Selasa, 01 November 2016

M. Ihsan 15.21.0081

                                                                    ABSTRAK
PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM (PENDIDIKAN BERBASIS AL-QUR,AN DAN HADIST)

Oleh:

M IHSAN            15.21.0081

Prodi:
Pendidikan Bahasa Inggris

Email:
Muhihsan643@gmail.com

Pembentukan kepribadian manusia yang seimbang, sehat dan kuat, sangat dipengaruhi oleh pendidikan agama dan internalisasi nilai keagamaan dalam diri peserta didik. Peletakan dasar-dasar pendidikan agama adalah kewajiban orang tua dan juga menjadi tugas guru, masyarakat, dan pemerintah melalui berbagai lembaga pendidikan. Tulisan ini membahas tentang pentingnya, pendidikan berbasis Al-Quran, dan pembentukan karakter peserta didik melalui pendidikan. Pendidikan adalah sebuah proses yang tidak berkesudahan yang sangat menentukan karakter bangsa pada masa kini dan masa datang. Apakah suatu bangsa akan muncul sebagai bangsa yang berkarakter baik atau bangsa berkarakter buruk, sangat tergantung pada kualitas pendidikanyang dapat membentuk karakter anak bangsa tersebut. Pembentukan karakter melalui pendekatan pendidikan Al-Quran selain menjadi bagian dari proses pembentukan akhlak mulia, diharapkan mampu menjadi pondasi utama dalam meningkatkan derajat dan martabat peserta didik sebagai anak bangsa.
Salah satu usaha yang tidak boleh ditinggalkan oleh guru adalah bagaimana guru memahami kedudukan metode sebagai salah satu komponen yang mempengaruhi dalam proses belajar mengajar. Metode mengajar memiliki arti yang sangat penting lebih dari sekedar alat untuk menyampaikan ilmu pada peserta didik. Untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, dibutuhkan suatu pengelolaan (manajemen) dalam pendidikan. Dalam implementasinya, manajemen pendidikan seharusnya benar-benar mampu beroperasional dan berfungsi mempermudah pencapaian tujuan pendidikan. Untuk itulah dibutuhkan konsep yang baik dan matang dalam upaya implementasi manajemen pendidikan. Keterbatasan pengetahuan akan manajemen pendidikan menjadi salah satu faktor yang melatar belakangi implementasi manajemen pendidikan yang kurang memadai.
 lalu Diperlukan kesiapan dan dukungan baik dari guru, siswa, orang tua dan masyarakat dan pemerintah dalam mewujudkan tujuan-tujuan pendidikan dalam sistem persekolahan
PENDAHULUAN
BAB  I
.                                                                              Latar belakang
Dalam catatan sejarah, eksistensi pendidikan Islam telah ada sejak Islam pertama kali diturunkan. Ketika Rasulullah SAW mendapat perintah dari Allah untuk menyebarkan ajaran Islam, maka apa yang dilakukan adalah masuk dalam kategori pendidikan. Karena kepribadian Rasulullah SAW mencerminkan wujud ideal Islam, seorang guru dan pendidik.
Kemudian sejak masa sahabat, tabi’in dan generasi selanjutnya pada masa pendahulu, masa keemasan Islam dan masa pembaharuan banyak bermunculan berbagai pemikiran pendidikan Islam, hal ini salah satunya ditandai dengan banyaknya ulama–ulama Islam yang menulis tentang buku pendidikan dan pengajaran secara mendalam.
Pemikiran pendidikan Islam adalah serangkaian proses kerja akal dan kalbu secara bersungguh-sungguh dalam melihat berbagai persoalan yang ada dalam pendidikan Islam.
 Syekh Muhammad Arsyad al banjari adalah tokoh pembaharu yang tidak asing lagi, dunia Islam dan Barat mengakuinya, bahkan pandangannya sering dijadikan rujukan dalam pembahasan ke islaman

Menurut Al-Ghazali pendidikan Islam bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, bukan untuk mencari kedudukan yang menghasilkan uang. Karena jika tujuan pendidikan diarahkan bukan pada mendekatkan diri kepada Allah SWT, akan dapat menimbulkan kedengkian, kebencian, dan permusuhan
Tujuan pendidikan menurut al-ghazali mengarah kepada realisasi tujuan keagamaan dan akhlak, dengan titik penekanannya pada perolehan keutamaan dan taqarrub kepada Allah dan bukan untuk mencari kedudukan yang tinggi atau mendapatkan kemegahan dunia. Sebab jika tujuan pendidikan diarahkan selain untuk mendekatkan diri pada Allah, akan menyebabkan kesesatan dankemundaratan.tujuan pendidikan ini sejalan dengan firman Allah SWT, tentang tujuan penciptaan manusia yaitu Q.S. al-dzariat: 56





2. Rumusan masalah:
a.  Karakteristik pendidikan yang bagaimanakah yang di tawarkan Al-Quran dan Hadits berkenaan dengan tujuan  Islam ?
b.  Usaha apakah yang dilakukan oleh seorang pendidik untuk mewujudkan karakter dan kepribadian tersebut ?.
c. Nilai-nilai pendidikan agama Islam dalam pemikiran Syekh Muhammad Arsyad al banjari

d.pemikiran islam menurut imam al Ghazali














3.METODE
Metode ini adalah model penelitian historis faktual mengenai tokoh, yakni objek penelitian ini dari pemikiran salah seorang tokoh dari karya-karyanya. Pemikiran tokoh tersebut diselidiki sebagai filsafatdalam meneliti nilai-nilai pendidikan agama Islam dalam pemikiran Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari.Dimulai dengan mengumpulkan beberapa karya Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari sebagai data primer dan data sekunder dari berbagai Literatur buku-buku sejarah, juga melalui dokumentasi yang tersimpan pada majalah, jurnal, surat kabar, dan bahan informasi tertulis lainnya yang berhubungan dengan penelitian ini untuk menganalisis nilai-nilai pendidikan agama Islam dalam pemikiran Syekh Muhammad Arsyadal banjari
dan imam al ghazali
Teknik pengumpulan data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian inidimulai dengan
mengumpulkan kepustakaan melalui tahapan sebagai berikut:
a.Mencari semua buku-buku yang ada mengenai tokoh Syekh Muhammad
Arsyad al-Banjari dan imam al ghazali serta topik tentang pemikirannya.
b.Memilah-milih pustaka yang umum dan yang khusus, dimulai dengan
karya-karya Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dan imam al ghazali sebagai data primer























KAJIAN PUSTAKA
Dalam khazanah pemikiran pendidikan Islam, pada umumnya para ulama berpendapat bahwa tujuan akhir pendidikan Islam adalah ”untuk beribadah kepada Allah SWT”. Kalau dalam sistem pendidikan nasional, pendidikan diarahkan untuk mengembangkan manusia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa, maka dalam konteks pendidikan Islam justru harus lebih dari itu, dalam arti, pendidikan Islam bukan sekedar diarahkan untuk mengembangkan manusia yang beriman dan bertaqwa, tetapi justru berusaha mengembangkan manusia menjadi imam/pemimpin bagi orang beriman dan bertaqwa (Waj’alna li al-muttaqina imaama).

Pendidikan sebagai upaya perubahan dan perbaikan diri yang meliputi keseluruhan hidup

individu termasuk akal (aspek kodnitif), hati dan rohani (aspek afektif), jasmani (aspek psikomotorik), serta akhlak, dan tingkah laku (behavioral).

Melalui pendidikan, setiap potensi yang di anugerahkan Allah SWT kepada seluruh ummat manusia haruslah sedapat mungkin bisa dioptimalkan dan dimanfaatkan untuk menjalankan fungsi sebagai khalifah di muka bumi. Sehingga pendidikan merupakan suatu proses yang sangat penting tidak hanya dalam hal pengembangan kecerdasannya, namun juga untuk membawa peserta didik pada tingkat manusiawi dan peradaban, terutama pada zaman modern dengan berbagai kompleksitas yang ada.


Tujuan pendidikan yang utama dalam Islam menurut Al-Qur’an adalah agar terbentuk insan-insan yang sadar akan tugas utamanya di dunia ini sesuai dengan asal mula penciptaannya, yaitu sebagai ’Abid (penghamba). Sehingga dalam melaksanakan proses pendidikan, baik dari sisi pendidik (guru) atau anak didik (murid), harus didasari sebagai pengabdian kepada Allah SWT semata.
Mengabdi dalam terminologi Islam sering diartikan dengan beribadah. Ibadah bukan sekedar ketaatan dan ketundukan, tetapi ia adalah satu bentuk ketundukan dan ketaatan yang mencapai puncaknya akibat adanya rasa keagungan dalam jiwa seseorang terhadap siapa yang kepadanya ia mengabdi. Ibadah juga merupakan dampak keyakinan bahwa pengabdian itu tertuju kepada yang memiliki kekuasaan yang tidak terjangkau dan tidak terbatas
Selalu berorientasi kedepan, fisioner jauh kedepan mengiringi setiap perilaku dan kekaryaan seorang pendidik di masa-masa mendatang sebagai bentuk keprihatinan positif yang tak lagi pragmatis baik menyangkut diri pribadinya selaku pendidik maupun untuk ditularkan kepada peserta didik
Senantiasa mengingat Allah SWT dalam segala urusan baik pada kondisi takut (al-khouf), harapan (ar-roja), kesulitan (asy-syiddah) dan kelapangan (ar-rukho).
Semata-mata ada tujuan kepada ridho Allah SWT, mengharapkan rahmat sebagai kasih sayang-Nya dan juga mengharap pahala dari-Nya;

Dengan beberapa poin ini, seorang pendidik insya Allah akan dapat di harapakan untuk senantiasa berpijak pada kebenaran dan bertindak sesuai prosedur yang dikenakan kepada setiap pelaku pendidikan di republik

Imam Ghozali melukiskan tujuan pendidikan sesuai dengan pandangan hidupnya dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, yaitu sesuai dengan filsafatnya, yakni memberi petunjuk akhlak dan pembersihan jiwa dengan maksud di balik itu membentuk individu-individu yang tertandai dengan sifat-sifat utama dan takwa















BAB  II
1. Pembahasan.
 Sekilas tentang pengertian pendidikan.
Secara bahasa (analogi), pendidikan merupakan “Suatu proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau sekelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan” Pendidikan bisa juga berarti proses, cara dan atau perbuatan mendidik. Sedangkan kata “karakter” terambil dari bahasa asing yang memiliki makna sebagai suatu sifat, watak atau peran.

Jadi, pendidikan karakter dalam pendekatan terminologi pendidikan nasional sebagaimana hasil rumusan kajian pemikiran yang di kembangkan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan di lingkungan Kementrian Agama Republik Indonesia (Balitbang Kemenag RI) yang juga dikutip dalam “websites”nya, ialah “Sebagai salah satu hal yang sederhana karena kata ‘karakter’ adalah semua pengembangan diri siswa dalam interaksi belajar yang berlangsung -hingga awal dan berakhirnya proses pengajaran- bisa tercapai pembentukan siswa yang berkarakter”. “Pendidikan karakter di sekolah sangat diperlukan, walaupun dasar dari pendidikan karakter adalah di dalam keluarga. Kalau seorang anak mendapatkan pendidikan karakter yang baik dari keluarganya, anak tersebut akan berkarakter baik selanjutnya. Namun banyak orang tua yang lebih mementingkan aspek kecerdasan otak ketimbang pendidikan karakter”. pada dasarnya mencakup empat point penting yang harus ditekankan dalam peletakan dasar-dasar pengembangan kurikulum dari kurikulum sebelumnya, antara ialah :
*. Aspek Spiritual
*. Aspek Sosial
*. Aspek Sains (ilmu pengetahuan) sebagai pengembangan aspek kognitif
*. Aspek Skill (keterampilan) sebagai pengembangan aspek psikomotorik.

Dua point pertama, lebih sebagai perwujudan aspek afektif peserta didik yang mengedepankan nilai-nilai spritual dan norma-norma sosial sebagai pengembangan pendidikan yang berbasis karakter dan kepribadian yang disinilah letak dominasi penekanan yang mustinya mendapat porsi lebih banyak dan mendapat perhatian besar ketimbang dua point terakhir, yaitu aspek sains dan sekill yang masing-masing sebagai perwujudan pengembangan aspek kecerdasan kognitif dan kelincahan psikomotorik pada perkembangan pembelajaran peserta didik.

Sedangkan urgensi pendidikan secara islami (tarbiyah islamiyah) ialah terbentuknya suatu karakter dan kepribadian islami (syakhsiyah islamiyah) yang ideal. Pribadi islami adalah pribadi yang menjadikan nilai-nilai islam sebagai unsur-unsur pembentuk kepribadiannya, sehingga kelak ia benar-benar dapat mencerminkan keislamannya. [05]

1.2. Pendidikan dalam terminologi Al-Quran dan Hadits :
a.      Tarbiyyah (Pendidikan)

قال تعالى : ﴿... وَقُلْ رَبِّي ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا ﴾ . (الإسراء : 24)

Artinya : “… dan ucapkanlah : "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil”. (QS. Al-Isra 24). [06]

قال إبن كثير : وإنما يذكر تعالى تربيةَ الوالدة وتعبها ومشقتها في سهرها ليلا ونهارًا، ليُذكّر الولد بإحسانها المتقدم إليه. (انظر "تفسير القرآن العظيم" لإبن كثير ص 264 من الجزء السادسة)

Ibnu Katsier berkata : “Hanyasannya Allah SWT mengingatkan kembali akan masa-masa pendidikan orang tua, pengasuhan dan kepayahannya dalam keterjagaannya di sepanjang malam dan siang hari supaya -hal itu- oleh si anak dapatlah diingatnya akan kebaikan-kebaikan yang telah dilalui orang tua si anak”. [07]

Dari ayat ini secara benang merah dapatlah ditarik simpulan :
Murabbi          => pendidik/pengasuh => kedua orang tua.
Mutarobbiy     => pelaku didikan => anak-anak
Tarbiyyah       => proses pendidikan/pengasuhan dari kedua orang tua kepada anak-anaknya.

Dalam ayat lain, Allah SWT berfirman :

قال تعالى : ﴿ قَالَ أَلَمْ نُرَبِّكَ فِينَا وَلِيدًا وَلَبِثْتَ فِينَا مِنْ عُمُرِكَ سِنِينَ ﴾ .{الشعراء : 18}

Artinya : “Berkata (Firaun kepada Musa) Bukankah kami telah mengasuhmu diantara (keluarga) kami, waktu kamu masih kanak-kanak dan kamu tinggal bersama kami beberapa tahun dari umurmu”. (QS. Asy-Syu’ara : 18). [08]


قال ابن كثير : ما أنت الذي ربيناه فينا وفي بيتنا وعلى فراشنا, وأنعمنا عليه مدة من السنين <<>>  انظر "تفسير ابن كثير"  ص (3/443)

Ibnu Katsier, ketika menafsirkan ayat ini ada menyimpulkan makna tarbiyah yang tersirat dalam ayat : ”Bukankah engkaulah yang telah kami didik dilingkungan kami dan keluarga kami dan dalam tanggung jawab dan pengasuhanan kami, dan itu berlangsung selama beberapa tahun”. [09]

b. Ta’liem (pengajaran)

قال تعالى : ﴿ وَعَلَّمَ آدَمَ الأسْمَاءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلائِكَةِ فَقَالَ أَنْبِئُونِي بِأَسْمَاءِ هَؤُلاءِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ ﴾. (البقرة 31)

Artinya : “Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman : ` Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar ` ” (QS. Al-Baqoroh 31(. [10]

قال السيوطي : بأن ألقى في قلبه علمها . انظر "تفسير الجلالين" ص 37 من الجزء الأول

Proses yang terjadi dalam kaitan pengajaran (ta’lim) sebagaimana tersurat dalam ayat di atas, Imam As-Suyuthi berkomentar : ialah dengan cara bahwa  Allah SWT sendiri lah yang mentrasfer ilmu-Nya secara langsung ke lubuk hati Adam AS (berupa instink). [11]

Dari ayat ini secara benang merah dapatlah ditarik simpulan :
Mu`allim         => pengajar => Allah SWT.
Muta`allim      => pembelajar => Adam AS
Ta`liem            => proses pengajaran dari Allah SWT kepada Adam AS.

c. Tadries (Pentela’ahan)

قال تعالى : ﴿ أَنْ تَقُولُوا إِنَّمَا أُنْزِلَ الْكِتَابُ عَلَى طَائِفَتَيْنِ مِنْ قَبْلِنَا وَإِنْ كُنَّا عَنْ دِرَاسَتِهِمْ لَغَافِلِينَ ﴾. (الأنعام : 156)

Artinya : “(Kami turunkan al-Quran itu) agar kamu (tidak) mengatakan: "Bahwa kitab itu hanya diturunkan kepada dua golongan [a] saja sebelum kami, dan sesungguhnya kami tidak memperhatikan apa yang mereka baca[b]”. (QS. Al An’am : 156). [12]

[a].  Yakni orang-orang Yahudi dan Nasrani.
[b]. Diturunkan Al Quran dalam bahasa Arab agar orang musyrikin Mekah tidak dapat mengatakan bahwa mereka tidak mempunyai kitab karena kitab yang diturunkan kepada golongan Yahudi dan Nasrani diturunkan dalam bahasa yang tidak diketahui mereka. [13]

قال ابو جعفر الطبري : و"دراستهم" إياه  : تلاوته. وقد قيل : "دراستهم"، اي الفقه. (انظر "تفسير الطبري"  ص 546 من الجزء 6)

Berkenaan dengan firman-Nya (’An Diraasatihim) => “apa yang mereka tela’ah”, Imam Abu Ja’far Ath-Thobariy dalam Jami’ul-Bayaan menafsirkan dengan “membacanya”. Dan kadang-kadanag dikatakan : “apa yang mereka baca” maksudnya upaya pemahaman/paham (al-fiqh). [14]

Dari ayat ini secara benang merah dapatlah ditarik simpulan :
Mudarris       => pembaca/pentela’ah => orang-orang Yahudi dan Nasrani. 
Mudarras     => objek yang dibaca => kitab-kitab yg diturunkan kepada mereka
Tadriies         => proses pembacaan (tela’ah) mereka akan kitab-kitab-Nya.

d. Tazkiyyah (penyucian diri)

قال تعالى : ﴿ كَمَا أَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولا مِنْكُمْ يَتْلُو عَلَيْكُمْ آيَاتِنَا وَيُزَكِّيكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُمْ مَا لَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ ﴾ . (البقرة : 151)

Artinya : “Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan ni’mat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui”. (QS. Al-Baqarah : 151). [15]

قال ابن كثير : ( "وَيُزَكِّيهم"، أي : يطهرهم من رذائل الأخلاق ودَنَس النفوس وأفعال الجاهلية، ويخرجهم من الظلمات إلى النور. وهي التربية )  . انظر "تفسير ابن كثير" ص (1 / 464)

Ibnu Katsier dalam tafsirnya ketika menginterpretasikan firman Allah “Wa Yuzakkiihim” => “Dan (Ia) mensucikan kamu” sebagaimana dalam ayat, maksudnya ialah mensucikan dan membersihkan diri dari akhlaq dan sifat tercela, dari jiwa-jiwa kotor dan perilaku jahiliyah dengan cara mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya. Proses itu oleh Ibnu Katsier juga dipahami sebagai proses pendidikan/pelatihan (tarbiyah/riyadhoh). [16]

Dari ayat ini secara benang merah dapatlah ditarik simpulan :
Muzakkiy        => yang mensucikan => Allah SWT.
Muzakka         => yang disucikan => ummat manusia 
Tazkiyyah     => proses penyucian yang berlangsung dari Allah SWT kepadaummat manusia.

d. Ta,diib (pendidikan)

رُوي أنّ النبيّ صلّى الله عليه وسلّم قال : " أدَّبَنِي رَبِّيْ فَأحْسَنَ تَأْدِيْـبِيْ " . (رواه ابن السمعاني في أدب الإملاء والاستملاء ص 1)

Artinya : di riwayatkan bahwasannya Nabi SAW bersabda : “Tuhanku telah melatih adabku (menganugerahi adab), karena itu Tuhanku jua lah yang membagusi/menghiasi adabku”. [17]

Hadits ini, sekalipun periwayatannya di nilai dhaif oleh para pakar hadits, diriwayatkan oleh Ibnu As-Sam`ani secara munqothi’ (terputus) jari jalur Ibnu Mas`ud -radiallhu ‘anhu- [18], dan tak satu pun periwayatannya ada ketsabitan pada silsilah sanadnya, tetapi oleh sebagian ulama hadits ini di klime memiliki makna yang sahih sebagaimana dikatakan oleh Syaihkul-Islam Ibnu Taymiyah dalam kitab “Majmu’ Fatawa” (kitab himpunan fatwa-fatwa Ibnu Taymiyah). [19]


وقال شيخ الاسلام أحمد ابن تيميّه : " إنّ معناه صحيح ، ولكن لا يعرف به إسناد ثابت ". (انظر "مجموع فتاوى" للشيخ الاسلام أحمد ابن تيميه ص 18/375)
قال البعض : وإن اقتصر شيخنا يعني الحافظ ابن حجر على الحكم عليه بالغرابة في بعض فتاويه ، ولكن معناه صحيح ، وجزم به ابن الأثير في خطبة النهاية . (انظر "كشف الخفاء" ص 1/70)


Namun demikian, Al-Hafidz Ibnu Hajar Al’Asqolaniy merasa puas dengan hukum yang terkandung di dalamnya dengan membiaskan hadits ini untuk disematkan dalam sebagian fatwa-fatwanya, tetapi makna hadits ini sahih, yang dengan hadits ini pula, Ibnul-Atsier juga manetapkannya di khutbah kitab An-Nihayah. 

Dari ayat ini secara benang merah dapatlah ditarik simpulan :
Mu,addib        => pelatih => Allah SWT.
Muta,addib     => yang berlatih => Rasulullah SAW 
Ta,diieb      => proses pelatihan yang berlangsung dari Allah SWT kepada Muhammad, Rasulullah SAW.Artinya : “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”. (QS. al-Dzariyat : 56). [21]

Tujuan pendidikan yang utama dalam Islam menurut Al-Qur’an adalah agar terbentuk insan-insan yang sadar akan tugas utamanya di dunia ini sesuai dengan asal mula penciptaannya, yaitu sebagai ’Abid (penghamba). Sehingga dalam melaksanakan proses pendidikan, baik dari sisi pendidik (guru) atau anak didik (murid), harus didasari sebagai pengabdian kepada Allah SWT semata.

Mengabdi dalam terminologi Islam sering diartikan dengan beribadah. Ibadah bukan sekedar ketaatan dan ketundukan, tetapi ia adalah satu bentuk ketundukan dan ketaatan yang mencapai puncaknya akibat adanya rasa keagungan dalam jiwa seseorang terhadap siapa yang kepadanya ia mengabdi. Ibadah juga merupakan dampak keyakinan bahwa pengabdian itu tertuju kepada yang memiliki kekuasaan yang tidak terjangkau dan tidak terbatas. 

Ibadah dalam pandangan ilmu Fiqh ada dua yaitu ibadah mahdloh dan ibadah ghoiru mahdloh. Ibadah mahdloh adalah ibadah yang telah ditentukan oleh Allah bentuk, kadar atau waktunya seperti halnya sholat, zakat, puasa dan haji. Sedangkan ibadah ghoiru mahdloh adalah sebaliknya, kurang lebihnya yaitu segala bentuk aktivitas manusia yang diniatkan untuk memperoleh ridho dari Allah SWT.

Segala aktivitas pendidikan, belajar-mengajar dan sebagainya adalah termasuk dalam kategori ibadah. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi SAW :

طَلَبُ العِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ . (رواه الطبراني)

Artinya : “Menuntut ilmu adalah fardlu bagi tiap-tiap orang-orang Islam laki-laki dan perempuan” (HR. Ibnu Abdil-Bari). [23]

مَنْ خَرَجَ فِى طَلَبِ العِلْمِ فَهُوَ فِى سَبِيْلِ اللهِ حَتَّى يَرْجِعَ . (رواه الترمذى)

Artinya : “Barangsiapa yang pergi untuk menuntut ilmu, maka dia telah termasuk golongan sabilillah (orang yang menegakkan agama Allah) hingga ia sampai pulang kembali”. (HR. Imam Turmudzi). [24]

Pendidikan sebagai upaya perubahan dan perbaikan diri yang meliputi keseluruhan hidup individu termasuk akal (aspek kodnitif), hati dan rohani (aspek afektif), jasmani (aspek psikomotorik), serta akhlak, dan tingkah laku (behavioral).

Melalui pendidikan, setiap potensi yang di anugerahkan Allah SWT kepada seluruh ummat manusia haruslah sedapat mungkin bisa dioptimalkan dan dimanfaatkan untuk menjalankan fungsi sebagai khalifah di muka bumi. Sehingga pendidikan merupakan suatu proses yang sangat penting tidak hanya dalam hal pengembangan kecerdasannya, namun juga untuk membawa peserta didik pada tingkat manusiawi dan peradaban, terutama pada zaman modern dengan berbagai kompleksitas yang ada.

Kemudian.Dalam penciptaaannya, manusia diciptakan oleh Allah SWT dengan dengan dua fungsi, yaitu fungsi sebagai khalifah di muka bumi dan fungsi manusia sebagai makhluk Allah yang memiliki kewajiban untuk menyembah-Nya
juga ada dijelaskan oleh Allah SWT dalam firman-Nya berikut ini : “… Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi’…” (QS Al-Baqarah : 30). [25]

Ketika Allah menjadikan manusia sebagai khalifah di muka bumi dan dengannya Allah SWT mengamanahkan bumi beserta isi kehidupannya kepada manusia, maka manusia merupakan wakil yang memiliki tugas sebagai pemimpin dibumi Allah.

Imam Ghozali melukiskan tujuan pendidikan sesuai dengan pandangan hidupnya dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, yaitu sesuai dengan filsafatnya, yakni memberi petunjuk akhlak dan pembersihan jiwa dengan maksud di balik itu membentuk individu-individu yang tertandai dengan sifat-sifat utama dan takwa. 

Dalam khazanah pemikiran pendidikan Islam, pada umumnya para ulama berpendapat bahwa tujuan akhir pendidikan Islam adalah ”untuk beribadah kepada Allah SWT”. Kalau dalam sistem pendidikan nasional, pendidikan diarahkan untuk mengembangkan manusia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa, maka dalam konteks pendidikan Islam justru harus lebih dari itu, dalam arti, pendidikan Islam bukan sekedar diarahkan untuk mengembangkan manusia yang beriman dan bertaqwa, tetapi justru berusaha mengembangkan manusia menjadi imam/pemimpin bagi orang beriman dan bertaqwa (Waj’alna li al-muttaqina imaama).

Untuk memahami profil imam/pemimpin bagi orang yang bertaqwa, maka kita perlu mengkaji makna takwa itu sendiri. Inti dari makna takwa ada dua macam yaitu ;
1)  itba’ lisyariatillah (mengikuti ajaran Allah yang tertuang dalam al-Qur’an dan Hadits), … dan sekaligus
2)  itiba’ lisunnatillah (mengikuti aturan-aturan Allah yang berlalu di alam ini).

Seseorang yang dalam hidupnya selalu berusaha untuk ber-ittiba’ lisunnatillah adalah orang-orang yang memiliki keluasan ilmu dan kematangan profesionalisme sesuai dengan bidang keahliannya. Seorang imam bagi orang-orang yang bertaqwa, artinya disamping dia sebagai orang yang memiliki profil sebagai itba’ lisyaria’tillah sekaligus dia juga itba’ lisunnatillah, juga mampu menjadi pemimpin, penggerak, pendorong, inovator dan teladan bagi orang-orang yang bertaqwa. 

Dengan demikian, sehingga pengarahan seorang pendidik (guru) akan pembentukan suatu karakter dan kepribadian seorang muslim yang ideal yang sesuai dan seirama dengan fitra manusia yang dianugerahkan Tuhan kepadanya akan lebih mudah terbentuk terhadap anak-anak didik (murid).

Kepribadian muslim tersebut idealnya haruslah tercermin dengan ciri-ciri sebagai berikut :
a)  Lurus akidahnya (salimul akidah)
Hal terpenting bagi setiap muslim adalah kelurusan akidahnya, karena kelurusan akidah inilah yang akan menentukan arah gerak kemana seseorang akan melangkah sehingga secara langsung ia akan melaksanakan syariat islam
b)  Benar ibadahnya (shohilul ibadah)
Ibadah seorang muslim harus benar, yaitu senantiasa niat ikhlas karena Allah semata dan berdasarkan syariat islam.
c)  Kokoh akhlaknya (matinul khuluq)
Kita harus senantiasa menjaga akhlak kita, karena akhlak ini yang akan menentukan arah kehidupan kita. Dan islam telah mengatur setiap perilaku manusia dalam setiap aspek kehidupan ini.


2. Karakteristik Pendidikan Islam (Tarbiyah Islamiyah)
Adapun karakteristik pendidikan islam (tarbiyatul-islamiyah) ialah suatu karakter atau proses pendidikan dalam rangka menuju dan atau membentuk pribadi peserta didik menjadi pribadi yang islami, ialah pribadi yang menjadikan nilai-nilai islam sebagai unsur-unsur pembentuk kepribadiannya, unsur-unsur pembentuk kepribadian ini bisa dilihat dengan parameter sebagai berikut :

a) Integral (syumuliyah)
Kepribadian yang di bentuk adalah seseorang yang memiliki kepribadian yang kokoh, tahan terhadap segala tantangan hidup dan berguna bagi orang lain. Tarbiyah islamiyah akan menjaga keseimbangan pertumbuhan potensi manusia (fsikomotorik/fisik, afektif/hati, kognitif/akal) agar dapat berkembang dengan baik.

b) Gradual (mutadarrijah)
Proses pembentukan individu tidak bisa secara instan, tetapi dengan cara gradual dan butuh proses yang panjang, sehingga harus dilakukan secara bertahap sesuai fase-fase perkembangan dalam kehidupannya.

c) Continue (istimrariyah)
Tarbiyah islamiyah harus senantiasa dilaksanakan secara terus-menerus untuk memperbaiki setiap kekurangan yang ada pada setiap individu dan menyempurnakan kelebihan yang dimilikinya.

d) Penuh kesungguhan (jiddiyah)
Kesungguhan ini harus senantiasa dimunculkan dan dijaga, sebab proses tarbiyah akan selalu berjalan sepanjang masa bersama segala rintangan dan hambatan yang akan selalu mengiringinya. Andaikan tarbiyah islamiyah ini dilalui tanpa kesungguhan, niscaya setiap individu akan mudah berguguran. Dan tujuan tarbiyah islamiyah tidak akan tercapai.


3. Langkah-langkah yang harus di tempuh oleh seorang pendidik
Sebelumnya, ada beberapa point penting yang perlu kita (para pendidik) ketahui dan pahami akan perubahan mind-set pada Kurikulum sebelumnya, yaitu :
1) adanya perubahan mind-set;
2) adanya skill dan kompetensi guru; … dan
3) adanya sikap kepemimpinan, culture, dan menejmen sekolah.

Implementasi nilai-nilai spiritual dan norma-norma sosial pada penerapan Kurikulum ini, setidaknya harus dilandasi oleh 3 (tiga) aspek yang harus di jadikan sebagai dasar-dasar pengembangannya, yaitu : aqidah, syariah, dan  akhlaq, yang ketiganya tersebut ialah merupakan realisasi akan trilogi ajaran agama (tiga ajaran secara garis besar dalam rukun agama) sebagaimana yang tersurat dan tersirat dalam riwayat sahih sahabat Abu Huraerah -radiallahu ‘anhu- tentang iman, islam dan ihsan. 

Dari ketiga dasar-dasar aspek tersebut, maka yang lebih penting dari ketiganya adalah aspek Akhlaq. Betapa nilai-nilai akhlaq, akan berpengaruh besar terhadap pola-pola paradigma (cara pandang) yang kelak dimiliki bangsa Indonesia untuk di kemudian hari manakala aspek ini bisa di kembangkan dan diimplementasikan secara baik dan bijak oleh pelaku kependidikan secara integral dalam tatanan system pendidikan nasional.

Lebih jauh, ketiga aspek tersebut ada beberapa acuan, misalnya pada level manusia sebagai perkembangan individu, ialah bagaimana seharusnya seseorang bisa berlaku ihsan sebagai yang dipesankan Tuhan dan RasulNya, kemudian bahwa nilai-nilai ihsan yang pelakunya disebut muhsin (term hadits) ini bisa dikembangkan lagi, setidaknya ada tiga level, yaitu ;
pertama, bagaimana dia berlaku ihsan kepada Tuhannya;
kedua, bagaimana dia berlaku ihsan kepada sesama; … dan
ketiga, bagaimana dia berlaku ihsan kepada alam semesta.

Point terakhir dari pengembangan sikap ihsan dalam diri seorang manusia, yakni bagaimana seseorang dapat bersikap ihsan pada lingkungan sekitar dan alam smesta, pada hewan dan binatang misalnya, bisa di ilustrasikan secara singkat betapa nilai-nilai ini akan sangat terpuji sebagai perwujudan sikap empati yang dikembangkan oleh seorang anak di seketika dia harus menolong seekor anak burung yang terjatuh dari sarangnya yang jauh diatas ketinggian pohon, ini menunjukan sikap terpuji yang semestinya kita miliki dan kembangkan terus dalam pada kita menuju akhlaq muhsin sebagai tingkatan tertinggi dalam trilogi ajaran agama setelah iman dan islam.



Allah SWT menegaskan dalam firman-Nya, al-Quran al-Kariem pada surah al-Ahzab ayat 21, sebagai berikut :

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا . (الأحزاب :21)

Artinya : “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”. (QS. Al-Ahzab 21). [29]

Imam Ibnu Jarier Ath-Thobariy, mufassir generasi awal memberi catatan khusus berkenaan dengan interpretasi ayat ini, begini redaksinya ;

قال إبن جرير الطّبري : يقول لهم جلّ ثناؤه : (لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُوْلِ اللهِ أسْوَةٌ حَسَنَةٌ) : أن تتأسوا به وتكونوا معه حيث كان، ولا تتخلَّفوا عنه (لِمَنْ كانَ يَرْجُو اللَّهَ) يقول : فإن من يرجو ثواب الله ورحمته في الآخرة لا يرغب بنفسه، ولكنه تكون له به أُسوة في أن يكون معه حيث يكون هو. (الطبري ص 235 من الجزء العشرين)

Bahwa Allah SWT, via ayat ini kembali menegaskan kepada kita selaku ummatnya untuk senantiasa membangun/menteladani Rasulullah SAW dan hendaknya kita terus ada bersamanya di setiap hal dan kondisi di manapun berada dan jangan sekali-kali kita menentang atau menyelisihinya [30]. Lebih jauh, dalam tafsir itu, sang Imam -radiallahu ‘anhu- saat mengulas firman-Nya “Bagi orang-orang yang mencari ridho Allah SWT” ini ditafsirkan ialah sebagai “Sesungguhnya bagi orang-orang yang ada keinginan untuk mencari ridho dan pahala-Nya semata-mata, menuju rahmat dan kasih sayang-Nya untuk kelak di akhirat, maka tidaklah dia sendirian, tetapi paling tidak, bahwa dalam diri Muhammad itu ada teladan yang baik (uswah) bagi seseorang selama orang tersebut berusaha untuk senantiasa ada bersamanya”. [30]

Maka dari apa yang terungkap pada penafsiran Ath-Thobariy sebagaimana diatas, setidaknya dapat penulis simpulkan bahwa ternyata ada tiga poin penting sebagai visi dan misi atau langkah-langkah strategis bagi seorang prndidik untuk senantiasa dikedepankan dalam pada ia selaku sebagai seorang pendidik kepada peserta didiknya, yaitu :
1). Semata-mata ada tujuan kepada ridho Allah SWT, mengharapkan rahmat sebagai kasih sayang-Nya dan juga mengharap pahala dari-Nya;
2). Selalu berorientasi kedepan, fisioner jauh kedepan mengiringi setiap perilaku dan kekaryaan seorang pendidik di masa-masa mendatang sebagai bentuk keprihatinan positif yang tak lagi pragmatis baik menyangkut diri pribadinya selaku pendidik maupun untuk ditularkan kepada peserta didik; … dan
3). Senantiasa mengingat Allah SWT dalam segala urusan baik pada kondisi takut (al-khouf), harapan (ar-roja), kesulitan (asy-syiddah) dan kelapangan (ar-rukho). [31]

Dengan ketiga poin ini, seorang pendidik insya Allah akan dapat di harapakan untuk senantiasa berpijak pada kebenaran dan bertindak sesuai prosedur yang dikenakan kepada setiap pelaku pendidikan di republik ini.






















Nilai-nilai pendidikan agama Islam dalam pemikiran Syekh
Muhammad Arsyad al-Banjari
a.
Tujuan Pendidikan Agama Islam adalah tujuan pendidikan dunia akhirat
dan peningkatan kemasyarakatan, Arsyad memandang bahwa tujuan
pendidikan untuk menjadikan manusia beriman, berilmu dan beramal,
memberikan kesempatan pada setiap manusia dapat melakukan aktivitas
dalam kehidupan secara aturan agama. Keseimbangan pendidikan aqidah
dan pendidikan syariah yang sesuai dengan perintah Allah Swt., yang
berimplikasi terhadap tingkah laku seseorang yang tertanam dalam jiwa
sebagai bentuk kepribadian daan akhlak yang terpuji dan tujuan pendidikan untuk membangun dan membina masyarakat ke taraf kehidupan yang lebih
Pendidik dan Anak didik dalam pandangan Arsyad, pendidik sebagai
pengajar memberitahukan kepada anak didik apa yang baik dan buruk,
apa yang benar dan yang salah. Sifat pendidik menjadi teladan bagi anak
didik, dengan perkataan yang lemah lembut, rendah hati, memiliki akhlak
yang menjadi teladan dan patuh melaksanakan syariat agama Islam. Dan
anak didik adalah seseorang yang belajar dalam proses pertumbuhan dan
perkembangan dalam diri anak, anak didik adalah manusia yang dalam
dirinya memerlukan bimbingan pengetahuan dari pihak lain untuk
menjalankan kehidupannya. Anak didik ditempatkan dalam diri
seseorang yang ingin terus mengetahui tentang hal yang belum dipelajari
dan mau bertanya untuk memperoleh ilmu.
pendidikan aqidah yang ditanamkan
oleh Arsyad dengan mengutamakan pendidikan aqidah dalam
mengajarkan agama Islam, dengan menulis Risalah Ushuluddin
Pendidikan aqidah yang ajarkannya adalah
semua komponen yang terdapat dalam
rukun iman, dimulai dari hakikat
iman itu sendiri, dan selanjutnya di jelaskan mengenai iman kepada
Allah Swt. iman kepada Malaikat, iman kepada Kitab Allah, iman
kepada Rasul, iman kepada Hari Akhir dan iman kepada Qadla dan
Qadar. Penguatan nilai pendidikan yang diajarkan Arsyad dalam
menyikapi takdir baik dan takdir buruk dengan tidak melibatkan sebuah
prosesi membuang pesilihdan menyanggar,yakni meyakini adanya
keterlibatan penentuan selain Allah dalam segala kehendak-Nya

Nilai pendidikan syariah, dalam
pandangan Arsyad dengan mengikrarkan
dua kalimat syahadat, syarat bagi manusia melakukan hukum Islam di
dunia. Nilai-nilai pendidikan syariah terlihat dalam kepribadian Arsyad
yang taat dalam beribadah, menjalankan semua perintah agama Islam
serta mengajarkan semua ilmu yang telah diperolehnya dengan
mendakwahkan Islam dengan menyesuaikan dan memperhatikan kondisi
dan situasi lingkungan masyarakatnya dimasa itu.
Arsyad menjelasakan pendidikan syariah kedalam semua
kompenen yang terdapat dalam rukun Islam, yakni ibadah shalat, ibadah
zakat, ibadah puasa, ibadah haji dan syariah mu’amalah yang mencakup
hubungan manusia dengan manusia secara individu maupun sosial.

Nilai Pendidikan akhlak yang di ajarkan Arsyad secara langsung melalui
kepribadiannya yang luhur, dengan sifat tawadhuyang dimilikinya
melahirkan sifat-sifat yang baik, mampu menjadi panutan dimasanya
hingga sekarang. Nilai pendidikan akhlak dalam pandangan
Arsyad di antaranya adalah Iman, Ihsan, Taqwa, Ikhlas, Tawakkal Syukur, dan
Taubat.Dilanjutkan dengan akhlak kepada diri sendiri dan orang lain yang
meliputi sifat dan sikap silaturrahmi, persaudaraan, persamaanadil, baik
sangka, rendah hati, dapat dipercaya, hemat, tolong menolong, berbakti
pada orang tua, peduli terhadap perempuan. Sikap beliau terhadap
lingkungan dilihat pada lingkungan sosial masyarakat dengan mengelola
lahan pertanian dan perkebunan yang dapat membantu masyarakat lebih sejahtera, dan pembuatan irigasi yang mengairi pertanian membantu
perkenomian masyarakat Banjar semakin meningkat, sehingga
melahirkan sikap rasa kerjasama dan gotong royong di lingkungan
masyarakat Banjar.

.
Upaya Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari menanamkan nilai-nilai
pendidikan agama Islam
a.
Pendekatan yang dilakukan Arsyad dalam menanamkan nilai-nilai
pendidikan agama Islam adalah :
1)
Pendekatan pengembangan rasional yang difokuskan untuk
memberikan peranan akal, pendekatan ini dilakukan dengan
memberikan materi secara logika yang dapat diterima di masyarakat.
Pendekatan ini dilakukan Arsyad melalui perilaku dalam dirinya yang
mencerminkan nil
ai
-nilai ilahiyah dan insaniyah.
2)
Pendekatan klarifikasi nilai
,
dengan membantu peserta didik untuk
menentukan nilai yang akan dipilihnya. Dimasa Arsyad masyarakat
masih ada yang menerapakan nilai-nilai adat istiadat yang telah ada dengan menyakini amalan orangt tatuha bahari (kegiatan orang tua dahulu0 dan beliau memberikan pemahaman akan niali yang benar dan yang salah
3)pendekan kognitif dengan memfokuskan dan menekan kan pada aspek kognitif dan perkembangan dari peserta didik upaya ini dilakukan syekh muhammad arsyad dengan memberikan pengajaran materi –materi agama islam agar memperkasya pengetahuan masyarakat di maa itu
4)Pendekatan perilaku sosial dalam pandangan Arsyad terlihat dalam
kepribadiannya, beliau telah memberi dorongan pada masyarakat
untuk hidup lebih produktif dan kreatif dimasa itu, dengan
meningkatkan kesejahteraan kehidupan, keagamaan dan
perekonomian masyarakat.

5)
Pendekatan dengan penanaman nilai dalam pandangan Arsyad terlihat
dalam menyebarkan agama Islam di Kalimantan dengan penuh
ketekunan. Terutama penanaman nilai-nilai sosial yang dibenarkan
dan diluruskan olehnya, karena nilai-nilai masyarakat yan
g
belum
sesuai dengan ajaran Islam, dan dengan nilai sosial yang benar dan
baik bagi masyarakat, seperti pengamalan ibadah sehari-hari di
masyarakat Banjar.


b.
Strategi yang dilakukan Arsyad dalam menanamkan nilai-nilai
pendidikan agama Islam yaitu :
1)
Strategi transiternal dalam pandangan Arsyad terlihat dari pribadi
Arsyad, yang menjadi sumber nilai yang melekat dalam pribadinya
sebagai guru, memberikan contoh teladan, dan sebagai sumber
informasi utama di masyarakat tentang ilmu agama yang telah
dipelajarinya di Haramain. Strategi ini melibatkan peran guru dan
murid yang sama-sama aktif dari komunikasi verbal, fisik dan juga
komunikasi bathin (kepribadian) antara keduanya (guru dan murid).
Aktivitas strategi ini dijalankannya dengan cara yaitu : a) Belajar dan
mengajar al-
Qur’an,
b) Integrasi antara penguasa dengan masyarakat,
c) Mencetak kader ulama dan umara, d) Melalui perkawinan, e)
Melalui pendidikan.
2)
Strategi pengembangan ketrampilan yang dilakukan Arsyad dalam
menanamkan nilai-nilai pendidikan agama Islam, dengan cara
pengembangan keterampilan untuk mencapai kehidupan pribadi yang
tentram dan kehidupan sosial yang kondusif (
skill development
),
terlihat dalam kepribadian dan penjelasannya yang telah membantu
menyelesaikan permasalahan di masyarakat Banjar dengan beberapa
cara, a) Fungsionalisasi iman dalam kehidupan manusia, b) Pemurnian
aqidah, c) Mengenai pemakaman mayat, Arsyad mewajibkan
penggunaan tabala atau peti mati, hukum ini ditetapkan erat kaitannya
dengan kondisi alam daerah Kalimantan Selatan yang berair, d)
Pelaksanaan zakat sebagai manifestasi dari keadilan sosial.
c.
Metode yang dilakukan Arsyad dalam menanamkan nilai-nilai
pendidikan agama Islam adalah :
1
Metode keteladanan, sifat yang dimiliki Arsyad dalam dirinya
mencerminkan keteladanan yang patut di contoh dalam pendidikan.
Terlihat dalam kehidupannya sejak kecil hingga telah tiada dan
meninggalkan warisan ilmu yang memberikan cahaya di masyarakat.
Diantaranya teladan cerdas dan bijaksana, ramah, peduli dan kasih
sayang, tanggung jawab dan adil
2)
Metode nasehat sangat efektif dari lingkungan keluarga, masyarakat,
lingkungan kerajaan yang turut aktif mengikutinya, sehingga dala
m
waktu yang relatif singkat dakwah Syekh Muhammad Arsyad
al
-
Banjari dapat menerobos kesegenap pelosok dan berbagai penjuru
di
dunia.
3)
Metode berkarya (mengarang dan menulis) dengan adanya kitab dan
risalah yang ditulis Arsyad, menjadi pegangan di masyarakat masa itu
agar mempermudah membaca dan belajar dari tulisannya, sehingga
p
emikiran beliau tersebut dapat dinikmati masyarakat luas tidak hanya
secara lisan dan keteladanan dalam kepribadiannya.
Sedangkan metode pembelajaran yang dilakukan Arsyad dalam semua
metode di atas yaitu metode sorogan, metode ceramah, metode tanya
jawab, metode diskusi, metode cerita, metode dialog, dan metode
hafalan.

. Pemikiran Al-Ghazali tentang Pendidikan
Pendidikan menurut Al-Ghazali merupakan proses memanusiakan manusia sejak masa kejadiannya sampai akhir hayatnya melalui berbagai ilmu pengetahuan yang disampaikan dalam bentuk pengajaran secara bertahap, dimana proses pengajaran itu menjadi tanggung jawab orang tua dan masyarakat menuju pendekatan diri kepada Allah sehingga menjadi manusia sempurna. Tujuan pendidikan menurut al-Gazali adalah membentuk manusia shalih. Manusia shalih ialah manusia yang mempunyai kemampuan melaksanakan kewajiban-kewajibannya kepada Allah dan kewajiban-kewajibannya kepada manusia sebagai hamba-Nya.
a. Subyek Didik
Bertolak dari pengertian pendidikan menurut Al-Ghazali, dapat dimengerti bahwa pendidikan merupakan alat bagi tercapainya suatu tujuan, sedangkan pendidikan itu sendiri dalam prosesnya juga memerlukan alat yakni pengajaran atau ta’lim.
1) Guru atau Pendidik
Munculnya kata pendidik tidak lepas dari kata “pendidikan”. Umumnya kata pendidikan dibedakan dari kata pengajaran. Menurut Prof. Dr. Muh. Said, pandangan semacam itu dipengaruhi oleh kebiasaan berpikir orang Barat, khususnya orang Belanda yang membedakan kata onderwijs (pengajar) dengan kata opveoding (pendidikan). Pola pikir semacam ini diikuti oleh tokoh-tokoh pendidikan di dunia Timur, termasuk guru-guru muslim seperti Muhammad Naquib al-Atas. Dalam bukunya The Concept of Education in Islam, beliau membedakan secara tajam antara kata “ta’dib” (pendidikan) dan “tarbiyah” atau “ta’lim” (pengajaran).
Al-Ghazali menyebutkan beberapa hal yang menjadi tugas dan tanggung jawab guru profesional, sebagai berikut:
a. Guru ialah orang tua kedua didepan murid.
b. Guru sebagai pewaris ilmu Nabi.
c. Guru sebagai penunujuk jalan dan pembimbing keagamaan murid.
d. Guru sebagai sentral vigur bagi murid.
e. Guru sebagai motivator bagi murid.
f. Guru sebagai seorang yang memahami tingkat perkembangan intelektual murid.
g. Guru sebagai teladan bagi muruid.
Menurut Al-Ghazali, pendidik adalah orang yang berusaha membimbing, meningkatkan, menyempurnakan, dan mensucikan hati sehingga menjadi dekat dengan Khaliq-Nya. Tugas ini didasarkan pada pandangan bahwa manusia merupakan makhluk yang mulia. Kesempurnaan manusia terletak pada kesucian hatinya. Untuk itu pendidik dalam perspektif Islam melaksanakan proses pendidikan hendaknya diarahkan pada aspek tazkiyah an-nafs.
Seorang pendidik dituntut memiliki beberapa sifat keutamaan yang menjadi kepribadiannya. Diantara sifat-sifat tersebut adalah :
1. Sabar dalam menanggapi pertanyaan murid.
2. Senantiasa bersifat kasih, tanpa pilih kasih (objektif).
3. Duduk dengan sopan, tidak riya atau pamer.
4. Tidak takabur, kecuali terhadap orang yang zalim dengan maksud mencegah tindakannya.
5. Bersikap tawadhu’ dalam setiap pertemuan ilmiah
6. Sikap dan pembicaraan hendaknya tertuju pada topik persoalan.
7. Memiliki sifat bersahabat terhadap semua murid-muridnya.
8. Menyantuni dan tidak membentak orang-orang yang bodoh,
9. Membimbing dan mendidik murid yang bodoh dengan cara yang sebaik-baiknya.
10. Berani berkata tidak tahu terhadap masalah yang anda persoalkan.
11. Menampilkan hujjah yang benar. Apabila ia berada dalam kondisi yang salah, ia bersedia merujuk kembali kepada rujukan yang benar.
2) Murid
Menurut al-Ghazali, Subjek didik yang selanjutnya yaitu murid. Beliau menguraikan hal-hal yang harus dipenuhi murid dalam proses belajar mengajar adalah sebagai berikut:
a. Belajar merupakan proses jiwa.
Pada hakikatnya, yang wajib belajar adalah murid sedangkan guru bertugas membimbingnya, berperan sebagai penunujuk jalan dalam belajar. Seorang siswa yang belajar tanpa bimbingan atau arahan guru, apa lagi yang dipelajari adalah berbagai disiplin ilmu, bisa jadi ia tidak akan memperoleh ilmu itu, mengingat psikisnya terutama yang menyangkut intelektualnya harus sesuai dengan materi keilmuan yang hendak dikuasai. Kalaupun ia dapat memperoleh ilmu itu, kemungkinan kurang bermanfaat bagi dirinya. Bagaimanapun juga, guru sangat besar peranannya dalam proses pendidikan. Seperti yang dikatakan oleh Ali bin Abi Thalib, bahwa sarat keberhasilan seorang siswa dalam belajar adalah adanya petunjuk dari seorang guru.
b. Belajar menuntut konsentrasi
Sesuai dengan pandangan al-Ghazali tentang tujuan pendidikan yakni mendekatkan diri pada Allah, dan itu tidak akan terwujud kecuali dengan mensucikan jiwa serta melaksanakan ibadah kepada-Nya, beliau menyarankan agar murid memusatkan konsentrasinya terhadap ilmu yang sedang dikaji, ia harus mengurangi ketergantungannya kepada masalah keduniaan.
c. Belajar harus didasari sikap tawadhu’
Pandangan al-Ghazali yang sufi senantiasa mewarnai pendapat yang dikemukakannya. Berkaitan dengan tugas murid dalam kegiatan belajar mengajar, al-Ghazali menasehatkan agar murid mempunyai sikap tawadhu’ dan merendahkan diri terhadap ilmu dan guru, sebagai perantara diterimanya ilmu itu.
d. Belajar bertukar pendapat hendaklah telah mantap pengetahuan dasarnya
Al-Ghazali menasihatkan kepada murid agar tidak melibatkan diri dalam perdebatan atau diskusi tentang segala ilmu pengetahuan baik yang bersifat keduniaan maupun keakhiratan sebelum terlebih dahulu mengkaji dan memperkokoh pandangan dasar ilmu-ilmu itu. Disinilah tampak pentingnya seorang guru untuk menunujukan cara belajar bagi murid. Guru yang tidak dapat dipegangi pendapatnya, apalagi hanya menukil pendapat-pendapat orang lain tanpa mengemukakan kelebihan dan kekurangannya masing-masing, ia tidak patut dijadikan pembimbing dan penasihat. Jika murid tidak mengetahui pengetahuan dasar tentang segala perdebatan maka ia akan jadi orang fanatik dalam masalah-masalah furu’ sehingga sering menyalahkan orang lain. Tetapi lain halnya dengan murid yang mempunyai pengetahuan dasar penyebab perbedaan pendapat dan perselisihan paham tersebut maka ia tidak akan fanatisme terhadap madzhab atau aliran tertentu, tidak menyalahkan orang lain, apalagi sampai mengkafirkan dan sebagainya.
e. Harus mengetahui nilai dan tujuan pengetahuan yang dipelajari
Pandangan al-Ghazali terhadap ilmu mendasari pemikirannya mengenai bagaimana langkah terbaik dalam mengkaji suatu ilmu pengetahuan. Ilmu menurut al-Ghazali mempunyai nilai yang bebeda-beda. Begitu pula tujuannya, ada yang sangat penting, kurang penting dan tidak penting.
f. Belajar secara bertahap
Sesuai dengan pandangannya terhadap manusia bahwa ia dapat menerima ilmu pengetahuan dengan baik jika prosesnya sesuai dengan tingkat perkembangan intelektualnya, dan pandangannya bahwa ilmu itu dalam berbagai macamnya saling terkait dan saling mendukung antara satu dengan yang lainnya. Al-Ghazali menegaskan bahwa pelajar yang ingin menguasai ilmu dengan baik serta mendalam haruslah belajar secara bertahap.
g. Tujuan belajar untuk berakhlakul karimah
Tujuan pendidikan menurut al-Ghazali ialah mendekatkan diri kepada Allah. Dengan dilandasi pandangan terhadap manusia bahwa pekerjaannya yang paling mulia ialah mendidik, menjadi guru, al-Ghazali menasihatkan agar murid dalam belajar bertujuan menjadi ilmuan yang sanggup, menyebarluaskan ilmunya demi nilai-nilai kemanusiaan. Seorang murid menurut al-Ghazali haruslah menjadi calon guru, minimal guru bagi dirinya sendiri dengan berakhlakul karimah dan keluarganya dengan mrenjadi uswatun khasanah aatu teladan.
Dalam kaitannya dengan peserta didik, lebih lanjut al-Ghazali menjelaskan bahwa mereka adalah makhluk yang telah dibekali potensi atau fitrah untuk beriman kepada Allah SWT. Fitrah itu sengaja disiapkan oleh Allah SWT sesuai dengan kejadian manusia, cocok dengan tabi’at dasarnya yang memang cenderung kepada agama tauhid (Islam). Untuk itu tugas seorang pendidik adalah membimbing dan mengarahkan fitrah tersebut agar ia tumbuh dan berkembang sesuai dengan tujuan penciptaan-Nya.
Menurut al-Ghazali dalam menuntut ilmu, peserta didik memiliki tugas dan kewajiban, yaitu:
1. Mendahulukan kesucian jiwa.
2. Bersedia merantau untuk mencari ilmu pengetahuan.
3. Jangan menyombongkan ilmunya dan menentang guru.
4. Mengetahui kedudukan ilmu pengetahuan.
Peserta didik hendaknya memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1) Belajar dengan niat ibadah dalam rangka taqarrub ila Allah, sehingga dalam kehidupan sehari-hari peserta didik senantiasa mensucikan jiwanya dengan akhlaq al-karimah (Q.S. Al-An’am: 162, Adz Dzaariyaat:56).
2) Mengurangi kecenderungan pada duniawi dibandingkan masalah ukhrawi (Q.S. Adh Dhuhaa:4).
3) Bersikap tawadhu’ (rendah hati)
4) Menjaga pikiran & pertentangan yang timbul dari berbagai aliran.
5) Mempelajari ilmu-ilmu yang terpuji, untuk ukhrawi dan duniawi.
6) Belajar dengan bertahap atau berjenjang, dimulai pelajaran yang mudah (konkret) menuju pelajaran yang sukar (abstrak) atau dari ilmu fardlu ‘ain menuju ilmu fardlu kifayah (QS Al-Fath:9).
7) Belajar ilmu sampai tuntas untuk kemudian beralih pada ilmu yang lainnya, sehingga anak didik memiliki spesifikasi ilmu pengetahuan secara mendalam.
8) Memprioritaskan ilmu diniyah sebelum memasuki ilmu duniawi.
9) Mengenal nilai-nilai pragmatis bagi suatu ilmu pengetahuan, yaitu ilmu yang dapat bermanfaat yang dapat membahagiakan, mensejahterakan serta memberi keselamatan hidup dunia akhirat.
b. Kurikulum Pendidikan menurut Al-Ghazali
Kurikulum, dalam pengertian sederhana berarti mata pelajaran yang diberikan kepada anak didik untuk menanamkan sejumlah pengetahuan agar mampu beradaptasi dengan lingkungannya. Pandangan al-Ghazali tentang kurikulum dapat diketahui berdasarkan pandangannya dalam membagi ilmu pengetahuan menjadi tiga kategori besar, yaitu:
1. Ilmu yang tercela yang tidak pantas dipelajari (al-mazmum), seperti sihir, nujum, ramalan, dan lain sebagainya.
2. Ilmu yang terpuji yang pantas untuk dipelajari (al-mahmud) yang meliputi ilmu yang fardlu ‘ain untuk dipelajari dan ilmu yang hanya fardlu kifayah untuk dipelajari.
3. Ilmu terpuji dalam kadar tertentu atau sedikit, dan tercela jika mempelajarinya secara mendalam, seperti ilmu logika, filsafat, ilahiyyat dan lain-lain.
Dari ketiga kelompok ilmu tersebut, Al-Ghazali membagi lagi menjadi dua bagian yang dilihat dari kepentingannya, yaitu:
1) Ilmu fardhu, harus diketahui oleh semua Muslim, yaitu ilmu agama.
2) Ilmu fardhu kifayah yang dipelajari oleh sebagian Muslim untuk memudahkan urusan duniawi, seperti: ilmu hitung, kedokteran, teknik, ilmu pertanian dan industri.
Menurut Abudin Nata, yang dimaksud dari kategorisasi ketiga ilmu tersebut adalah sebagai berikut:
1. Ilmu-ilmu tercela. Yang termasuk ilmu ini dalam pandangan al-Ghazali ialah ilmu yang tidak ada manfaatnya baik dunia maupun akhirat dan terkadang hanya membawa mudharat bagi orang yang memilikinya, maupun bagi orang lain. Ilmu sihir misalnya dapat memisahkan persahabatan antar sesama manusia, menimbulkan dendam, permusuhan dan kejahatan.
2. Ilmu-ilmu terpuji. Al-Ghazali menjelaskan bahwa ilmu ini ialah ilmu-ilmu yang erat kaitannya dengan peribadatan dan macam-macamnya. Ia membagi jenis ilmu ini menjadi dua bagian, yaitu: yang fardlu ‘ain, yaitu ilmu agama dengan segala jenisnya, mulai dari kitab Allah, ibadat pokok, hingga ilmu syari’at yang dengannya ia akan paham apa yang harus ditinggalkan dan apa yang harus dilakukan. Sedangkan yang fardlu kifayah adalah semua ilmu yang tidak mungkin diabaikan untuk kelancaran semua urusan, seperti ilmu kedokteran, ilmu hitung dan lain-lain. Menurutnya, jika tidak ada yang mempelajari ilmu itu maka berdosalah seluruhnya, tetapi jika telah ada seseorang yang menguasainya dan dapat mempraktekkannya maka tuntutan wajibnyapun telah lepas dari yang lain.
3. Ilmu-ilmu yang terpuji dalam kadar tertentu atau sedikit, dan tercela jika mempelajarinya secara mendalam, karena dengan mempelajarinya dapat menyebabkan terjadinya kesemrawutan dan kekacauan antara keyakinan dan keraguan yang dapat membawa pada kekafiran, seperti ilmu filsafat. Ilmu ini tidaklah wajib bagi setiap orang, karena menurut tabiatnya tidak semua orang dapat mempelajari ilmu itu dengan baik. Ia berpendapat bahwa orang yang mempelajari ilmu tersebut bagai anak kecil yang masih menyusu, dan akan sakit apabila diberikan makanan yang bermacam-macam yang belum dapat dicerna oleh perutnya.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa pada prinsipnya, al-Ghazali lebih menekankan pada muatan ilmu-ilmu keagamaan dengan segala cabangnya dan juga ilmu-ilmu yang erat kaitannya dengan kemaslahatan manusia pada umumnya. Sehingga menurut al-Ghazali, selayaknya seorang pelajar pemula mempelajari ilmu agama asasi terlebih dahulu sebelum mempelajari ilmu furu’. Ilmu kedokteran, matematika dan ilmu terapan lain harus mengalah pada ilmu agama dalam pandangannya, karena ilmu agama meliputi keselamatan di akhirat, sedangkan yang terapan hanya untuk keselamatan di dunia. Ia juga lebih menekankan pada segi pemanfaatan ilmu pengetahuan dengan berdasarkan pada tujuan iman dan taqarrub pada Allah SWT. Hal ini menjadi wajar dengan melihat latar belakang kehidupan beliau sebagai seorang sufi.
Dalam menyusun kurikulum pelajaran, Al-Ghazali memberi perhatian khusus pada ilmu-ilmu agama dan etika sebagaimana yang dilakukannya terhadap ilmu-ilmu yang sangat bermanfaat bagi kehidupan masyarakat.
Kurikulum menurut Al-Ghazali didasarkan pada dua kecenderungan sebagai berikut:
1) Kecenderungan agama dan tasawuf. Kecenderungan ini membuat Al-Ghazali menempatkan ilmu-ilmu agama di atas segalanya dan memandangnya sebagai alat untuk menyucikan diri dan membersihkannya dari pengaruh kehidupan dunia.
2) Kecenderungan pragmatis. Kecenderungan ini tampak dalam karya tulisnya. Al-Ghazali beberapa kali mengulangi penilaian terhadap ilmu berdasarkan manfaatnya bagi manusia, baik kehidupan di dunia maupun akhirat. Ia menjelaskan bahwa ilmu yang tidak bermanfaat bagi manusia merupakan ilmu yang tak bernilai. Bagi Al-Ghazali, setiap ilmu harus dilihat dari kegunaannya dalam bentuk amaliah.
Manusia adalah subyek pendidikan, sedangkan pendidikan itu sangat penting bagi manusia, maka dalam pendidikan itu harus diperhatikan tentang kurikulumnya. Kurikulum pendidikan menurut al-Ghazali adalah materi keilmuan yang disampaikan kepada murid hendaknya secara berurutan, mulai dari hafalan dengan baik, mengerti, memahami, meyakini, dan membenarkan terhadap apa yang diterimanya sebagai pengetahuan tanpa memerlukan bukti atau dalil.
c. Metode Pendidikan
Untuk melakukan pentahapan pada kurikulum tersebut, lahirlah metode khusus pendidikan, menurut al-Ghazali yaitu :
1) Metode khusus pendidikan agama
Metodik pendidikan agama islam menurut Al-Ghozali, pada prinsipnya dimulai dengan hafalan dan pemahaman kemudian dilanjutkan dengan keyakinan dan pembenaran, setelah itu penegakan dalil-dalil dan keterangan yang menunjang penguatan akidah. Yang demikian inni merupakan pantulan dari sikap hidupnya yang shufi dan tekun beribdah. Dari pengarangan pribadinya Al-Ghozali menemukan cara untuk mencegah manusia dari keraguan terhadap persoalan agama ialah adanya keimanan terhadap Allah, menerima dengan jiwa yang jernih dan akidah yang pasti pada usia sedini mungkin. Kemudian menkokohkannya dengan argumentasi yang didasarkan atas pengkajian dan penafsiran Al- Qur’an dan Hadist secara mendalam disertai dengan tekun beribadah, bukan melalui Ilmu kalam atau lainnya yang bersumber pada akal.
2) Metode khusus pendidikan ahklak
Akhlak adalah suatu sikap yang mengakar dalam jiwa yang darinya lahir berbagai perbuatan dengan mudah dan gampang, tanpa perlu pemikiran dan pertimbangan. Ada akhlak terpuji dan tercela.
Dengan adanya metode tersebut, maka al-Ghazali menyimpulkan bahwa pendidikan itu harus mengarah kepada pembentukan akhlak mulia, sehingga Ia menjadikan al-Qur’an sebagai kurikulum dasar dalam pendidikan. Ia juga menyimpulkan bahwa tujuan akhir pendidikan dan pembinaan itu ada 2 yaitu :
a) Kesempurnaan yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah.
b) Kesempurnaan yang bermuara pada kebahagiaan dunia dan akhirat.
d. Evaluasi Pendidikan Menurut Al Ghazali
Menurut Al-Ghazali, evaluasi pendidikan berarti usaha memikirkan, membandingkan, memprediksi (memperkirakannya), menimbang, mengukur, dan menghitung segala aktifitas yang telah berlangsung dalam proses pendidikan, untuk meningkatkan usaha dan kreativitasnya sehingga dapat seefektif dan seefisien mungkin dalam mencapai tujuan yang lebih baik diwaktu yang akan datang.
Adapun subyek evaluasi pendidikan adalah orang yang terikat dalam proses kependidikan meliputi : pimpinan, subyek didik, wali murid, dan seluruh tenaga adminstrasi. Dan yang menjadi evaluasi pendidikan adalah semua bentuk aktivitas yang terkait dengan tugas tanggung jawabnya masing-masing dalam proses kependidikan.
Tujuan evaluasi pendidikan ialah mengontrol efektifitas dan efisiensi usaha dan sarana, mengetahui segi-segi yang mendukung dan menghambat jalannya proses kependidikan menuju tujuan. Segi-segi yang menghambat diperbaiki atau diganti dengan usaha atau sarana lain yang lebih menguntungkan.
KESIMPULAN
Al Ghazali atau Muhammad bin Muhammad bin Muhamad bin Ahmad Al-Ghazali merupakan tokoh pendidikan Islam yang sudah tak diragukan lagi kemampuannya dalam bidang kependidikan Islam. Menurutnya, pendidikan merupakan proses memanusiakan manusia sampai akhir hayatnya menuju pendekatan diri kepada Allah sehingga menjadi manusia sempurna. Tujuan pendidikan menurut al-Gazali adalah membentuk manusia shalih.
Menurut Al-Ghazali, subjek pendidikan terdapat dua kategori, yaitu Pendidik dan Murid. Sedangkan dalam menyusun kurikulum pelajaran, Al-Ghazali memberi perhatian khusus pada ilmu-ilmu agama dan etika serta didasarkan pada dua kecenderungan: kecenderungan agama dan tasawuf; dan kecenderungan pragmatis.
Sementara metode yang digunakan yaitu dimulai dengan hafalan dan pemahaman kemudian dilanjutkan dengan keyakinan dan pembenaran. Pendidikan apapun, menurut Al-Ghozali harus mengarah kepada pembentukan akhlak yang mulia. Evaluasi menurutnya yaitu usaha menimbang segala aktifitas yang telah berlangsung dalam proses pendidikan.
Adapun subyek evaluasi pendidikan meliputi : pimpinan, subyek didik, wali murid, dan seluruh tenaga adminstrasi. Dan yang menjadi evaluasi pendidikan adalah semua bentuk aktivitas yang terkait dengan tugas tanggung jawabnya masing-masing dalam proses kependidikan. Tujuan evaluasi pendidikan ialah mengontrol efektifitas dan efisiensi usaha dan sarana, mengetahui segi-segi yang mendukung dan menghambat jalannya proses kependidikan menuju tujuan
.       Metode pendidikan
Metode pendidikan diklasifikasikan al-ghazali menjadi dua bagian :
Pertama, metode khusus pendidikan Agama, metode khusus pendidikan agama ini memiliki orientasi terhadap pengetahuan aqidah karena pendidikan agama pada realitasnya lebih sukar dibandingkan dengan pendidikan lainnya, karena pendidikan agama menyangkut problematika intuitif dan lebih menitikberatkan kepada pembentukan personality peserta didik. Dengan demikian pendidikan akal yang kohesif pada diri peserta didik selama dalam proses pendidikan akan dapat dikendalikan, sehingga bukan hanya mementingkan rasio, rasa, berpikir sebenar-benarnya tanpa dzikir. Tetapi peserta didik yang memiliki kepribadian yang kamil. Dengan demikian, agama bagi peserta didik menjadi pembimbing akal. Dari sinilah kemudian letak kesempurnaan hidup manusia dalam keseimbangan.
Kedua, metode khusus pendidikan Akhlak, Al-ghazali mengungkapkan :” Sebagaimana dokter, jikalau memberikan pasiennya dengan satu macam obat saja, niscaya akan membunuh kebanyakan orang sakit, begitupun guru, jikalau menunjukkan jalan kepada murid dengan satu macam saja dari latihan, niscaya membinasakan hati mereka. Akan tetapi seyogyanyalah memperhatikan tentang penyakit murid, tentang keadaan umurnya, sifat tubuhnya dan latihan apa yang disanggupimya. Berdasarkan yang demikian itu, dibina latihan”. Dan berikutnya jika guru melihat murid yang sombong, keras kepala dan congkak maka suruhlah ia ke pasaruntuk meminta-minta. Sesungguhnya sifat bangga diri egois tidak akan hancur selain dengan sifat mandiri.
Dari keterangan tersebut, al-ghazali menegaskan bahwa untuk membuat diagnosis dan melakukan perbaikan akhlak tercela anak adalah dengan  menyuruhnya melakukan perbuatan sebaliknya. Layaknya bila badan sakit obatnya ialah dengan cara menurunkan panas atau obatnya ialah membuang penyakiy itu.





BAB  III
1. Simpulan
Akhirnya, dapat ditarik beberapa simpulan dan point penting sebagai berikut, -yang juga mengadopsi dari hasil rumusan Badan Penelitian dan Pengembangan di lingkungan Kementrian Agama Republik Indonesia (Balitbang Kemenag RI)- :
1) Bahwa kurikulum pendidikan yang berlaku pada suatu masa sebenarnya telah berusaha mengadopsi semua kebutuhan belajar siswa. Kurikulum pendidikan senantiasa dilakukan penyempurnaan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dalam masyarakat dan melestarikan nilai-nilai budaya bangsa ;
2) Suatu kurikulum harus dirancang secara komprehensif, integratif, berimbang antara berbagai tujuan pendidikan, dan adaptif serta bervisi kedepan, dan bukan semata-mata karena kepentingan politis ;
3)  Kompetensi dapat diartikan sebagai kebiasaan berpikir dan bersikap sesuai dengan konteks, dan yang diharapkan dari siswa sebagai hasil pendidikan adalah melakukan sesuatu selain secara kontekstual tetapi juga secara kreatif yang akan memperkaya khasanah budaya bangsa ;
4) Diperlukan kesiapan dan dukungan baik dari guru, siswa, orang tua dan masyarakat dan pemerintah dalam mewujudkan tujuan-tujuan pendidikan dalam sistem persekolahan ;
5) Era globalisasi yang ditandai dengan persaingan bebas antar-negara harus diimbangi dengan penerapan kurikulum yang menekankan pentingnya sikap kemandirian bangsa dalam membangun peradaban bangsa sendiri. [32]

SARAN
1.
Berdasarkan penelitian ini penulis menganggap bahwa nilai-nilai pendidikan
agama Islam dalam pemikiran Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari
merupakan nilai-nilai pendidikan yang sangat berperan dan berpengaruh
dalam sejarah perkembangan pendidikan Islam di Indonesia dan dapat di
gunakan dalam implikasikan dalam pendidikan Islam akademik dimasa
sekarang.
2.
Kepada peneliti/ahli pendidikan Islam, perlunya perhatian lebih terhadap
perkembangan sejarah pendidikan Islam di Indonesia. Terutama sejarah
pendidikan Islam di Kalimantan Selatan, dan penelitian lebih lanjut dalam
pemikiran Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari tentang pendidikan agama
Islam yang berguna bagi pendidikan dan masyarakat dalam memahami
nilai-nilai agama Islam.
3.
Kepada praktisi pendidikan maupun guru PAI di sekolah umum dan
madrasah, perlu mendukung penuh dalam pelaksanaan pelajaran agama
disekolah, terutama dalam menanamkan nilai-nilai agama disetia
p dimensi
pembelajaran, dengan pengarahan dan pembinaan terhadap peserta didik
dalam
setiap proses pembelajaran baik di lingkungan sekolah maupun di
luar lingkungan sekolah.
4.
Kepada pelajar dan mahasiswa, perlu pengayaan pemahaman akan nilai-
nilai pendidikan agama Islam dalam ruang lingkup ajaran agama Islam,
yakni aqidah, syariah dan akhlak, sehingga pelajar dan mahasiswa tidak
hanya mengetahui dan memahami akan nilai-nilai tersebut, melainkan telah
mampu mengimplementasikan dalam kehidupa





Terakhir, sebelum makalah ini, penulis serahkan kepada dosen pengampu mata kuliah Belajar dan pembelajaran Dr.H. Jarkawi M.M.Pd sebagai tugas mandiri,ada baiknya jika saya mengutip firman Allah SWT untuk sebagai pengingat pribadi penulis dan semua pendidik di manapun berada akan betapa pentingnya nilai-nilai ajaran islam untuk kita terapkan dalam mengiringi perjalanan system pendidikan nasional kita, karena itu, Allah swt kembali mengingatkan kita dalam firman-Nya, al-Quran al-Kariiem pada surat At-Taubat ayat 122, demikian ayat itu berbunyi ;

قال تعالى "... فَلَوْلاَ نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ ". (التوبة : 122)

Artinya : “… Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”. (QS. At-Taubah 122). [33]

Hadza ,. wAllahu  A’lamu Bish-Showaab.

اللّـهمّ إنّي استودعتُك ما علّمتَنِيه فاردُده إليّ عندَ حاجَتي إليه ولا تَنسنِيه يا رَبّ العالمين ., آمين

Ya Allah, ham titipkan lagi pada-Mu ilmu yang telah Engkau ajarkan ini pada hamba ini, maka kembalikan lagi ilmu itu hamba saat mana hamba membutuhkannya, dan -aku mohon- jangan Engkau lalaikan diri hamba ini akan ilmu-Mu, wahai Penguasa alam semesta.



2. Daftar Pustaka :
Al-Quran Al-Kariem
Tafsir Freewer Al-Quran digital versi Cet. Departemen Agama RI.
Tafsir Al-Mishbah , M. Quraish Shihab. juz XIII, (mengutip dari Syeh Muhammad Abduh - Guru besar di Al-Azhar University, Mesir).
Tafsir Al-Quran Al-‘Adziem, Imam Ibnu Katsier, (Maktabah Syamilah)
Tafsir Al-Jalilain, Imam Jalaluddin As-Suyuthi. (Maktabah Syamilah).
Jami’ul-Bayaan Fii Ta,wiilil-Quran, Imam Ath-Thobariy, (Maktabah Syamilah)
<<>> 
Al-Jami’ush-Shahis , Imam Bukhari . (Maktabah Syamilah)
Al-Khasyiyah , Bab “Al-Imla wal-Istimla”, Ibnu As-Sam’ani, page 1.
As-Sunan , Imam Turmudzi. (Maktabah Syamilah).
As-Sunan , Ibnu Majah. (Maktabah Syamilah).
Al-Mu’jam Ash-Shoghier , Imam Ath-Thabraniy. (Maktabah Syamilah).
Al-Mu’jam Al-Kabier , Imam Ath-Thabraniy. (Maktabah Syamilah).
Syu’bul-’Iman , Imam Al-Baehaqiy. (Maktabah Syamilah).
<<>> 
Kasyful-Khifa , page I/70. (Maktabah Syamilah)
Majmu’ Fatawa, Ibnu Taymiyyah , page XVIII/375
Pendidikan Islam ; Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Azyumardi Azra, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 2002, hal.33
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) - Offline. Versi 1.5.1 “Luring”
Kamus Digital Englis-Indonesia. Versi 2.03
http://balitbangdiklat.kemenag.go.id/, tertanggal Minggu, 22 Desember 2013
Imarah, Muhammad. 45 Tokoh Pengukir Sejarah. Pajang: Era Intermedia, 2007.
Nata, Abuddin. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam: Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000. hal. 28.
Nizar, Samsul. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat Press, 2002.
Rusn, Abidin Ibn. Pemikiran Al-Ghazali tentang Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.
Sulaiman, Fathiyah Hasan. Aliran-Aliran Dalam Pendidikan Studi Tentang Aliran Pendidikan Menurut Al-Ghazali. Semarang: Dina Utama, cet I, 1993.
Zainuddin dkk.. Seluk Beluk Pendidikan dari Al-Ghazali. Jakarta: Bumi Aksara, 1991
Syeikh Muhammad Arsyad Al-Banjari, Matahari
Islam,
 Suwarna, et. all, Pengajaran Mikro, Pengajaran Mikro, (Yogyakarta : Tiara Wacana, 2006) hal. 106-114.
 Ismail SM, Strategi Pembelajaran Agama Islam Berbasis P.A.I.K.E.M, (Semarang : RaSAIL Group, 2009) hal. 26-29
Khoiron, Rosyadi, Pendidikan Profetik Profetik, (Yohyakarta : Pustaka Pelajar, 2004) hal. 210 8 Permendiknas RI No. 52 Tahun 2008 tentang Standar Proses



















LAMPIRAN BUKTI OBSERVASI






Tidak ada komentar:

Posting Komentar