkan sikap rasa kerjasama dan gotong royong di
lingkungan
masyarakat Banjar.
.
Upaya Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari menanamkan
nilai-nilai
pendidikan agama Islam
a.
Pendekatan yang dilakukan Arsyad dalam menanamkan
nilai-nilai
pendidikan agama Islam adalah :
1)
Pendekatan pengembangan rasional yang difokuskan
untuk
memberikan peranan akal, pendekatan ini dilakukan
dengan
memberikan materi secara logika yang dapat diterima
di masyarakat.
Pendekatan ini dilakukan Arsyad melalui perilaku
dalam dirinya yang
mencerminkan nil
ai
-nilai ilahiyah dan insaniyah.
2)
Pendekatan klarifikasi nilai
,
dengan membantu peserta didik untuk
menentukan nilai yang akan dipilihnya. Dimasa Arsyad
masyarakat
masih ada yang menerapakan nilai-nilai adat istiadat
yang telah ada dengan menyakini amalan orangt tatuha bahari (kegiatan orang tua
dahulu0 dan beliau memberikan pemahaman akan niali yang benar dan yang salah
3)pendekan kognitif dengan memfokuskan dan menekan
kan pada aspek kognitif dan perkembangan dari peserta didik upaya ini dilakukan
syekh muhammad arsyad dengan memberikan pengajaran materi –materi agama islam
agar memperkasya pengetahuan masyarakat di maa itu
4)Pendekatan perilaku sosial dalam pandangan Arsyad terlihat dalam
4)Pendekatan perilaku sosial dalam pandangan Arsyad terlihat dalam
kepribadiannya, beliau telah memberi dorongan pada
masyarakat
untuk hidup lebih produktif dan kreatif dimasa itu,
dengan
meningkatkan kesejahteraan kehidupan, keagamaan dan
perekonomian masyarakat.
5)
Pendekatan dengan penanaman nilai dalam pandangan
Arsyad terlihat
dalam menyebarkan agama Islam di Kalimantan dengan
penuh
ketekunan. Terutama penanaman nilai-nilai sosial
yang dibenarkan
dan diluruskan olehnya, karena nilai-nilai
masyarakat yan
g
belum
sesuai dengan ajaran Islam, dan dengan nilai sosial
yang benar dan
baik bagi masyarakat, seperti pengamalan ibadah
sehari-hari di
masyarakat Banjar.
b.
Strategi yang dilakukan Arsyad dalam menanamkan
nilai-nilai
pendidikan agama Islam yaitu :
1)
Strategi transiternal dalam pandangan Arsyad
terlihat dari pribadi
Arsyad, yang menjadi sumber nilai yang melekat dalam
pribadinya
sebagai guru, memberikan contoh teladan, dan sebagai
sumber
informasi utama di masyarakat tentang ilmu agama
yang telah
dipelajarinya di Haramain. Strategi ini melibatkan
peran guru dan
murid yang sama-sama aktif dari komunikasi verbal,
fisik dan juga
komunikasi bathin (kepribadian) antara keduanya
(guru dan murid).
Aktivitas strategi ini dijalankannya dengan cara
yaitu : a) Belajar dan
mengajar al-
Qur’an,
b) Integrasi antara penguasa dengan masyarakat,
c) Mencetak kader ulama dan umara, d) Melalui perkawinan,
e)
Melalui pendidikan.
2)
Strategi pengembangan ketrampilan yang dilakukan
Arsyad dalam
menanamkan nilai-nilai pendidikan agama Islam,
dengan cara
pengembangan keterampilan untuk mencapai kehidupan
pribadi yang
tentram dan kehidupan sosial yang kondusif (
skill development
),
terlihat dalam kepribadian dan penjelasannya yang
telah membantu
menyelesaikan permasalahan di masyarakat Banjar
dengan beberapa
cara, a) Fungsionalisasi iman dalam kehidupan
manusia, b) Pemurnian
aqidah, c) Mengenai pemakaman mayat, Arsyad
mewajibkan
penggunaan tabala atau peti mati, hukum ini
ditetapkan erat kaitannya
dengan kondisi alam daerah Kalimantan Selatan yang
berair, d)
Pelaksanaan zakat sebagai manifestasi dari keadilan
sosial.
c.
Metode yang dilakukan Arsyad dalam menanamkan
nilai-nilai
pendidikan agama Islam adalah :
1
Metode keteladanan, sifat yang dimiliki Arsyad dalam
dirinya
mencerminkan keteladanan yang patut di contoh dalam
pendidikan.
Terlihat dalam kehidupannya sejak kecil hingga telah
tiada dan
meninggalkan warisan ilmu yang memberikan cahaya di
masyarakat.
Diantaranya teladan cerdas dan bijaksana, ramah,
peduli dan kasih
sayang, tanggung jawab dan adil
2)
Metode nasehat sangat efektif dari lingkungan
keluarga, masyarakat,
lingkungan kerajaan yang turut aktif mengikutinya,
sehingga dala
m
waktu yang relatif singkat dakwah Syekh Muhammad
Arsyad
al
-
Banjari dapat menerobos kesegenap pelosok dan
berbagai penjuru
di
dunia.
3)
Metode berkarya (mengarang dan menulis) dengan
adanya kitab dan
risalah yang ditulis Arsyad, menjadi pegangan di
masyarakat masa itu
agar mempermudah membaca dan belajar dari
tulisannya, sehingga
p
emikiran beliau tersebut dapat dinikmati masyarakat
luas tidak hanya
secara lisan dan keteladanan dalam kepribadiannya.
Sedangkan metode pembelajaran yang dilakukan Arsyad
dalam semua
metode di atas yaitu metode sorogan, metode ceramah,
metode tanya
jawab, metode diskusi, metode cerita, metode dialog,
dan metode
hafalan.
. Pemikiran Al-Ghazali tentang Pendidikan
Pendidikan menurut Al-Ghazali merupakan proses memanusiakan manusia sejak masa kejadiannya sampai akhir hayatnya melalui berbagai ilmu pengetahuan yang disampaikan dalam bentuk pengajaran secara bertahap, dimana proses pengajaran itu menjadi tanggung jawab orang tua dan masyarakat menuju pendekatan diri kepada Allah sehingga menjadi manusia sempurna. Tujuan pendidikan menurut al-Gazali adalah membentuk manusia shalih. Manusia shalih ialah manusia yang mempunyai kemampuan melaksanakan kewajiban-kewajibannya kepada Allah dan kewajiban-kewajibannya kepada manusia sebagai hamba-Nya.
a. Subyek Didik
Bertolak dari pengertian pendidikan menurut Al-Ghazali, dapat dimengerti bahwa pendidikan merupakan alat bagi tercapainya suatu tujuan, sedangkan pendidikan itu sendiri dalam prosesnya juga memerlukan alat yakni pengajaran atau ta’lim.
1) Guru atau Pendidik
Munculnya kata pendidik tidak lepas dari kata “pendidikan”. Umumnya kata pendidikan dibedakan dari kata pengajaran. Menurut Prof. Dr. Muh. Said, pandangan semacam itu dipengaruhi oleh kebiasaan berpikir orang Barat, khususnya orang Belanda yang membedakan kata onderwijs (pengajar) dengan kata opveoding (pendidikan). Pola pikir semacam ini diikuti oleh tokoh-tokoh pendidikan di dunia Timur, termasuk guru-guru muslim seperti Muhammad Naquib al-Atas. Dalam bukunya The Concept of Education in Islam, beliau membedakan secara tajam antara kata “ta’dib” (pendidikan) dan “tarbiyah” atau “ta’lim” (pengajaran).
Al-Ghazali menyebutkan beberapa hal yang menjadi tugas dan tanggung jawab guru profesional, sebagai berikut:
a. Guru ialah orang tua kedua didepan murid.
b. Guru sebagai pewaris ilmu Nabi.
c. Guru sebagai penunujuk jalan dan pembimbing keagamaan murid.
d. Guru sebagai sentral vigur bagi murid.
e. Guru sebagai motivator bagi murid.
f. Guru sebagai seorang yang memahami tingkat perkembangan intelektual murid.
g. Guru sebagai teladan bagi muruid.
Menurut Al-Ghazali, pendidik adalah orang yang berusaha membimbing, meningkatkan, menyempurnakan, dan mensucikan hati sehingga menjadi dekat dengan Khaliq-Nya. Tugas ini didasarkan pada pandangan bahwa manusia merupakan makhluk yang mulia. Kesempurnaan manusia terletak pada kesucian hatinya. Untuk itu pendidik dalam perspektif Islam melaksanakan proses pendidikan hendaknya diarahkan pada aspek tazkiyah an-nafs.
Seorang pendidik dituntut memiliki beberapa sifat keutamaan yang menjadi kepribadiannya. Diantara sifat-sifat tersebut adalah :
1. Sabar dalam menanggapi pertanyaan murid.
2. Senantiasa bersifat kasih, tanpa pilih kasih (objektif).
3. Duduk dengan sopan, tidak riya atau pamer.
4. Tidak takabur, kecuali terhadap orang yang zalim dengan maksud mencegah tindakannya.
5. Bersikap tawadhu’ dalam setiap pertemuan ilmiah
6. Sikap dan pembicaraan hendaknya tertuju pada topik persoalan.
7. Memiliki sifat bersahabat terhadap semua murid-muridnya.
8. Menyantuni dan tidak membentak orang-orang yang bodoh,
9. Membimbing dan mendidik murid yang bodoh dengan cara yang sebaik-baiknya.
10. Berani berkata tidak tahu terhadap masalah yang anda persoalkan.
11. Menampilkan hujjah yang benar. Apabila ia berada dalam kondisi yang salah, ia bersedia merujuk kembali kepada rujukan yang benar.
2) Murid
Menurut al-Ghazali, Subjek didik yang selanjutnya yaitu murid. Beliau menguraikan hal-hal yang harus dipenuhi murid dalam proses belajar mengajar adalah sebagai berikut:
a. Belajar merupakan proses jiwa.
Pada hakikatnya, yang wajib belajar adalah murid sedangkan guru bertugas membimbingnya, berperan sebagai penunujuk jalan dalam belajar. Seorang siswa yang belajar tanpa bimbingan atau arahan guru, apa lagi yang dipelajari adalah berbagai disiplin ilmu, bisa jadi ia tidak akan memperoleh ilmu itu, mengingat psikisnya terutama yang menyangkut intelektualnya harus sesuai dengan materi keilmuan yang hendak dikuasai. Kalaupun ia dapat memperoleh ilmu itu, kemungkinan kurang bermanfaat bagi dirinya. Bagaimanapun juga, guru sangat besar peranannya dalam proses pendidikan. Seperti yang dikatakan oleh Ali bin Abi Thalib, bahwa sarat keberhasilan seorang siswa dalam belajar adalah adanya petunjuk dari seorang guru.
b. Belajar menuntut konsentrasi
Sesuai dengan pandangan al-Ghazali tentang tujuan pendidikan yakni mendekatkan diri pada Allah, dan itu tidak akan terwujud kecuali dengan mensucikan jiwa serta melaksanakan ibadah kepada-Nya, beliau menyarankan agar murid memusatkan konsentrasinya terhadap ilmu yang sedang dikaji, ia harus mengurangi ketergantungannya kepada masalah keduniaan.
c. Belajar harus didasari sikap tawadhu’
Pandangan al-Ghazali yang sufi senantiasa mewarnai pendapat yang dikemukakannya. Berkaitan dengan tugas murid dalam kegiatan belajar mengajar, al-Ghazali menasehatkan agar murid mempunyai sikap tawadhu’ dan merendahkan diri terhadap ilmu dan guru, sebagai perantara diterimanya ilmu itu.
d. Belajar bertukar pendapat hendaklah telah mantap pengetahuan dasarnya
Al-Ghazali menasihatkan kepada murid agar tidak melibatkan diri dalam perdebatan atau diskusi tentang segala ilmu pengetahuan baik yang bersifat keduniaan maupun keakhiratan sebelum terlebih dahulu mengkaji dan memperkokoh pandangan dasar ilmu-ilmu itu. Disinilah tampak pentingnya seorang guru untuk menunujukan cara belajar bagi murid. Guru yang tidak dapat dipegangi pendapatnya, apalagi hanya menukil pendapat-pendapat orang lain tanpa mengemukakan kelebihan dan kekurangannya masing-masing, ia tidak patut dijadikan pembimbing dan penasihat. Jika murid tidak mengetahui pengetahuan dasar tentang segala perdebatan maka ia akan jadi orang fanatik dalam masalah-masalah furu’ sehingga sering menyalahkan orang lain. Tetapi lain halnya dengan murid yang mempunyai pengetahuan dasar penyebab perbedaan pendapat dan perselisihan paham tersebut maka ia tidak akan fanatisme terhadap madzhab atau aliran tertentu, tidak menyalahkan orang lain, apalagi sampai mengkafirkan dan sebagainya.
e. Harus mengetahui nilai dan tujuan pengetahuan yang dipelajari
Pandangan al-Ghazali terhadap ilmu mendasari pemikirannya mengenai bagaimana langkah terbaik dalam mengkaji suatu ilmu pengetahuan. Ilmu menurut al-Ghazali mempunyai nilai yang bebeda-beda. Begitu pula tujuannya, ada yang sangat penting, kurang penting dan tidak penting.
f. Belajar secara bertahap
Sesuai dengan pandangannya terhadap manusia bahwa ia dapat menerima ilmu pengetahuan dengan baik jika prosesnya sesuai dengan tingkat perkembangan intelektualnya, dan pandangannya bahwa ilmu itu dalam berbagai macamnya saling terkait dan saling mendukung antara satu dengan yang lainnya. Al-Ghazali menegaskan bahwa pelajar yang ingin menguasai ilmu dengan baik serta mendalam haruslah belajar secara bertahap.
g. Tujuan belajar untuk berakhlakul karimah
Tujuan pendidikan menurut al-Ghazali ialah mendekatkan diri kepada Allah. Dengan dilandasi pandangan terhadap manusia bahwa pekerjaannya yang paling mulia ialah mendidik, menjadi guru, al-Ghazali menasihatkan agar murid dalam belajar bertujuan menjadi ilmuan yang sanggup, menyebarluaskan ilmunya demi nilai-nilai kemanusiaan. Seorang murid menurut al-Ghazali haruslah menjadi calon guru, minimal guru bagi dirinya sendiri dengan berakhlakul karimah dan keluarganya dengan mrenjadi uswatun khasanah aatu teladan.
Dalam kaitannya dengan peserta didik, lebih lanjut al-Ghazali menjelaskan bahwa mereka adalah makhluk yang telah dibekali potensi atau fitrah untuk beriman kepada Allah SWT. Fitrah itu sengaja disiapkan oleh Allah SWT sesuai dengan kejadian manusia, cocok dengan tabi’at dasarnya yang memang cenderung kepada agama tauhid (Islam). Untuk itu tugas seorang pendidik adalah membimbing dan mengarahkan fitrah tersebut agar ia tumbuh dan berkembang sesuai dengan tujuan penciptaan-Nya.
Menurut al-Ghazali dalam menuntut ilmu, peserta didik memiliki tugas dan kewajiban, yaitu:
1. Mendahulukan kesucian jiwa.
2. Bersedia merantau untuk mencari ilmu pengetahuan.
3. Jangan menyombongkan ilmunya dan menentang guru.
4. Mengetahui kedudukan ilmu pengetahuan.
Peserta didik hendaknya memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1) Belajar dengan niat ibadah dalam rangka taqarrub ila Allah, sehingga dalam kehidupan sehari-hari peserta didik senantiasa mensucikan jiwanya dengan akhlaq al-karimah (Q.S. Al-An’am: 162, Adz Dzaariyaat:56).
2) Mengurangi kecenderungan pada duniawi dibandingkan masalah ukhrawi (Q.S. Adh Dhuhaa:4).
3) Bersikap tawadhu’ (rendah hati)
4) Menjaga pikiran & pertentangan yang timbul dari berbagai aliran.
5) Mempelajari ilmu-ilmu yang terpuji, untuk ukhrawi dan duniawi.
6) Belajar dengan bertahap atau berjenjang, dimulai pelajaran yang mudah (konkret) menuju pelajaran yang sukar (abstrak) atau dari ilmu fardlu ‘ain menuju ilmu fardlu kifayah (QS Al-Fath:9).
7) Belajar ilmu sampai tuntas untuk kemudian beralih pada ilmu yang lainnya, sehingga anak didik memiliki spesifikasi ilmu pengetahuan secara mendalam.
8) Memprioritaskan ilmu diniyah sebelum memasuki ilmu duniawi.
9) Mengenal nilai-nilai pragmatis bagi suatu ilmu pengetahuan, yaitu ilmu yang dapat bermanfaat yang dapat membahagiakan, mensejahterakan serta memberi keselamatan hidup dunia akhirat.
b. Kurikulum Pendidikan menurut Al-Ghazali
Kurikulum, dalam pengertian sederhana berarti mata pelajaran yang diberikan kepada anak didik untuk menanamkan sejumlah pengetahuan agar mampu beradaptasi dengan lingkungannya. Pandangan al-Ghazali tentang kurikulum dapat diketahui berdasarkan pandangannya dalam membagi ilmu pengetahuan menjadi tiga kategori besar, yaitu:
1. Ilmu yang tercela yang tidak pantas dipelajari (al-mazmum), seperti sihir, nujum, ramalan, dan lain sebagainya.
2. Ilmu yang terpuji yang pantas untuk dipelajari (al-mahmud) yang meliputi ilmu yang fardlu ‘ain untuk dipelajari dan ilmu yang hanya fardlu kifayah untuk dipelajari.
3. Ilmu terpuji dalam kadar tertentu atau sedikit, dan tercela jika mempelajarinya secara mendalam, seperti ilmu logika, filsafat, ilahiyyat dan lain-lain.
Dari ketiga kelompok ilmu tersebut, Al-Ghazali membagi lagi menjadi dua bagian yang dilihat dari kepentingannya, yaitu:
1) Ilmu fardhu, harus diketahui oleh semua Muslim, yaitu ilmu agama.
2) Ilmu fardhu kifayah yang dipelajari oleh sebagian Muslim untuk memudahkan urusan duniawi, seperti: ilmu hitung, kedokteran, teknik, ilmu pertanian dan industri.
Menurut Abudin Nata, yang dimaksud dari kategorisasi ketiga ilmu tersebut adalah sebagai berikut:
1. Ilmu-ilmu tercela. Yang termasuk ilmu ini dalam pandangan al-Ghazali ialah ilmu yang tidak ada manfaatnya baik dunia maupun akhirat dan terkadang hanya membawa mudharat bagi orang yang memilikinya, maupun bagi orang lain. Ilmu sihir misalnya dapat memisahkan persahabatan antar sesama manusia, menimbulkan dendam, permusuhan dan kejahatan.
2. Ilmu-ilmu terpuji. Al-Ghazali menjelaskan bahwa ilmu ini ialah ilmu-ilmu yang erat kaitannya dengan peribadatan dan macam-macamnya. Ia membagi jenis ilmu ini menjadi dua bagian, yaitu: yang fardlu ‘ain, yaitu ilmu agama dengan segala jenisnya, mulai dari kitab Allah, ibadat pokok, hingga ilmu syari’at yang dengannya ia akan paham apa yang harus ditinggalkan dan apa yang harus dilakukan. Sedangkan yang fardlu kifayah adalah semua ilmu yang tidak mungkin diabaikan untuk kelancaran semua urusan, seperti ilmu kedokteran, ilmu hitung dan lain-lain. Menurutnya, jika tidak ada yang mempelajari ilmu itu maka berdosalah seluruhnya, tetapi jika telah ada seseorang yang menguasainya dan dapat mempraktekkannya maka tuntutan wajibnyapun telah lepas dari yang lain.
3. Ilmu-ilmu yang terpuji dalam kadar tertentu atau sedikit, dan tercela jika mempelajarinya secara mendalam, karena dengan mempelajarinya dapat menyebabkan terjadinya kesemrawutan dan kekacauan antara keyakinan dan keraguan yang dapat membawa pada kekafiran, seperti ilmu filsafat. Ilmu ini tidaklah wajib bagi setiap orang, karena menurut tabiatnya tidak semua orang dapat mempelajari ilmu itu dengan baik. Ia berpendapat bahwa orang yang mempelajari ilmu tersebut bagai anak kecil yang masih menyusu, dan akan sakit apabila diberikan makanan yang bermacam-macam yang belum dapat dicerna oleh perutnya.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa pada prinsipnya, al-Ghazali lebih menekankan pada muatan ilmu-ilmu keagamaan dengan segala cabangnya dan juga ilmu-ilmu yang erat kaitannya dengan kemaslahatan manusia pada umumnya. Sehingga menurut al-Ghazali, selayaknya seorang pelajar pemula mempelajari ilmu agama asasi terlebih dahulu sebelum mempelajari ilmu furu’. Ilmu kedokteran, matematika dan ilmu terapan lain harus mengalah pada ilmu agama dalam pandangannya, karena ilmu agama meliputi keselamatan di akhirat, sedangkan yang terapan hanya untuk keselamatan di dunia. Ia juga lebih menekankan pada segi pemanfaatan ilmu pengetahuan dengan berdasarkan pada tujuan iman dan taqarrub pada Allah SWT. Hal ini menjadi wajar dengan melihat latar belakang kehidupan beliau sebagai seorang sufi.
Dalam menyusun kurikulum pelajaran, Al-Ghazali memberi perhatian khusus pada ilmu-ilmu agama dan etika sebagaimana yang dilakukannya terhadap ilmu-ilmu yang sangat bermanfaat bagi kehidupan masyarakat.
Kurikulum menurut Al-Ghazali didasarkan pada dua kecenderungan sebagai berikut:
1) Kecenderungan agama dan tasawuf. Kecenderungan ini membuat Al-Ghazali menempatkan ilmu-ilmu agama di atas segalanya dan memandangnya sebagai alat untuk menyucikan diri dan membersihkannya dari pengaruh kehidupan dunia.
2) Kecenderungan pragmatis. Kecenderungan ini tampak dalam karya tulisnya. Al-Ghazali beberapa kali mengulangi penilaian terhadap ilmu berdasarkan manfaatnya bagi manusia, baik kehidupan di dunia maupun akhirat. Ia menjelaskan bahwa ilmu yang tidak bermanfaat bagi manusia merupakan ilmu yang tak bernilai. Bagi Al-Ghazali, setiap ilmu harus dilihat dari kegunaannya dalam bentuk amaliah.
Manusia adalah subyek pendidikan, sedangkan pendidikan itu sangat penting bagi manusia, maka dalam pendidikan itu harus diperhatikan tentang kurikulumnya. Kurikulum pendidikan menurut al-Ghazali adalah materi keilmuan yang disampaikan kepada murid hendaknya secara berurutan, mulai dari hafalan dengan baik, mengerti, memahami, meyakini, dan membenarkan terhadap apa yang diterimanya sebagai pengetahuan tanpa memerlukan bukti atau dalil.
c. Metode Pendidikan
Untuk melakukan pentahapan pada kurikulum tersebut, lahirlah metode khusus pendidikan, menurut al-Ghazali yaitu :
1) Metode khusus pendidikan agama
Metodik pendidikan agama islam menurut Al-Ghozali, pada prinsipnya dimulai dengan hafalan dan pemahaman kemudian dilanjutkan dengan keyakinan dan pembenaran, setelah itu penegakan dalil-dalil dan keterangan yang menunjang penguatan akidah. Yang demikian inni merupakan pantulan dari sikap hidupnya yang shufi dan tekun beribdah. Dari pengarangan pribadinya Al-Ghozali menemukan cara untuk mencegah manusia dari keraguan terhadap persoalan agama ialah adanya keimanan terhadap Allah, menerima dengan jiwa yang jernih dan akidah yang pasti pada usia sedini mungkin. Kemudian menkokohkannya dengan argumentasi yang didasarkan atas pengkajian dan penafsiran Al- Qur’an dan Hadist secara mendalam disertai dengan tekun beribadah, bukan melalui Ilmu kalam atau lainnya yang bersumber pada akal.
2) Metode khusus pendidikan ahklak
Akhlak adalah suatu sikap yang mengakar dalam jiwa yang darinya lahir berbagai perbuatan dengan mudah dan gampang, tanpa perlu pemikiran dan pertimbangan. Ada akhlak terpuji dan tercela.
Dengan adanya metode tersebut, maka al-Ghazali menyimpulkan bahwa pendidikan itu harus mengarah kepada pembentukan akhlak mulia, sehingga Ia menjadikan al-Qur’an sebagai kurikulum dasar dalam pendidikan. Ia juga menyimpulkan bahwa tujuan akhir pendidikan dan pembinaan itu ada 2 yaitu :
a) Kesempurnaan yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah.
b) Kesempurnaan yang bermuara pada kebahagiaan dunia dan akhirat.
d. Evaluasi Pendidikan Menurut Al Ghazali
Menurut Al-Ghazali, evaluasi pendidikan berarti usaha memikirkan, membandingkan, memprediksi (memperkirakannya), menimbang, mengukur, dan menghitung segala aktifitas yang telah berlangsung dalam proses pendidikan, untuk meningkatkan usaha dan kreativitasnya sehingga dapat seefektif dan seefisien mungkin dalam mencapai tujuan yang lebih baik diwaktu yang akan datang.
Adapun subyek evaluasi pendidikan adalah orang yang terikat dalam proses kependidikan meliputi : pimpinan, subyek didik, wali murid, dan seluruh tenaga adminstrasi. Dan yang menjadi evaluasi pendidikan adalah semua bentuk aktivitas yang terkait dengan tugas tanggung jawabnya masing-masing dalam proses kependidikan.
Tujuan evaluasi pendidikan ialah mengontrol efektifitas dan efisiensi usaha dan sarana, mengetahui segi-segi yang mendukung dan menghambat jalannya proses kependidikan menuju tujuan. Segi-segi yang menghambat diperbaiki atau diganti dengan usaha atau sarana lain yang lebih menguntungkan.
KESIMPULAN
Al Ghazali atau Muhammad bin Muhammad bin Muhamad
bin Ahmad Al-Ghazali merupakan tokoh pendidikan Islam yang sudah tak diragukan
lagi kemampuannya dalam bidang kependidikan Islam. Menurutnya, pendidikan
merupakan proses memanusiakan manusia sampai akhir hayatnya menuju pendekatan
diri kepada Allah sehingga menjadi manusia sempurna. Tujuan pendidikan menurut
al-Gazali adalah membentuk manusia shalih.
Menurut Al-Ghazali, subjek pendidikan terdapat dua kategori, yaitu Pendidik dan Murid. Sedangkan dalam menyusun kurikulum pelajaran, Al-Ghazali memberi perhatian khusus pada ilmu-ilmu agama dan etika serta didasarkan pada dua kecenderungan: kecenderungan agama dan tasawuf; dan kecenderungan pragmatis.
Sementara metode yang digunakan yaitu dimulai dengan hafalan dan pemahaman kemudian dilanjutkan dengan keyakinan dan pembenaran. Pendidikan apapun, menurut Al-Ghozali harus mengarah kepada pembentukan akhlak yang mulia. Evaluasi menurutnya yaitu usaha menimbang segala aktifitas yang telah berlangsung dalam proses pendidikan.
Adapun subyek evaluasi pendidikan meliputi : pimpinan, subyek didik, wali murid, dan seluruh tenaga adminstrasi. Dan yang menjadi evaluasi pendidikan adalah semua bentuk aktivitas yang terkait dengan tugas tanggung jawabnya masing-masing dalam proses kependidikan. Tujuan evaluasi pendidikan ialah mengontrol efektifitas dan efisiensi usaha dan sarana, mengetahui segi-segi yang mendukung dan menghambat jalannya proses kependidikan menuju tujuan
Menurut Al-Ghazali, subjek pendidikan terdapat dua kategori, yaitu Pendidik dan Murid. Sedangkan dalam menyusun kurikulum pelajaran, Al-Ghazali memberi perhatian khusus pada ilmu-ilmu agama dan etika serta didasarkan pada dua kecenderungan: kecenderungan agama dan tasawuf; dan kecenderungan pragmatis.
Sementara metode yang digunakan yaitu dimulai dengan hafalan dan pemahaman kemudian dilanjutkan dengan keyakinan dan pembenaran. Pendidikan apapun, menurut Al-Ghozali harus mengarah kepada pembentukan akhlak yang mulia. Evaluasi menurutnya yaitu usaha menimbang segala aktifitas yang telah berlangsung dalam proses pendidikan.
Adapun subyek evaluasi pendidikan meliputi : pimpinan, subyek didik, wali murid, dan seluruh tenaga adminstrasi. Dan yang menjadi evaluasi pendidikan adalah semua bentuk aktivitas yang terkait dengan tugas tanggung jawabnya masing-masing dalam proses kependidikan. Tujuan evaluasi pendidikan ialah mengontrol efektifitas dan efisiensi usaha dan sarana, mengetahui segi-segi yang mendukung dan menghambat jalannya proses kependidikan menuju tujuan
. Metode
pendidikan
Metode pendidikan diklasifikasikan al-ghazali menjadi
dua bagian :
Pertama, metode khusus pendidikan Agama, metode
khusus pendidikan agama ini memiliki orientasi terhadap pengetahuan aqidah
karena pendidikan agama pada realitasnya lebih sukar dibandingkan dengan
pendidikan lainnya, karena pendidikan agama menyangkut problematika intuitif
dan lebih menitikberatkan kepada pembentukan personality peserta didik. Dengan
demikian pendidikan akal yang kohesif pada diri peserta didik selama dalam
proses pendidikan akan dapat dikendalikan, sehingga bukan hanya mementingkan
rasio, rasa, berpikir sebenar-benarnya tanpa dzikir. Tetapi peserta didik yang
memiliki kepribadian yang kamil. Dengan demikian, agama bagi peserta didik
menjadi pembimbing akal. Dari sinilah kemudian letak kesempurnaan hidup manusia
dalam keseimbangan.
Kedua, metode khusus pendidikan Akhlak, Al-ghazali
mengungkapkan :” Sebagaimana dokter, jikalau memberikan pasiennya dengan satu
macam obat saja, niscaya akan membunuh kebanyakan orang sakit, begitupun guru,
jikalau menunjukkan jalan kepada murid dengan satu macam saja dari latihan,
niscaya membinasakan hati mereka. Akan tetapi seyogyanyalah memperhatikan
tentang penyakit murid, tentang keadaan umurnya, sifat tubuhnya dan latihan apa
yang disanggupimya. Berdasarkan yang demikian itu, dibina latihan”. Dan
berikutnya jika guru melihat murid yang sombong, keras kepala dan congkak maka
suruhlah ia ke pasaruntuk meminta-minta. Sesungguhnya sifat bangga diri egois
tidak akan hancur selain dengan sifat mandiri.
Dari keterangan tersebut, al-ghazali menegaskan
bahwa untuk membuat diagnosis dan melakukan perbaikan akhlak tercela anak
adalah dengan menyuruhnya melakukan
perbuatan sebaliknya. Layaknya bila badan sakit obatnya ialah dengan cara
menurunkan panas atau obatnya ialah membuang penyakiy itu.
BAB III
1. Simpulan
Akhirnya, dapat ditarik beberapa simpulan dan point
penting sebagai berikut, -yang juga mengadopsi dari hasil rumusan Badan
Penelitian dan Pengembangan di lingkungan Kementrian Agama Republik Indonesia
(Balitbang Kemenag RI)- :
1) Bahwa kurikulum pendidikan yang berlaku pada
suatu masa sebenarnya telah berusaha mengadopsi semua kebutuhan belajar siswa.
Kurikulum pendidikan senantiasa dilakukan penyempurnaan sesuai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dalam masyarakat dan melestarikan nilai-nilai
budaya bangsa ;
2) Suatu kurikulum harus dirancang secara
komprehensif, integratif, berimbang antara berbagai tujuan pendidikan, dan
adaptif serta bervisi kedepan, dan bukan semata-mata karena kepentingan politis
;
3) Kompetensi dapat diartikan sebagai
kebiasaan berpikir dan bersikap sesuai dengan konteks, dan yang diharapkan dari
siswa sebagai hasil pendidikan adalah melakukan sesuatu selain secara
kontekstual tetapi juga secara kreatif yang akan memperkaya khasanah budaya
bangsa ;
4) Diperlukan kesiapan dan dukungan baik dari guru,
siswa, orang tua dan masyarakat dan pemerintah dalam mewujudkan tujuan-tujuan
pendidikan dalam sistem persekolahan ;
5) Era globalisasi yang ditandai dengan persaingan
bebas antar-negara harus diimbangi dengan penerapan kurikulum yang menekankan
pentingnya sikap kemandirian bangsa dalam membangun peradaban bangsa
sendiri. [32]
SARAN
1.
1.
Berdasarkan penelitian ini penulis menganggap bahwa
nilai-nilai pendidikan
agama Islam dalam pemikiran Syekh Muhammad Arsyad
al-Banjari
merupakan nilai-nilai pendidikan yang sangat
berperan dan berpengaruh
dalam sejarah perkembangan pendidikan Islam di
Indonesia dan dapat di
gunakan dalam implikasikan dalam pendidikan Islam
akademik dimasa
sekarang.
2.
Kepada peneliti/ahli pendidikan Islam, perlunya
perhatian lebih terhadap
perkembangan sejarah pendidikan Islam di Indonesia.
Terutama sejarah
pendidikan Islam di Kalimantan Selatan, dan
penelitian lebih lanjut dalam
pemikiran Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari tentang
pendidikan agama
Islam yang berguna bagi pendidikan dan masyarakat
dalam memahami
nilai-nilai agama Islam.
3.
Kepada praktisi pendidikan maupun guru PAI di
sekolah umum dan
madrasah, perlu mendukung penuh dalam pelaksanaan
pelajaran agama
disekolah, terutama dalam menanamkan nilai-nilai
agama disetia
p dimensi
pembelajaran, dengan pengarahan dan pembinaan
terhadap peserta didik
dalam
setiap proses pembelajaran baik di lingkungan
sekolah maupun di
luar lingkungan sekolah.
4.
Kepada pelajar dan mahasiswa, perlu pengayaan
pemahaman akan nilai-
nilai pendidikan agama Islam dalam ruang lingkup
ajaran agama Islam,
yakni aqidah, syariah dan akhlak, sehingga pelajar
dan mahasiswa tidak
hanya mengetahui dan memahami akan nilai-nilai
tersebut, melainkan telah
mampu mengimplementasikan dalam kehidupa
Terakhir, sebelum makalah ini, penulis serahkan
kepada dosen pengampu mata kuliah Belajar dan pembelajaran Dr.H. Jarkawi M.M.Pd
sebagai tugas mandiri,ada baiknya jika saya mengutip firman Allah SWT untuk
sebagai pengingat pribadi penulis dan semua pendidik di manapun berada akan
betapa pentingnya nilai-nilai ajaran islam untuk kita terapkan dalam mengiringi
perjalanan system pendidikan nasional kita, karena itu, Allah swt kembali
mengingatkan kita dalam firman-Nya, al-Quran al-Kariiem pada surat At-Taubat
ayat 122, demikian ayat itu berbunyi ;
قال تعالى "... فَلَوْلاَ
نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ
وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
". (التوبة : 122)
Artinya : “… Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap
golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka
tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah
kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”. (QS. At-Taubah
122). [33]
Hadza ,. wAllahu A’lamu Bish-Showaab.
اللّـهمّ إنّي استودعتُك ما
علّمتَنِيه فاردُده إليّ عندَ حاجَتي إليه ولا تَنسنِيه يا رَبّ العالمين ., آمين
Ya Allah, ham titipkan lagi pada-Mu ilmu yang telah
Engkau ajarkan ini pada hamba ini, maka kembalikan lagi ilmu itu hamba saat
mana hamba membutuhkannya, dan -aku mohon- jangan Engkau lalaikan diri hamba
ini akan ilmu-Mu, wahai Penguasa alam semesta.
2. Daftar Pustaka :
Al-Quran Al-Kariem
Tafsir Freewer Al-Quran digital versi
Cet. Departemen Agama RI.
Tafsir Al-Mishbah , M. Quraish Shihab. juz
XIII, (mengutip dari Syeh Muhammad Abduh - Guru besar di Al-Azhar
University, Mesir).
Tafsir Al-Quran Al-‘Adziem, Imam Ibnu Katsier,
(Maktabah Syamilah)
Tafsir Al-Jalilain, Imam Jalaluddin As-Suyuthi.
(Maktabah Syamilah).
Jami’ul-Bayaan Fii Ta,wiilil-Quran, Imam
Ath-Thobariy, (Maktabah Syamilah)
<<>>
Al-Jami’ush-Shahis , Imam Bukhari . (Maktabah
Syamilah)
Al-Khasyiyah , Bab “Al-Imla wal-Istimla”, Ibnu
As-Sam’ani, page 1.
As-Sunan , Imam Turmudzi. (Maktabah Syamilah).
As-Sunan , Ibnu Majah. (Maktabah Syamilah).
Al-Mu’jam Ash-Shoghier , Imam Ath-Thabraniy.
(Maktabah Syamilah).
Al-Mu’jam Al-Kabier , Imam Ath-Thabraniy.
(Maktabah Syamilah).
Syu’bul-’Iman , Imam Al-Baehaqiy. (Maktabah
Syamilah).
<<>>
Kasyful-Khifa , page I/70. (Maktabah Syamilah)
Majmu’ Fatawa, Ibnu Taymiyyah , page XVIII/375
Pendidikan Islam ; Tradisi dan Modernisasi Menuju
Milenium Baru, Azyumardi Azra, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 2002, hal.33
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) - Offline.
Versi 1.5.1 “Luring”
Kamus Digital Englis-Indonesia. Versi 2.03
http://balitbangdiklat.kemenag.go.id/,
tertanggal Minggu, 22 Desember 2013
Imarah, Muhammad. 45 Tokoh Pengukir Sejarah. Pajang:
Era Intermedia, 2007.
Nata, Abuddin. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam: Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000. hal. 28.
Nizar, Samsul. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat Press, 2002.
Rusn, Abidin Ibn. Pemikiran Al-Ghazali tentang Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.
Sulaiman, Fathiyah Hasan. Aliran-Aliran Dalam Pendidikan Studi Tentang Aliran Pendidikan Menurut Al-Ghazali. Semarang: Dina Utama, cet I, 1993.
Zainuddin dkk.. Seluk Beluk Pendidikan dari Al-Ghazali. Jakarta: Bumi Aksara, 1991
Nata, Abuddin. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam: Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000. hal. 28.
Nizar, Samsul. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat Press, 2002.
Rusn, Abidin Ibn. Pemikiran Al-Ghazali tentang Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.
Sulaiman, Fathiyah Hasan. Aliran-Aliran Dalam Pendidikan Studi Tentang Aliran Pendidikan Menurut Al-Ghazali. Semarang: Dina Utama, cet I, 1993.
Zainuddin dkk.. Seluk Beluk Pendidikan dari Al-Ghazali. Jakarta: Bumi Aksara, 1991
Syeikh Muhammad Arsyad Al-Banjari, Matahari
Islam,
Suwarna, et.
all, Pengajaran Mikro, Pengajaran Mikro, (Yogyakarta : Tiara Wacana, 2006) hal.
106-114.
Ismail SM, Strategi
Pembelajaran Agama Islam Berbasis P.A.I.K.E.M, (Semarang : RaSAIL Group, 2009)
hal. 26-29
Khoiron, Rosyadi, Pendidikan Profetik Profetik,
(Yohyakarta : Pustaka Pelajar, 2004) hal. 210 8 Permendiknas RI No. 52 Tahun
2008 tentang Standar Proses
LAMPIRAN BUKTI OBSERVASI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar